Fiction
Perempuan Bernama Riska [5]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

“Apakah orang yang pernah menjalani operasi prostat, tidak bisa memiliki keturunan?

“Kata teman-teman, sih, begitu. Tapi, aku belum tahu pastinya. Aku harus bertanya ke dokter,” jawab Bowo.

Dalam hati, Bowo bertanya-tanya, mengapa pembicaraan jadi berkembang ke urusan anak. Dulu dia mau menikah dengan Riska, karena Riska tidak punya anak. Sekarang, Riska tiba-tiba malah ingin punya anak.

“Coba, dong, Mas, periksa ke dokter,” kata Riska.

“Kok, jadi aku yang harus ke dokter? Harusnya kan kamu,” kata Bowo, dengan nada tinggi. Namun, agar pembicaraan tidak jadi masalah berkepanjangan, Bowo memutus pembicaraan. “Kamu saja dulu yang periksa.”

Beberapa hari kemudian, ketika Bowo pulang dari kantor, di meja samping dekat tempat tidur, dilihatnya ada dua botol besar penuh berisi air. Bowo penasaran. Saat Riska masuk kamar, Bowo bertanya, “Ris, botol apa itu?”

“Dari Ibu. Air obat untuk kandunganku.”

“Siapa yang membawanya?”

“Dikirim lewat jasa titipan.”

Bowo tidak bertanya lebih lanjut. Kepala Bowo penuh dengan tanda tanya, kenapa akhir-akhir ini istrinya jadi serius ingin punya anak. Mengapa setelah menikah, masalah anak jadi mengemuka. Padahal, sebelum menikah, kelihatannya Riska tidak terlalu mempersoalkan masalah anak.

Sebelum menikah, Bowo sudah berkali-kali mengatakan pada Riska bahwa dirinya pernah dioperasi prostat. Sehingga, secara normal tidak mungkin dapat memberikan keturunan. Saat itu Riska kelihatannya bisa menerima penjelasan Bowo. Bahkan, dia sendiri yang mengatakan bahwa ia pun mempunyai masalah dengan kandungannya. Pembicaraan soal anak ini jadi sering menimbulkan perdebatan.

Pasti ada apa-apa, pikir Bowo.

Suatu hari sesudah makan malam, belum lagi mereka beranjak dari duduknya, Riska berkata, “Mas, kamu kan tidak mungkin memberikan keturunan lewat rahimku. Bagaimana jika seandainya kondisi kandung­anku sudah sehat dan ada orang yang bersedia memberikan donor?”

Ide gila macam apa ini, pikir Bowo. Namun, Bowo pura-pura tidak mengerti maksud ucapan Riska.

“Donor bagaimana?” tanya Bowo.

“Ada orang yang bersedia memberikan spermanya.”

“Kamu ini sudah gila, ya? Mana ada suami yang merelakan istri­nya digauli pria lain, kecuali suami yang bodoh,” kata Bowo, dengan nada tinggi.

“Jangan marah dulu. Dengarkan ceritaku. Temanku menikah dengan orang tua kaya yang tidak mampu lagi memenuhi kewajib­annya sebagai pria. Dia rela istrinya tidur dengan pria lain, asalkan tidak ditinggal pergi.”

Bowo tidak tahu, cerita Riska itu memang benar terjadi atau hanya karangan belaka.

“Kan masalahnya lain. Aku kan masih mampu memenuhi kewajibanku sebagai suami. Selama ini kita tidak punya masalah dengan seks. Iya, ’kan? Kamu kan menikmatinya. Betul, ’kan?” kata Bowo, dengan suara lirih, takut terdengar pembantu rumah tangga. Meskipun, ia merasa dongkol luar biasa.

Karena Riska tak bicara apa-apa, Bowo melanjutkan, “Ris, yang tidak bisa aku lakukan adalah harus memberikan keturunan.”

“Coba tanya ke dokter, Mas,” tukas Riska.

