Fiction
Pengorek [3]

24 Jun 2013



1) Pengorek: Penculik yang menculik untuk mengambil organ dalam tubuh korbannya (istilah  yang berasal dari masyarakat Kalimantan Barat)

<<<<< Cerita Sebelumnya

Bagian 3
Kisah sebelumnya:

Marieta, seorang guru di Sanggau, Kalimantan Barat. Selain mengajar anak-anak yang tidak terlalu peduli dengan pentingnya pendidikan, Marieta juga membantu suaminya, Libu, mencari uang dengan menyadap getah karet di kebun mereka. Suatu hari, kampung Marieta digemparkan oleh pembunuhan dua orang yang diisukan sebagai pengorek.


“Saya lihat-lihat dulu bukunya, ya, Mas,” ujar Marieta dengan menekan nada suaranya agar terkesan netral, meskipun jantungnya berdetak seperti ketukan drum yang ditabuh seorang anak kecil dengan tak keruan. Marieta berjalan mendekati meja kerjanya. Ia duduk sambil menatap buku-buku yang dibawanya dari sales itu. Tetapi, dorongan hatinya untuk melihat kembali sales itu lebih besar daripada keinginannya untuk mencermati kelayakan isi buku itu.
Marieta melayangkan tatapan matanya ke arah sales itu.  Ia bertambah kikuk karena sales itu ternyata sedang menatapnya juga dari kejauhan. Marieta kembali melihat buku-buku baru di mejanya. Ia membolak-balik halaman-halaman buku. Sejauh ini tak ada isi buku yang dapat ditangkapnya. Ia tiba-tiba lupa apa saja materi pelajaran yang harus ia belajarkan kepada siswanya. Ia tiba-tiba tidak mampu mengukur apakah isi buku itu sesuai dengan kondisi kelas yang dipegangnya.
Akhirnya, Marieta menyerah. Ia melangkah mendekati sales itu. “Mas, saya nanti aja pesannya.”
“Oh, iya, enggak apa-apa, kok, Bu. Nanti kalau Ibu berminat, Ibu bisa menghubungi saya lagi,” balas sales itu.
“Ya,” jawab Marieta, singkat.
“Saya mau pesan untuk yang kelas tujuh, ya, Pak,” sekilas ia mendengar Anjar bersuara.
Mereka masih bertransaksi ketika Marieta memilih untuk melangkahkan kakinya ke luar dari ruang guru. Ia berjalan menuju ruang depan, ruang tamu yang cukup luas. Di ruang itu, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan sepenuh hati, seolah-olah dengan begitu jantungnya bisa berdetak bebas terlepas dari impitan tulang-tulang dadanya. Ada perasaan lega menyisip hatinya. Ia menata kembali detak jantungnya yang sempat menjadi tak keruan.
Ia melanjutkan langkahnya ke teras depan sekolah. Sebatang bougenville rindang dengan bunga berwarna ungu menutupi hampir seluruh permukaan pohon. Bunga itu terasa menyegarkan pandangan matanya. Halaman depan sekolah terlihat hijau karena tanaman rumput yang terawat menghampar rapi di sepanjang halaman depan. Dua pohon palem botol di dekat garasi melambai-lambai ditiup angin. Pandangan mata Marieta berhenti pada sebuah kendaraan yang tak biasa parkir di garasi sekolah.
“Permisi,” sebuah suara bariton mengejutkannya.
Marieta memalingkan kepalanya. Dilihatnya sales itu sudah berdiri di dekatnya dengan membawa sebuah tas hitam besar. Sejenak mereka disergap keheningan.
“Marieta,” suara itu terdengar lagi. “Aku yakin kamu adalah Marieta.”
Marieta tak segera membalas. Ditatapnya lekat-lekat pria di hadapannya itu.
“Bagaimana kabarmu, Marieta?” tanya pria itu.
“Mas Purwanto? Aku sedang tidak bermimpi, ‘kan?” ucap Marieta, yang justru memberikan pertanyaan baru, tanpa menjawab pertanyaan pria itu.
“Ya, betul. Kamu tidak sedang bermimpi.”
“Kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Karena aku mencarimu, Marieta. Setelah pencarian yang sangat panjang, akhirnya aku bisa menemukanmu di sini. Ternyata, pencarian ini tak sia-sia.”
“Bagaimana kamu bisa sampai di sini?” masih dengan rasa tak percaya Marieta justru menginterograsi Purwanto dengan pertanyaan-pertanyaannya.

