Fiction
Perempuan Bernama Riska [3]

6 Mar 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Pembicaraan sambil bercanda di tempat pengajian, berlanjut di kediaman Bu Puji. Setelah ngobrol soal keadaan kompleks perumnas Tlogosari, Bu Sri akhirnya mengutarakan maksud kedatangannya.

“Jadi, Bu Sri serius untuk besanan dengan saya?” tanya Bu Puji.

“Betul, Bu. Saya datang kemari, selain menengok Ibu, juga dalam rangka anak saya. Usia Anton sudah pantas untuk menikah. Dia sudah punya pekerjaan tetap, malah sudah memiliki rumah sendiri. Saya kira, penghasilannya juga lumayan. Kalau dia tidak sempat mencari istri sendiri, kan tidak ada salahnya orang tua ikut mencarikan pasangan.”

“Benar, Bu. Tugas seorang ibu tidak pernah ada akhirnya. Seperti saya. Meskipun kelima anak saya sudah menikah, ada saja masalah yang memerlukan campur tangan saya. Apalagi, sejak bapaknya anak-anak meninggal. Persoalan membesarkan dan pendidikan anak-anak jadi tanggungan saya semua.”

Untuk sesaat mereka berdua diam, kemudian Bu Puji melanjutkan, “Anak saya ini namanya Riska, dia anak nomor dua. Maaf, ya, Bu, sebetulnya dia sudah pernah menikah, tapi mungkin tidak jodoh. Dua tahun yang lalu mereka bercerai. Sekarang dia tinggal bersama kakaknya di Jakarta.”

Dengan ragu-ragu Bu Sri bertanya, “Apakah Nak Riska sempat punya momongan?”

“Dia belum punya anak. Karena itu, saya ingin dia cepat-cepat menikah lagi. Karena, kakak dan adik-adiknya sudah memiliki anak. Ya, kalau orang setua saya ini kan tidak tahu kapan dipanggil Gusti Allah. Makanya, mumpung masih hidup, saya ingin punya cucu dari Riska.”

Bu Puji beranjak dari kursinya, mengambil foto Riska yang dipajang di atas lemari di sebelah kiri meja tamu. Foto Riska diperlihatkan pada Bu Sri. Beberapa saat Bu Sri mengamati foto Riska. Melihat wajah dan penampilan Riska, Bu Sri langsung tertarik. Dalam hati, Bu Sri memuji kecantikan Riska. Meskipun janda, terlihat masih muda, dan cantik. Orang tidak akan tahu bahwa dia janda. Mudah-mudahan saja Anton suka.

“Ngomong-ngomong, bisa tidak kapan-kapan saya dipertemukan dengan Nak Riska? Biar dia berkenalan dengan Anton,” kata Bu Sri.

“Begini saja, Bu, nanti saya panggil Riska agar pulang. Biar dia minta izin untuk pulang sebentar. Dia kan bekerja sebagai dosen di Jakarta.”

“Wah, kebetulan. Profesi dosen kan terhormat. Berapa usia Nak Riska?” tanya Bu Sri.

Bu Puji agak ragu-ragu. Di akta kelahiran, usia Riska tercatat 37 tahun, tapi di KTP tercatat usianya 35 tahun.

“Sekarang 35 tahun,” kata Bu Puji.

“Lebih tua setahun dari Anton,” Bu Sri bergumam. “Bulan depan Anton genap berusia 34. Tapi, zaman sekarang tidak ada masalah kalau istrinya lebih tua. Apalagi, bedanya cuma setahun.”

Pada bulan November itu, saat pembicaraan antara Bu Puji dan Bu Sri berlangsung, Riska sudah satu bulan menikmati kehidupan baru sebagai istri Bowo. Riska sengaja tidak memberi tahu ibu dan saudara-saudaranya bahwa dia telah melakukan nikah siri.

Hari Selasa pagi, ketika Riska sedang memberikan kuliah, telepon selulernya berbunyi. Dari ibunya. Riska bertanya-tanya, ada apa pagi-pagi Ibu sudah menghubunginya. Biasanya, Ibu selalu menelepon di malam hari.

“Ris, ini Ibu. Bagaimana kabarmu?”

“ Riska baik-baik saja, Bu. Ibu sendiri bagaimana?”

”Ibu sehat. Ris, bisa kamu pulang sebentar ke Semarang?”

