Fiction
Perempuan Penunggu Malam [3]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Suasana hening. Mereka bertiga bermain dengan imaji mereka masing-masing. Tentang perempuan cantik yang menunggu kekasihnya yang ingkar janji.

“Ia tinggal sendiri?” tanya Radite.

“Ya. Orang tuanya sudah meninggal.”

Suasana kembali sunyi. Mereka bertiga memandang rumah itu dari seberang jalan. Mereka tak berani mendekat pada sisi jalan yang dekat dengan rumah itu.

“Tetapi aku tak pernah melihatnya. Apa benar ia masih tinggal di rumah ini?”

“Perempuan itu masih tinggal di sini!” jelas Si Batang Pohon bersikukuh.

“Mana buktinya? Tak terdengar apa-apa sedari tadi.”

“Ia terlihat cuma malam hari. Cuma malam. Dan kalian tahu yang ia kerjakan?”

Nada suara Si Batang Pohon mendadak terdengar begitu mistik. Radite dan Si Ranting menggelengkan kepala. Wajah mereka seakan melukiskan detak jantung mereka yang berdetak amat keras.

“Ia menjahit.”

“Menjahit?”

“Menjahit kebaya pengantinnya,” suara Si Batang Pohon terdengar begitu menakutkan. Tiba-tiba Si Ranting telah berlari meninggalkan Radite yang masih terpaku. Si Batang Pohon tak tinggal diam, dia berlari sekencangnya. Radite pun berlari mengikuti dua karibnya. Radite tak berani menoleh ke belakang, ke rumah itu....
Lelaki kota yang baru saja selesai bercerita itu menghirup tehnya. Tangannya saat memegang cangkir tidak memperlihatkan bahwa tubuhnya bergetar akan cerita masa lalu. Tetapi, celah matanya yang sempit tampak menyimpan kenangan yang mendebarkan. Aku tersenyum. Pandangan mata kami bertabrakan. Aku menyimpulkan ada tanya yang timbul tenggelam di manik matanya.

“Kau pernah melihatnya?” tanyaku, dengan rasa ingin tahu sekadarnya.

“Pernah.”

Aku tertegun. Mata Radite menatapku tepat ke bola mata. Mataku seakan terjerat oleh pukat. Terpantek. Tak bergerak, tertuju ke bola matanya yang cokelat tua.

“Berarti dia ada…,” desisku.

“Dia ada.”

Aku terdiam, bersiap menyimak cerita Radite. Sontak aku membaca gairah di tiap lekuk tubuhnya, di tiap lipatan sudutnya. Aroma lelaki yang kasmaran. Tiba-tiba aku menghirup aroma cemburu. Milikku.

“Aku pernah bertemu perempuan itu satu kali. Waktu itu kami sekeluarga harus pindah ke kota. Entah mengapa, aku ingin berpamit pada perempuan itu….”

Aku masuk ke dalam kisah Radite, seakan aku bagian dari kisah. Mungkin aku kupu-kupu yang beterbangan pagi itu. Suara Radite timbul tenggelam dalam imajinasiku tentang situasi saat itu.

“Waktu itu hari masih pagi. Dengan segenap keberanian aku mengetuk pintu rumahnya. Cukup lama, hingga pintu itu terbuka dan tersembul wajah perempuan yang sangat cantik. Ternyata, segala takut sirna menjadi takjub. Belum pernah aku melihat perempuan secantik itu di desaku. Aku terdiam tak berbicara apa pun. Ia juga berdiri tak berbicara atau bertanya apa mauku. Namun, aku membaca sesuatu di matanya. Seakan ia mengerti aku, datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Sekilas, kulihat senyumnya sebelum akhirnya ia menutup pintu….”

Kami terdiam. Siur angin menerpa leherku. Aku bergidik. Ada perasaan tak nyaman dan dingin yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku tersadarkan dari lamunan, saat Radite meletakkan cangkir ke atas meja. Aku baru sadar bahwa cerita Radite belum selesai. Bibirnya tampak ingin bercerita lebih lanjut. Aku terdiam, menunggu.