****
Purwanto menarik napas panjang. “Lima tahun ini aku bekerja di bagian pemasaran penerbit buku. Kantor pusat kami di Jawa Tengah, tetapi aku punya kesempatan untuk mendistribusikan buku ke daerah-daerah. Aku pernah ke Sumatra, Sulawesi, ke Indonesia Timur bahkan. Delapan bulan yang lalu aku menemukan jejakmu di internet. Aku mengetik namamu asal saja di mesin pencari. Aku temukan namamu dan alamat sekolah ini. Tiga bulan yang lalu ketika kantor membagikan tugas kerja para sales, aku meminta jatah ke Kalimantan Barat. Tak lain supaya aku bisa mencarimu. Aku ingin bertemu denganmu, sangat ingin bertemu denganmu,” ujarnya.
“Jadi, sebelum kamu ke sekolah ini, kamu sudah tahu aku ada di sini?” tanya Marieta.
“Betul dan aku sudah siap dengan semua kondisi. Maksudku, aku siap jika kamu masih mau menerimaku. Aku juga siap, jika kamu mau mengusirku,” ucapnya dengan tegas.
“Apa alasanku menolak kedatanganmu, Mas? Setelah bertahun-tahun tidak pernah ada kabar berita, mengapa aku harus menolakmu yang sudah bersusah-payah bisa datang sampai kemari?” kata Marieta. “Kalau kamu berkenan, aku juga tidak keberatan kalau kamu datang ke rumahku.”
“Serius, aku boleh ke rumahmu?” tanya Purwanto.
“Kenapa enggak. Datanglah. Kapan? Nanti sore, ya? Rumahku ada di sebelah….”
“Penggergajian kayu?” potong Purwanto.
“Kok, kamu tahu?” tanya Marieta kaget.
“Aku tahu di mana rumahmu, suamimu, anakmu, banyak hal mungkin tentangmu di sini,” kata Purwanto, sambil tersenyum. “Maaf, ya, Marieta, bukan maksudku untuk lancang, tetapi aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, bahwa kamu hidup bahagia. Kebahagiaanmu adalah juga kebahagiaan bagiku, meskipun aku tak akan pernah bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu itu.”

****
        Sampai di bagian ini, ada keharuan yang menyeruak di hati Marieta. Matanya terasa mulai panas dan mengabur. Ada lapisan bening di bola matanya yang siap mengalir.
        “Maafkan aku, Mas. Waktu itu aku memang lari darimu. Aku pergi tanpa pamit padamu. Bapakku datang ke Yogya menjemputku. Bapak memaksaku pulang. Bahkan, Bapak tidak mengizinkan aku meneruskan kuliahku lagi, meskipun waktu itu aku hanya tinggal menyusun skripsi. Aku tidak pernah lagi boleh kembali   ke Yogya. Bapak tidak mau menerima perbedaan di antara kita, betapapun kita saling menyayangi. Kalau Bapak sempat bertemu kamu, kamu akan dibawakan parang. Bapak mau membunuhmu karena Bapak menilai kamulah yang merusak masa depanku. Makanya, waktu itu aku memilih ikut Bapak pulang agar kamu selamat, agar semuanya selamat,” jelas Marieta, dengan air mata yang mulai menetes setelah menahan penjelasan yang bertahun-tahun kemudian baru bisa ia sampaikan kepada Purwanto.
“Ssst… sudahlah, Sayang. Enggak usah nangis di sini. Enggak enak kalau teman-temanmu melihat. Aku mengerti dan tak akan menyalahkanmu,” ucap Purwanto, mendekati Marieta.
Marieta mengeluarkan sapu tangannya. Disekanya aliran air dari kedua bola matanya. Ingin rasanya ia menjatuhkan diri ke dalam dekapan laki-laki yang belasan tahun dirindukannya itu. Tetapi, situasi di sekitarnya tak memungkinkan. Ia menahan diri untuk tak melakukannya, meskipun kerinduannya pada Purwanto tak terkirakan.
“Maaf, Mas. Aku tidak mampu menahan perasaanku. Aku hanya tidak menyangka   kita masih bisa bertemu lagi. Kamu sendiri bagaimana sekarang? Berapa anakmu?” tanya Marieta, setelah ia berhasil menguasai dirinya.
“Anakku satu, Marieta. Laki-laki. Sekarang kelas sepuluh. Zaman kita dulu kelas satu SMA, ya, namanya. Dia ganteng banget. Senyumnya mirip banget dengan senyum ibunya,” kata Purwanto, dengan senyum gembira. Marieta ikut tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Purwanto. “Aku pamit dulu, ya. Nanti sore aku ke rumahmu.”
Setelah mengucapkan salam, Purwanto berjalan menuju mobil yang diparkirnya di garasi sekolah. Ia sempat melambaikan tangan kepada Marieta yang masih berdiri di teras depan sekolah, menatap pria yang secara tak sengaja dengan mobil mogoknya ia lihat kemarin di SPBU Sungai Mawang hingga pria itu menghilang di tikungan jalan di depan sekolah. Marieta kembali masuk ke ruang guru tanpa pernah menyadari sepasang mata yang sedari tadi terus mengawasi pertemuan itu dari kejauhan.