”Ada apa, Bu?”

”Ada urusan penting menyangkut dirimu.”

Tanpa penjelasan, Riska sudah mengerti apa yang dimaksud ibunya.

”Riska sedang mengajar, Bu. Nanti malam saja Riska telepon Ibu lagi.”

”Ibu mengharapkan kamu cepat pulang,” kata Bu Puji, mendesak.

”Ya, Bu.”

”Tapi, jangan lama-lama, ya, Nak”

”Akan Riska usahakan secepatnya, Bu.”

”Baik, Ibu tunggu, ya,” Bu Puji mengakhiri pembicaraannya.

Konsentrasi Riska terganggu. Tapi, dia terus mengajar, sampai batas waktu mata kuliah berakhir. Dalam perjalanan pulang, pikiran Riska masih di sekitar pembicaraan dengan ibunya. Riska tahu, untuk apa ibunya meminta dia pulang. Mungkin Ibu sudah menemukan calon untuknya.

Sebenarnya Riska sudah merasa cocok hidup berdua bersama Bowo. Tapi, Riska khawatir kondisi Bowo tidak dapat memberikan jaminan masa depan. Bagi Riska, cinta saja tak selamanya cukup, apalagi kalau menyangkut materi dan kekayaan. Belakangan Riska menyesal telah membuat kesalahan dalam menilai kemampuan Bowo. Apa yang pernah dikatakan Bowo bahwa dirinya tidak kaya, bukan sekadar basa-basi, tapi memang sesuai kenyataan. Pada saat berpacaran, Riska mengira Bowo seorang pejabat kaya yang akan dapat memenuhi keinginan Riska. Rumah, mobil, usaha, dan prospek masa depan yang menjanjikan.

Ketika itu Riska berpikir, tidak masalah dia menikahi duda tua. Yang penting orangnya baik, dan tentu saja kaya. Sahabat karibnya, Nuraini, sempat merasa heran mendengar Riska berhubungan dengan orang yang pantas menjadi ayahnya. Namun, Riska justru mengatakan tidak masalah. Riska beralasan, ingin hidup enak, tidak perlu kerja, tidak pusing dengan masalah keuangan. Tapi, melihat kenyataan yang dihadapi, kini Riska berpikir lain.
Setelah berpikir cukup lama, sebelum Bowo pulang kantor, Riska sudah mengambil keputusan untuk minta izin suaminya beberapa hari pulang ke Semarang.

Sehabis makan malam, ketika mereka berdua duduk-duduk di ruang tamu, Riska dengan hati-hati minta izin Bowo.

”Mas, tadi adik di Semarang menelepon. Aku disuruh pulang. Katanya, Ibu sakit.”

”Sakit apa?” tanya Bowo, penuh perhatian.

”Ibu kan diabetes. Kalau gula darahnya naik, Ibu suka terkena vertigo. Makanya, aku mau ke Semarang,” Riska berbohong.

”Kalau begitu, dengan aku saja. Sekalian aku bekenalan langsung dengan ibumu.”

”Ah, tidak usah, Mas. Nanti Mas jadi bolos lagi. Lagi pula, aku pergi dengan Mbak Ratna,” lagi-lagi Riska berbohong.

”Ya, sudah. Tapi, jangan lama-lama di Semarang. Besok aku belikan tiket pesawatnya.”

”Tak usah, Mas. Kasih uangnya saja, nanti kubeli sendiri di airport.”

Dengan menggunakan pesawat siang pukul sebelas dari Bandara Soekarno-Hatta, tepat pukul setengah dua Riska sudah tiba di rumah ibunya. Setelah hampir empat bulan tidak bertemu, wajah Bu Puji terlihat cerah melihat kedatangan anaknya. Bu Puji dan Riska saling berpelukan mesra.

Sehabis meletakkan koper di kamar tidur, Riska kembali menemui ibunya yang sedang duduk di ruang tamu. Riska sudah tidak sabar untuk mendengar cerita ibunya.

“Bu, jadi bagaimana ceritanya?”

Sambil memandang wajah anaknya yang duduk di sofa di sampingnya, Bu Puji berkata, “Dua minggu yang lalu teman Ibu datang kemari. Dia ingin menjodohkan anaknya dengan kamu.”


Penulis: Adam Saleh


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?