Fiction
Perempuan Penunggu Malam [2]

4 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Kamu penghuni di sini?”

“Kamu pengunjung?”

Kami saling sapa dan bercerita. Matanya tampak memipih, saat tahu aku menunjukkan sel ayahku. Dia bilang kalau sel itu, sel khusus. Hanya orang penting yang tinggal di sel itu. Hanya mereka yang dianggap membahayakan kestabilan negara yang punya hak untuk menempati sel di area itu. Aku tertawa dalam hati. Seorang yang idealis dan seorang yang idealismenya telah terkikis habis, mungkin sama-sama membahayakan kestabilan negara. Seperti ayahku.

“Mengapa kamu tinggal di sini? Apa kesalahanmu?”

“Kesalahanku karena beribu seorang yang dituduh membunuh.”

Kami berdua sama-sama menelanjangi keburukan dan masa lalu. Belum pernah aku sepercaya ini pada lelaki. Maka, aku tak lagi berpatokan pada waktu. Saat kami sepakat menelanjangi perasaan kami masing-masing. Menanggalkan segala atribut. Dua anak manusia yang punya sejarah pohon keluarga yang kurang baik, saling berbagi perasaan.

Ada kenangan terbaik, saat bersama seseorang. Aku mencatatnya pada jantung, menderas di darah dan tercetak di tulang. Aku larut saat bersamanya. Aku ingat benar, saat bibirnya yang kaku menjelajahi raguku. Aku terbebas dari belenggu rasa ragu. Juga norma dan tata krama. Perempuan bisa berubah menjadi ular yang melata, mendesis dan melilit bila mendapat mangsa yang tepat. Sasaran yang bisa mengaduk perasaan dan membikin sakit kepala dadakan. Aku mendadak amnesia berbagai hal. Kecuali satu. Aku menguliti diriku sendiri dari rasa jengah dan menggantinya dengan jubah baru, hasrat. Sensasi yang lebih bisa dirasakan, bukan sekedar diceritakan. Aku menjelma ular yang nlungsungi alias berganti kulit.

Tapi, hutan kecil di belakang penjara ternyata punya banyak pembisik. Mungkin pohon tempat kami biasa bersembunyi dan bercumbu, tak rela. Maka dia membisiki kabar dari satu pohon ke pohon lain tentang hubungan aku dengan Penjara, hingga sampai ke telinga Ayah. Aku tak peduli, saat Ayah mencerca Penjara sebagai anak pembunuh. Darah pembunuh mengalir dalam pembuluh darahnya dan pada dahinya terpahat kalimat; anak seorang pembunuh! Itu kata Ayah. Lalu aku membantahnya dengan kalimat singkat.

“Tak akan ada lelaki yang akan menikahiku. Karena ayahku seorang pesakitan.”

Ayah diam. Ekspresinya campuran amarah dan rasa sakit hati. Dia tak pernah membahas lagi tentang Penjara. Seakan seorang bernama Penjara tak pernah ada. Aku juga mulai jarang mengunjungi Penjara. Penjara bukanlah narapidana, ia bebas keluar masuk penjara. Kami makin sering bertemu di luar tembok penjara.

Dua bulan kemudian, Ayah meninggal. Bunuh diri. Aku tak tahu, Ayah meninggal karena ia tak mampu bertahan hidup di penjara atau karena ia tak rela aku terpenjara oleh Penjara. Lelaki kampung yang menurutnya tak pantas untukku. Aku berkabung, karena ia ayahku. Kematian menuntaskan segala masalahnya. Tapi, tidak menuntaskan masalah kami, aku dan Ibu yang ditinggalkannya....

Aku tinggal di rumah ini, sejak Ayah meninggal. Aku dan Ibu memutuskan tinggal di sebuah rumah di atas bukit di pedesaan. Tempat itu jauh dari ingar-bingar kota. Aku nyaman tinggal di sini. Sesekali Penjara datang berkunjung. Biasanya pada akhir pekan. Dia mendapatkan pekerjaan yang cukup layak di kota. Ibu tak pernah bermasalah dengan Penjara. Dia merestui hubunganku dengan Penjara.

Penjara menawarkan mimpi padaku. Tentang pernikahan.

Aku mulai terbiasa menyusun mimpi, seperti menyusun piring dan cangkir di rak tua. Mengelap porselennya dengan kehati-hatian hingga aku dapat berkaca. Aku melihat masa depanku pada pantulannya. Dapat kurasakan mukaku memerah, seperti motif kelopak padma pada piring itu. Tapi, perasaanku bukan corak gambar yang tak dapat layu. Aku padma yang mengenal musim. Kelopakku mulai rontok satu persatu, pada saatnya nanti.
Aku menunggu hari pernikahan dengan menjahit kebaya pengantinku.
Lelaki itu datang bertamu. Lelaki dari kota yang menumpang delman kusir bisu dan kuda tua. Tiba-tiba ia muncul di depan pintu rumahku. Rambutnya yang bergelombang, ombak laut yang menunggu untuk diselami.