****
         “Bu, tadi pagi ada orang mencari aku di sekolah,” kata Welly, sambil mengemas piring-piring kotor dari meja makan. Ia membawa piring-piring itu ke tempat pencucian piring dan mulai mencucinya. Welly memang anak laki-laki, tetapi Marieta tidak mau membeda-bedakan pekerjaan antara anak laki-laki dan perempuan. Jadi, selain bisa menyadap karet,   memanjat pohon rambutan, atau pekerjaan laki-laki lainnya, di rumah ia juga terampil mencuci piring, mencuci pakaian, beres-beres rumah, bahkan memasak. Bagi Marieta, anak-anak perlu menguasai sebanyak mungkin keterampilan agar mereka bisa hidup mandiri.
“Siapa?” tanya Marieta.
“Aku ndak kenal, Bu. Katanya, sih, namanya Om Purwanto. Ngaku-nya dia teman lama Ibu,” jelas Welly.
“Waktu aku sampai sekolah, dia udah di depan sekolah dan memanggil aku. Dia tanya-tanya tentang Ibu.”
“Tanya apa?”
“Tanya Ibu kerja di mana, Ibu rumahnya di mana, aku berapa bersaudara, Bapak juga ditanya apa kerjanya. Ndak lama, kok, Bu. Dia ngasih aku bungkusan kecil. Habis itu dia pamit,” kata Welly.
“Dia ngasih kamu apa?” tanya Marieta.
“Jam tangan, Bu. Jamnya bagus banget. Ada di kamarku. Selain itu, ada amplop di dalamnya. Isinya uang Rp500.000,“ jelas Welly.
“Aduh, banyak banget, sih, ngasihnya?”
“Ndak tahulah, Bu. Welly sebenarnya nolak waktu om itu mau ngasih bungkusan, tapi Om itu memaksa Welly, jadi Welly terima.”
“Ya, udah. Ditabung aja dulu uangnya. Kalau udah perlu baru kamu pakai,” ucap Marieta.
“Ya, Bu,” balas Welly.
Setelah menutup lemari makan, Marieta menyusul Libu ke halaman depan. Cuaca agak mendung, sementara Libu berniat membawa lembaran-lembaran lateks yang telah dibekukan dan dipres kepada tauke yang biasa membeli lembaran-lembaran lateksnya. Libu harus berangkat lebih awal agar tidak kehujanan. Marieta membantu menaikkan beberapa lembar lateks yang telah disiapkan oleh Libu ke atas motornya. Lembaran-lembaran itu ditumpuk dengan rapi dan diikat kuat-kuat.

