Fiction
Perempuan Bernama Riska [6]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

MEDIO APRIL 2006
Sejak perselingkuhannya dengan Anton diketahui Bowo, Riska takut untuk pulang ke rumah Bowo. Selama di Semarang, hampir tiap hari Riska pergi berdua dengan Anton. Makan malam bersama, nonton film, berkaraoke, berlama-lama ngobrol di coffee shop hotel, atau sekadar jalan-jalan. Tanpa tahu siapa yang memulai, antara Riska dan Anton kemudian saling memanggil dengan sebutan ’Sayang’.

“Kamu sudah dengar dari ibumu soal kita?” tanya Anton, ketika mereka duduk berdua di coffee shop.

“Ya, kemarin Ibu bilang, ibumu usul agar minggu depan berkenan menerima lamaran,” jawab Riska.

“Menurutmu bagaimana?” tanya Anton.

“Kalau aku, sih, terserah Ibu. Aku akan menyesuaikan diri. Ibuku itu biasa ngitung-ngitung hari baik, bulan baik. Aku, sih, inginnya acara lamaran dibuat sederhana saja.”

“Ibuku malah sudah menyuruh aku mulai mencari gedung untuk acara pernikahan kita.”

“Lamarannya saja belum, kok, sudah mau mencari gedung untuk acara pernikahan. Nanti sajalah.”

“Ibu bilang, agar jarak antara saat lamaran dan penikahan tidak terlalu lama,” kata Anton.

“Kalau untuk menikah, aku harus menunggu dulu sampai masa perkuliahan selesai.”

Sambil berbincang dengan Anton, pikiran Riska melayang-layang pada Bowo. Mengingat kebaikan Bowo selama ini, dan hubungannya dengan anak-anak Bowo, Riska merasa berat dan kasihan untuk meninggalkan Bowo. Namun, demi masa depannya, Riska harus berani mengambil risiko.

Riska tidak dapat membayangkan bagaimana hancurnya hati Bowo jika mengetahui apa yang dia lakukan saat ini. Menurut Riska, kalau Bowo sampai tahu perselingkuhan dan pengkhianatan yang dia lakukan, pasti Bowo akan marah besar dan kemungkinan akan menceraikannya. Bagi Riska, akan lebih baik jika Bowo nantinya mau menceraikan dirinya, meskipun nama Riska akan rusak di mata keluarga Bowo.

Sesuai kesepakatan antara keluarga Riska dan keluarga Anton, hari lamaran dilaksanakan pada hari Sabtu siang. Meskipun dilaksanakan secara sederhana, tak urung banyak juga keluarga dari kedua belah pihak yang hadir. Dari pembicaraan pada saat lamaran, disepakati bahwa akad nikah dan resepsi pernikahan akan dilakukan pada bulan Juli 2006.

Usai acara lamaran, malam harinya Anton mengajak Riska foto berdua di sebuah studio. Mereka mengenakan busana yang mereka kenakan saat lamaran, Riska dengan kebaya warna merah dari bahan sutra, berdiri rapat di depan Anton yang mengenakan setelan jas warna hitam. Anton memeluk pinggang Riska. Wajah Riska dan Anton tampak berseri-seri. Hanya, Anton tidak tahu bahwa perhiasan yang dikenakan Riska adalah perhiasan yang dibelikan Bowo beberapa waktu sebelum Bowo menikahi Riska.

Beberapa hari sebelum pergantian tahun 2005, Bowo berencana menghabiskan malam tahun baru di Bandung. Kamar hotel di Bandung sudah mereka pesan.

Hari Sabtu pagi menjelang kepergian mereka ke Bandung, ketika Riska sedang mandi, Bowo iseng membuka ponsel Riska. Banyak nama pria di sana. Mungkin, mereka teman atau kolega sesama dosen, pikir Bowo. Ketika Bowo membuka kotak ’Sent Items’ terbaca kiriman SMS Riska pada Anton. Dengan kening berkerut Bowo membaca SMS itu.

Sayang, aku sedang di kampus. Makan yang banyak, biar cepat sembuh.

Bowo tidak tahu siapa Anton. Tapi, dari tanggal dan jam saat SMS itu terkirim, yaitu pada hari Sabtu siang, bersamaan dengan saat Riska mengajar kelas ekstensi di kampus. Bowo ingat, saat itu dia berada di dalam kendaraan, menunggu Riska.

Ketika Riska keluar dari kamar mandi, Bowo langsung bertanya, “Kamu kirim SMS pada siapa? Kok, panggil ’Sayang’?”

“Mas, kok, lihat-lihat ponselku?”

“Kenapa? Tidak boleh? Ponsel itu kan aku yang beli.”

“Dia teman sesama dosen,” akhirnya Riska menjawab.

“Masa dengan teman panggil ’Sayang’?”

“Mas, di lingkungan kampus kami saling memanggil begitu.”

Bowo masih tak percaya.

“Kalau dengan teman kamu panggil ’Sayang’, lalu apa bedanya dengan aku, suamimu?”

“Ah, begitu saja, kok, dipersoalkan. Dia itu dosen baru dan masih anak-anak.”

“Anak-anak katamu, tapi kan dia tetap seorang pria.”

Dalam perjalanan menuju Bandung, kejengkelan Bowo masih belum hilang. Di dalam kendaraan suasana jadi sepi, tidak ada yang berbicara. Keluar dari pintu tol, dalam antrean kendaraan yang sangat padat menuju dalam kota Bandung, Bowo bergumam, “Kamu aku belikan handphone, malah untuk berkirim SMS dengan pria lain.”

“Masih marah, ya, Mas?”

“Ya! Saat kamu kirim SMS itu, aku sedang berada dalam kendaraan, menunggu kamu. Kamu anggap apa aku ini? Sopir? Suami di bawah kepanasan, kamu malah mengirim SMS mesra pada pria lain.”

“Ya, sudah, kalau begitu aku kembalikan saja handphone-nya,” kata Riska, ngambek.

Belum sempat ia mengeluarkan kartu SIM-nya, Bowo sudah menimpali, “Tidak usah! Buang saja!”

Baru kali ini Riska melihat Bowo betul-betul marah. Riska akhirnya berpikir, tidak ada salahnya ia meminta maaf, karena memang ia yang salah. Tidak ada suami yang tidak marah, jika tahu istrinya menjalin hubungan dengan pria lain.

“Ya, sudah, maafkan aku, Mas,” kata Riska dengan suara pelan, sambil mengusap bahu Bowo.


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?