“Maaf, aku mengganggu.”

Aku menggelengkan kepala. Sejak awal, perasaanku mengatakan bahwa aku akan terikat padanya. Entah dalam ikatan apa. Waktu akan membuktikannya.

“Anda mencari siapa?”

“Saya ingin bertemu dengan pemilik rumah ini. Tapi, tampaknya, sekarang sudah berganti penghuni.”

Lelaki itu tampak kikuk. Dia menganggukkan kepala dan berniat berbalik pergi. Entah kekuatan darimana, hingga aku menahannya. Mungkin hasratku.

“Jangan pergi. Silakan masuk. Saya akan buatkan teh.”

Tanpa menunggu persetujuannya, aku masuk ke dalam. Aku tak menoleh, tapi dapat kurasakan tubuhnya seakan melayang pelan memasuki ruang tamu.

Tak lama aku keluar membawa nampan berisi poci dan cangkir. Cangkir bercorak padma, untuk lelaki masa laluku. Penjara. Aku meletakkan poci dan cangkir di atas meja. Saat itu aku memergoki matanya tertuju pada peralatan menjahitku juga kebayaku. Mukanya terlihat tegang. Aku tak tahu apa yang berkelebat dalam kepalanya. Aku membereskan peralatan menjahitku dan meletakkannya agak menjauh. Aku lalu duduk, agak jauh darinya.

“Anda bukan orang sini?”

“Hmm, saya pernah tinggal di sini….”

Aku mengernyitkan dahi. Ia membenarkan kalimatnya.

“Maksud saya, bukan di rumah ini. Tapi, di desa ini….”

“Kapan? Saya tidak pernah melihat Anda.”

“Dulu. Sewaktu saya masih kecil. Berapa belas tahun yang lalu.”

Pantas aku tidak mengenalnya. Mungkin ia pindah dari sini sebelum aku pindah ke sini. Matanya tampak menatap wajahku lamat-lamat.

“Dulu. Rumah ini ditinggali seorang perempuan….”

Dia sengaja menggantung kalimat, sambil melihat ekspresiku. Entah ekspresi seperti apa yang ia harapkan dari aku.

“Perempuan itu tinggal sendiri.”

Aku tak tahu harus berkomentar apa. Karena sekarang pun aku tinggal sendirian, ibu telah meninggal beberapa waktu yang lalu.

“Penduduk sini menjulukinya Perempuan Penunggu Malam.”

Lelaki itu lalu mulai bercerita. Suaranya yang berat namun lembut mengurai kisah masa kanaknya. Hingga aku terbuai, terlempar ke masa itu…
Saat itu usianya baru sebelas tahun. Lelaki dari kota itu, ia bernama Radite, selalu bermain dengan dua karibnya. Mereka menjelajahi seluruh pelosok desa, bahkan hingga ke hutan yang saat itu dianggap hutan larangan. Naluri keingintahuan kanak-kanak mengalahkan rasa takut mereka.

Tak ada wilayah desa yang tak tersentuh kaki mereka. Hingga suatu sore, sehabis dari penjelajahan, mereka melewati rumah perempuan itu. Rumah yang aku tempati kini. Sebenarnya mereka telah mendengar cerita tentang perempuan itu. Tapi, baru pada sore itu mereka menyadari bahwa mereka sering melalui rumah itu dan tidak melihat tanda kehidupan.

“Apa benar di rumah itu ada yang tinggal?” tanya karibnya yang bertubuh ceking seperti ranting, yang sebenarnya juga jadi pertanyaan mereka semua.

“Katanya, sih, iya, seorang perempuan cantik tinggal di situ,” jelas teman Radite lain, yang bahunya lebar dan kokoh seperti batang pohon dengan mimik serius.

“Cantik?” tanya Si Ranting. Entah mengapa pertanyaan itu, menurut Radite, membuatnya bergidik. Bukankah sesuatu yang cantik dan misterius selalu berhubungan dengan sesuatu yang mistik?

“Iya. Cantik, seperti bidadari. Dan katanya, ia sedang menunggu kekasihnya,” jelas Si Batang Pohon.

“Kekasihnya ke kota?” tanya Radite.

“Kabarnya begitu.... dan lelaki itu menikah dengan perempuan kota.”


Penulis: Anggoro
Pemenang Penghargaan Sayembara Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?