“Bang, tadi di sekolah ada sales buku. Dia bilang sore ini mau ke rumah,” ucap Marieta, setelah Libu selesai mengikat tumpukan lateks di jok belakang motornya.
           “Mau apa?”
“Mau main jak. Dia di sini ndak lama. Kalau udah selesai menawarkan buku di beberapa sekolah di sini, dia mau balik ke Jawa.”
“Oh, ya, ndak apa-apa kalau mau ke rumah. Jam berapa mau ke sininya?”
Marieta belum sempat menjawab ketika mereka mendengar suara sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah mereka.
“Oh, itu orangnya, Bang,” ujar Marieta, setelah melihat Purwanto membuka helmnya. Purwanto mendekati mereka.
“Selamat siang,” sapa Purwanto.
“Selamat siang. Kenalkan, ini suami saya,” balas Marieta, sambil mengembangkan tangan kanannya kepada Libu.
Purwanto mengulurkan tangan kanannya hendak menjabat tanganLibu, namun Libu berkata, ”Maaf, bukannya saya tidak mau bersalaman, tapi tangan saya kotor. Silakan masuk saja dulu. Saya cuci tangan dulu.”
“Yuk, silakan masuk. Harap maklum, beginilah kehidupan petani penyadap karet,” ujar Marieta.
“Tapi, kulihat kebanyakan masyarakat yang hidupnya menjadi petani penyadap karet di sini lebih sejahtera,” kata Purwanto.
“Dari mana tolok ukurnya?” tanya Marieta.
“Sebagian besar rumah di sini memiliki payung parabola. Di Jawa kan hanya orang-orang kaya yang bisa memasang payung parabola,” jawab Purwanto, dengan polos. Marieta tertawa mendengar ucapan Purwanto. “Kok, kamu malah tertawa, sih?” tanya Purwanto heran. “Apanya yang lucu?”
“Mas, di sini kalau enggak pasang parabola, enggak bisa milih banyak saluran televisi seperti di Jawa. Bisanya paling cuma nonton TVRI. Jadi, bukannya karena kami kaya, tapi karena keadaan aja,” jelas Marieta.
Libu sudah kembali ke ruang tamu dengan pakaian yang lebih rapi. Libu mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Purwanto. Libu duduk di sebelah Marieta.
“Mau dibawa ke mana lembaran lateksnya, Pak?” tanya Purwanto.
“Mau dijual ke Bodok,” jawab Libu.
“Dibawa sendiri?” lanjut Purwanto.
“Ya, lebih menguntungkan begitu. Ada, sih, mobil yang biasanya keliling ke rumah-rumah petani, tetapi harga yang mereka tawarkan lebih murah dibandingkan kalau kita bawa sendiri ke Bodok,” jelas Libu.
“Di mana Bodok itu?”
“Sekitar dua puluh kilometer dari sini,” jawab Libu.
“Oh, lumayan jauh juga,” kata Purwanto.
“Kalau sudah terbiasa, ndak terlalu jauh, kok,” balas Libu, sambil tersenyum.     “Saya minta maaf karena harus pergi, mau ke Bodok, takut kehujanan. Itu kelihatan sudah mulai mendung,” ujar Libu.
“Oh iya, silakan, Pak. Tadi saya berjanji dengan Ibu Marieta, sore mau ke sini, tapi saya percepat karena kelihatannya mendung, takut hujan,” kata Purwanto.
“Ya. Bu, aku pergi dulu, ya,” pamit Libu kepada Marieta.
“Mantel hujannya dibawa. Welly tadi di mana?” tanya Marieta.
“Di kamarnya. Mari, Pak. Saya pergi dulu. Silakan dilanjutkan urusannya dengan Ibu,” kata Libu kepada Purwanto.
Tak lama kemudian Libu sudah mengendarai motornya dan meninggalkan halaman rumah mereka yang luas. Purwanto dan Marieta kembali masuk ke ruang tamu.
“Suamimu orang yang baik, Marieta,” ujar Purwanto. Marieta yang diajak bicara hanya diam dan tak membalas ucapan Purwanto.
 “Sekarang aku merasa sangat lega.”
“Lega karena apa?” tanya Marieta tak mengerti.
“Pertama, karena wanita yang sangat aku cintai berada di tangan laki-laki yang baik. Kedua, karena kamu sudah mengasuh dengan sangat baik anak laki-lakiku yang sekarang duduk di kelas sepuluh. Tadi pagi dia banyak bercerita tentangmu,” jelas Purwanto dengan tenang.
“Welly? Tapi, kan anakmu…,” ucap Marieta terbata-bata.
“Ya, Welly anakku, Marieta,” tegas Purwanto.
“Anakmu yang kamu bilang tadi di sekolah?” tanya Marieta heran.
Purwanto tidak menjawab. Ia hanya mengambil dompet dari saku belakangnya. Ia menjulurkan KTP-nya kepada Marieta. Marieta membaca semua identitas Purwanto yang tertulis di situ. Matanya terhenti pada status perkawinan Purwanto. Di situ tertulis: tidak kawin.
“Aku belum pernah menikah, Marieta. Aku berjanji untuk tidak akan pernah menikah hingga aku berhasil menemukanmu dan mengetahui kabar benih yang pernah kutanam di dalam rahimmu. Aku yang seharusnya bertanggung jawab atas semuanya. Tapi, aku kehilangan jejakmu. Surat-surat yang aku kirim kepadamu saat itu tak pernah kamu balas, sampai-sampai aku ragu apakah betul alamat yang dulu pernah kamu berikan kepadaku itu adalah benar alamat rumahmu. Kamu tak pernah memberi kabar kepadaku. Mungkin kamu menganggap semuanya sudah selesai saat itu, tapi aku tidak, Marieta,“ papar Purwanto.
“Sebetulnya surat-suratmu aku terima, tapi memang aku tak pernah membalasnya agar kamu berhenti berharap, Mas. Waktu itu aku menolak untuk menggugurkan kandunganku. Aku bersikeras untuk mempertahankan janin yang ada di rahimku. Bapak lalu menjodohkan aku dengan Libu, anak kerabat bapakku. Libu telah menyelamatkan keluargaku dari aib akibat aku hamil tanpa suami sah. Karena keadaan, aku akhirnya menerima Libu sebagai suami karena Bapak tak mau menerimamu,” ungkap Marieta.
“Ya, aku mengerti. Pak Widi telah menceritakan semuanya,” balas Purwanto.
“Pak Widi?”
“Ya, kakak ibumu, ‘kan? Aku menginap di rumahnya tadi malam. Lusa kami akan meneruskan perjalanan ke kecamatan berikutnya,” kata Purwanto.
Marieta kembali terdiam beberapa saat. Lalu, tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Maaf, Mas. Kamu mau minum apa?”
“Enggak usah repot-repot. Aku juga enggak bisa lama-lama. Takut kalau hujan turun dan aku tidak bisa pulang.”
“Enggak baik menolak tawaran, Mas.”
“Enggak apa-apa, kok. Aku serius. Tadi aku juga barusan makan siang dan udah minum. Kalau boleh, aku mau ketemu Welly,” pinta Purwanto.
“Oh, bisa, kok. Tunggu sebentar, aku panggilkan, ya,” kata Marieta. Ia kemudian masuk ke dalam dan mencari Welly. Tak lama kemudian Welly keluar diikuti Marieta.
“Bu, ini Om yang tadi pagi memberiku bungkusan yang aku ceritakan tadi,” kata Welly, setelah melihat tamu yang berada di ruang tamu.
 “Terima kasih, ya, Om,” kata Welly. “Bu, saya ke dalam dulu, ya,” suara Welly terdengar. Marieta hanya menganggukkan kepalanya. “Permisi dulu, ya, Om.”
“Silakan,” balas Purwanto.
Setelah Welly kembali ke dalam, Marieta berkata, “Ia sangat mirip denganmu.”
“Ya, ia juga sangat mirip denganmu,” balas Purwanto.
“Tiap aku rindu padamu, aku selalu menatap wajahnya. Kulihat tatapan matamu di matanya,” kata Marieta.
“Aku hanya bisa titip dia, Marieta. Aku tidak bisa memberikan yang lebih. Aku percaya dalam asuhanmu dan Libu, Welly akan tumbuh menjadi anak yang baik,” ujar Purwanto. Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku depan celananya. “Bolehkah aku meminta nomor ponselmu?”
“Oh ya. Boleh…boleh…,” jawab Marieta segera. Ia menyebutkan dua belas angka yang menjadi nomor ponselnya. Tak lama berselang ia mendengar nada panggil dari ponselnya di dalam kamar tidurnya. “Sebentar, ya,” ucap Marieta kepada Purwanto.
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya. Ia mengetikkan nama Marieta di ponselnya, sementara Marieta masuk dan mengambil ponselnya.
“Itu nomorku. Sering-seringlah berkirim kabar kepadaku tentang kamu, Welly, dan keluargamu,” pinta Purwanto setelah Marieta duduk kembali di ruang tamu.
Marieta memasukkan nama Purwanto dan nomornya ke dalam ponselnya. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum mendengar ucapan terakhir Purwanto.
“Marieta, aku mau pamit dulu, ya. Sebenarnya, aku masih mau ngobrol lama-lama denganmu. Tetapi, di luar sepertinya mau turun hujan. Apalagi, suami kamu enggak di rumah. Enggak enak rasanya ngobrol lama-lama hanya berdua denganmu,” ujar Purwanto.
“Mas, aku enggak bisa memberimu apa-apa. Aku hanya bisa minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah aku buat. Terima kasih kamu masih seperti dulu, tidak berubah padaku,” kata Marieta.
“Marieta, aku akan tetap menyayangi kamu, meski sampai sekarang aku enggak bisa memilikimu. Walaupun enggak kamu ungkapkan, aku tahu kamu masih menyimpan rasa yang sama kepadaku, setidaknya aku tahu dari bagaimana kamu mempertahankan Welly dan mengasuhnya hingga sekarang,” ucap Purwanto.
Marieta memandang wajah Purwanto. Laki-laki itu masih seperti ketika ia tinggalkan enam belas tahun yang lalu, tidak egois, penuh pengertian, dan memiliki kendali emosi yang cukup tinggi. Ia terlihat  makin matang dan dewasa, meskipun Marieta tahu Purwanto menahan perasaan yang bertahun-tahun dipendamnya.
“Eh, aku pamit, ya. Kamu, kok, malah melamun?” tegur Purwanto.
“Oh iya, Mas. Terima kasih, ya.”
“Titip salam buat suamimu,” kata Purwanto, sambil menjabat tangan Marieta.
“Ya, nanti aku sampaikan. Hati-hati di jalan,” ujar Marieta.
Purwanto kemudian keluar rumah dan berjalan menuju sepeda motor yang diparkir di halaman. Marieta ikut menemani Purwanto. Ditunggunya Purwanto hingga laki-laki itu menaiki sepeda motornya dan meninggalkan halaman rumahnya. Marieta berjalan kembali ke dalam rumah sambil menggenggam ponselnya yang kini dirasakannya sebagai benda paling berharga baginya karena di dalamnya terdapat nomor orang yang sangat dirindukannya itu.