“Aku tidak bisa membayangkan seperti apa rupa perempuan itu sekarang. Apa ia seperti kisah dewi-dewi yang tak lekang dimakan waktu. Usianya mungkin kini 50 tahun. Mungkin lebih. Ia menjadi legenda desa kami. Tentang penantian, kesetiaan dan sakit hati. Aku pernah membuat puisi untuknya. Perempuan Penunggu Malam. Puisi pertamaku untuk seorang perempuan….”

Matahari bukan lagi kemerahan, tapi keperakan seperti bulan. Lalu di mana kuselipkan rindu, bila aku tak lagi mengenali waktu?

Sepergi Radite, aku menulis kalimat itu di halaman awal sebuah buku. Entah buku apa. Seperti aku katakan sejak awal, aku tak paham akan perputaran waktu. Aku tak ingat kapan tepatnya aku tinggal di rumah ini. Aku hanya mengira-ngira. Ada masa ketika aku menghitung hari demi hari, detik demi detik dan berakhir menyakitkan. Hingga aku memutuskan, aku tak akan lagi menandai waktu.

Ruangan ini mendadak sepi, seperginya. Tetapi, bukankah selama ini aku juga sendirian? Aku mulai berpikir, manusia terlalu mengada-ada. Rasa sepi itu datang, bukan dari hati. Tapi, buatan. Bukankah selama ini aku tinggal sendirian, dan rasa sepi itu tidak pernah mampir. Lalu, saat Radite tiba-tiba datang dalam hidupku, aku lantas menciptakan sepi sesaat setelah dia pergi.

Aku sibuk membersihkan rumah. Entah mengapa, laba-laba begitu sering membuat jaring di sudut rumah, tingkap jendela atau di balik kursi. Kecepatan mereka membuat jaring serajin aku membersihkannya. Aku heran mengapa debu begitu mudahnya menebal. Seakan aku tinggal di gurun dan angin beserta debu beterbangan masuk melalui jendela, pintu dan segala celah sekecil apa pun.

Tiba-tiba kisah Perempuan Penunggu Malam merasuki pikiranku. Bagaimana kalau kisah itu nyata? Dan, ia pernah tinggal di sini….

Tubuhku kaku. Bukan karena rasa takut, tetapi gelisah, karena keingintahuan untuk menyibak, kalau benar ada rahasia di rumah ini.

Aku mulai memeriksa segala ruang, segala sudut, segala perabot. Tetapi, tidak kutemukan rahasia masa lalu. Aku mulai letih. Saat aku duduk bersandar di kursi, pandanganku tertuju pada langit-langit ruangan.

Rahasia adalah tingkap paling gelap. Tak terjangkau pandang, tak tertangkap tangan. Hanya hasrat yang bisa menggapainya. Dalam lorong-lorong tak tersentuh cahaya, rahasia merasa aman. Tersimpan rapat hingga debu menyelimutinya dan kutu busuk menggerogotinya menjelma ampas masa silam. Tapi, selalu ada tingkap yang lupa untuk ditutup….

Konon, loteng adalah hunian makhluk halus bergabung dengan binatang pengerat. Tetapi, aku mengesampingkan rasa takutku, karena hasrat ingin tahu. Ada beberapa benda berselimut debu di sini. Lampu tua, meja konsol, setumpuk gorden tua dalam kardus, kursi patah. Beberapa ikat kertas dan buku tua. Tiba-tiba aku merasa berubah menjelma menjadi anak-anak delapan tahun yang sedang mencari harta karun di loteng nenek.

Benda-benda berselimut debu itu aku pilah satu demi satu. Sampai aku menemukan sebuah buku. Tidak seperti buku-buku tua yang ditemukan dalam kisah-kisah, karena buku ini tidak berwarna tua. Bukan merah, hijau, hitam, atau cokelat tua. Sebuah buku tebal berwarna cerah, krem dengan lukisan –tak terlalu bagus- seorang perempuan sedang duduk menunduk.

Sore hari, setelah membersihkan diri, aku mengambil buku itu, bersiap untuk membacanya. Gambar pada sampul muka hasil guratan pensil itu jauh dari kata bagus. Tapi, kini aku bisa mengamatinya dengan jelas. Perempuan itu duduk menunduk dan pada pangkuannya terlihat seonggok benda, entah apa. Tapi, jelas salah satu tangannya memegang sesuatu: jarum. Itu gambar perempuan yang sedang duduk tertunduk menjahit kebaya. Perempuan Penunggu Malam….


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?