“Tanya apa?”

“Tanya apakah ada kemungkinan kamu bisa memberikan anak.”

“Ris, kamu, kok, sekarang jadi ingin sekali punya anak? Ada apa, sih, sebenarnya?”

Tanpa menjawab pertanyaan Bowo, Riska berdiri dari tempat duduknya dan pindah ke ruang duduk. Bowo mengikuti. Mereka duduk berhadapan.

”Ibuku kan sudah tua. Sebelum meninggal, Ibu ingin aku dapat memberikan cucu, seperti saudara-saudaraku yang lain. Kata Ibu, kalau aku tidak punya anak dan kelak terjadi apa-apa pada suami, bagaimana? Siapa yang akan menemani sisa hidupku.”

Mendengar ucapan Riska, Bowo merasa mendapat kesempatan untuk menanyakan, apakah Riska sudah memberi tahu ibunya tentang pernikahannya.

“Kalau begitu, Ibu tahu bahwa kita sudah menikah?”

“Sudah!” jawab Riska, berbohong.

“Kapan kamu memberi tahu?” tanya Bowo, lebih lanjut.

“Ketika aku pulang ke Semarang kemarin,” jawab Riska, berbohong.

Selama empat hari berada di Semarang, Riska belum pernah menyinggung pernikahannya dengan Bowo. Dan, Bowo tidak tahu hal itu. Tapi, Bowo bermaksud mencari informasi pada dokter spesialis, apakah orang yang pernah operasi prostat masih ada kemungkinan memberikan keturunan.

Beberapa hari kemudian sehabis jam kantor, Bowo tidak lang­sung pulang sebagaimana biasanya. Bowo mengarahkan kenda-raannya ke Kebayoran, ke tempat praktik dr. Kuncoro, spesialis urologi. Dari pembicaraan dengan dokter, Bowo mendapat penjelasan, orang yang pernah menjalani operasi prostat, masih ada ke-mungkinan dapat memberikan keturunan. Hanya, secara teknis, prosesnya agak rumit. Perlu waktu dan kesabaran suami-istri. Tentu saja, biayanya juga cukup mahal.

Dalam perjalanan pulang, Bowo menganalisis keterangan dr. Kuncoro. Ia juga menimbang-nimbang berbagai kemungkinan. Apakah di usia lanjut dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun, dirinya masih pantas punya anak lagi. Lalu, bagaimana pendapat anak-anaknya, kalau sampai ayahnya punya anak dari ibu tiri.

Ia juga menghitung-hitung kemampuan finansialnya. Di sisi lain ia tidak mau kehilangan Riska. Bagi Bowo, Riska adalah pendamping yang sangat dia butuhkan. Bowo tidak sanggup membayangkan kesepian dan kesendirian yang akan dia hadapi jika sampai ditinggal Riska. Demi cinta Bowo pada istrinya, Bowo memutuskan menjalani proses rumit itu untuk mendapatkan keturunan.

Anehnya, ketika Bowo memberi tahu Riska tentang hasil konsultasinya dengan dr. Kuncoro, tanggapan Riska justru biasa-biasa saja. Seakan-akan usaha Bowo untuk dapat memenuhi keinginan Riska, tidak dihargai. Ini yang membuat Bowo lebih bertanya-tanya, apakah Riska benar-benar ingin punya anak dari dirinya atau ada alasan lain.

Pernikahan Bowo dan Riska telah berjalan lebih dari tiga bulan. Tapi, belum ada tanda-tanda keduanya akan meresmikan pernikahan di KUA. Riska tidak pernah menyinggungnya, Bowo pun tidak pernah membicarakannya. Bowo tidak mau mendesak untuk meresmikan pernikahan mereka, karena ia merasa belum mampu membelikan rumah sebagaimana janjinya sebelum menikah. Sebagai kompensasi, beberapa saat setelah menikah, Bowo mendepositokan sejumlah dana atas nama Riska.


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?