****
         Dengan tergopoh-gopoh Marieta memarkir sepeda motornya di halaman rumah. Di dekatnya Libu sedang memutar lembaran lateks dengan mesin pres.
“Bang, tadi di depan sana ada orang banyak ribut-ribut. Coba Abang lihat ada apa. Aku ndak berani ke sana!” seru Marieta.
Dengan bergegas Libu berjalan ke depan, lalu menghilang di tikungan jalan. Marieta melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Hari ini hari Jumat. Ia pulang lebih cepat dari sekolah. Dilihatnya Welly juga sudah pulang.
“Kamu udah lama pulang?” tanya Marieta.
“Belum   terlalu lama, Bu.”
“Udah ada ribut-ribut di depan sana waktu kamu pulang tadi?”
“Belum. Ribut-ribut apa,  Bu?” tanya Welly sambil berdiri hendak keluar rumah.
“Ndak tahu. Kamu ndak usah ke sana. Tadi Ibu sudah nyuruh Bapak yang ke sana. Kita tunggu di sini jak. Semoga ndak ada apa-apa,” cegah Marieta.
Sekitar tiga puluh menit kemudian Libu berlari-lari memasuki rumah dan mengambil ponselnya dengan terburu-buru.
“Ada apa, sih, Pak?” tanya Marieta tak sabar.
“Mereka bilang udah nangkap pengorek. Dua orang. Mereka mau membakarnya hidup-hidup di dalam mobil. Kita harus lapor polisi. Mana nomor polisi itu?” ujar Libu dengan nada panik. Setelah mencari-cari nomor yang ia maksud, ia langsung menekan tombol panggil pada nomor itu.
“Coba kamu baca ini,” pinta Libu sambil menunjukkan sebuah pesan singkat dari ponselnya kepada Marieta setelah ia mengakhiri panggilan teleponnya. Marieta membaca pesan singkat itu.
Pesan dari Kapolres. Tlg sbarkan sms ini k' semua org. Pengorek adalah nyata & jgn diremehkan. Mrk mencari korban sebanyak 400 org tua, muda, & anak2 utk diambil alat2 dlm anggota tubuh manusia. Ciri2 org tsb memakai mobil MPV biru metalik, yg 1 bertubuh tinggi semampai, berambut ikal & yg 1-nya lg pendek, berkacamata.
“Abang lihat orangnya tadi?” nada suara Marieta penuh kekhawatiran.
“Aku dicegat oleh mereka. Aku ndak bisa melihat dengan jelas orang dalam mobil itu.”
“Mereka ndak boleh, dong, main hakim sendiri seperti itu,” kata Marieta. Marieta keluar menuju teras rumahnya. Dari kejauhan ia melihat asap hitam mengepul tinggi. Dengan suara parau ia berteriak, “Bang, cepat suruh polisi datang ke tempat itu!”

****
Dengan mata nanar Marieta mencermati tiap baris berita dalam koran di tangannya.
Kapolda Kalimantan Barat memerintahkan seluruh jajaran reserse di Polda dan Polres untuk menangkap penyebar SMS yang berisi isu penculikan dan pengambilan organ tubuh manusia. Kapolda berjanji untuk menindak tegas para pelaku penyebaran SMS tentang penculik atau pengorek yang sangat meresahkan itu.
Di Sanggau, isu itu telah menelan dua korban tewas pada hari Jumat lalu.. Dua orang itu adalah Saiful (40) dan Purwanto (48). Menurut Kabid Humas Polda Kalimantan Barat keduanya merupakan sales buku-buku pendidikan. Mereka  tewas mengenaskan setelah dianiaya oleh dua puluh orang dan dibakar di dalam mobilnya.
Kapolda juga mengimbau agar provider jasa telekomunikasi lebih selektif terhadap SMS yang tersebar. SMS yang bersifat provokatif sebaiknya tidak diteruskan. Sebaliknya, melalui SMS, Gubernur, Wali Kota, Bupati, dan Kapolda dapat menyebarkan SMS yang berisi penjelasan kepada masyarakat bahwa isu yang tersebar selama ini adalah tidak benar dan hanya bertujuan merusak dan mengganggu ketertiban masyarakat menjelang pemilihan gubernur Kalimantan Barat.
Dalam upaya menyelesaikan masalah yang muncul di Sanggau itu, Kapolda mengerahkan 300 personel ke lokasi kejadian. Kapolda meminta agar semua tersangka menyerahkan diri. Kapolda juga memerintahkan kepada anggotanya, khususnya personel Brimob yang diturunkan, untuk melumpuhkan tersangka jika terjadi perlawanan dan tidak membenarkan anggotanya melakukan tindakan di luar perintah jika yang bersangkutan menyerahkan diri secara baik-baik kepada kepolisian.

****
Marieta berulang kali membaca berita itu dengan harapan ada perubahan terhadap isinya. Namun, sudah empat kali ia membacanya, yang tertulis di dalam berita itu tidak berubah. Purwanto. Sales buku. Tewas mengenaskan.
Kedua bola mata Marieta merah. Air matanya terus menetes di pipinya. Sebagaimana mimpi yang ia rasakan ketika pertama kali melihat Purwanto di SPBU Sungai Mawang, ketika berjabat tangan dengannya di sekolahnya, dan ketika berbincang-bincang di rumahnya tiga hari yang lalu, seperti itu jugalah ia merasakan mimpi buruknya ketika membaca berita di headline news koran lokal hari ini. Ia tak pernah tertarik pada politik. Baginya, politik adalah permainan yang tak jarang kotor dan membingungkan. Mangabdikan diri di sekolah dengan ketulusan hati dan menjalani hari-harinya sebagai petani penyadap karet cukup memberikan kepuasan bagi batinnya.
Sejak awal ia sadar bahwa isu pengorek adalah bagian dari permainan politik dengan modus saling menjatuhkan dan saling merebut massa di masa kampanye pemilihan orang nomor satu di provinsi ini. Namun, mengapa isu itu harus melibatkan orang yang sangat ia kasihi, yang baru saja ia temukan kembali setelah enam belas tahun terpisah tanpa kabar berita? Mengapa Purwanto harus pergi dengan cara seperti ini, cara yang sangat mengejutkan?
Dengan mata yang masih basah, Marieta mengeluarkan ponselnya. Dipilihnya sebuah SMS yang ia terima hari Jumat pagi, sesaat sebelum ia berangkat ke sekolah, sebelum Purwanto terjebak oleh amukan massa.
Marieta, siang ini aku akan kembali ke Yogya. Sekarang aku udah enggak ragu lagi. Melihatmu, melihat Welly, melihat suamimu, aku bisa pergi dari tempat ini dengan tenang. Aku bahagia bisa mencintaimu dengan cintaku yang tak berbatas dan bertepi ini, meskipun kita tak pernah bisa saling memiliki. Aku menyayangimu, Marieta. Selamanya.



******
Yohana L.A. Suyati
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2013





 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?