Fiction
Pengorek [2]

24 Jun 2013


1) Pengorek: Penculik yang menculik untuk mengambil organ dalam tubuh korbannya (istilah  yang berasal dari masyarakat Kalimantan Barat)

<<<<< Cerita Sebelumnya


Bagian 2
Kisah sebelumnya:
Marieta, seorang guru di Sanggau, Kalimantan Barat. Selain mengajar anak-anak yang tidak terlalu peduli dengan pentingnya pendidikan, Marieta juga membantu suaminya, Libu, mencari uang dengan menyadap getah karet di kebun mereka. Suatu hari, kampung Marieta digemparkan oleh pembunuhan dua orang yang diisukan sebagai pengorek.


Dari kejauhan Marieta sudah melihat Mak Fani yang tadi memanggilnya dan Pak Jumpat. Kebun mereka bertiga berbatasan langsung. Kebun Mak Fani adalah kebun terluar yang paling dekat dengan jalan menuju kampung. Oleh karena itu, mereka sering bertemu di pondok Mak Fani sebelum pulang menuju kampung agar mereka dapat berjalan pulang bersama-sama.
    Dulu mereka tidak perlu saling tunggu seperti ini, baik ketika akan pergi ke kebun maupun ketika akan pulang. Namun, dua bulan terakhir ini mereka memilih untuk pergi dan pulang bersama-sama. Beberapa tetangga kampung mereka malah ada yang tidak berani pergi ke kebun mereka untuk menyadap pohon karet. Mereka memilih tetap tinggal di rumah dan mengabaikan kebun mereka, mengabaikan sumber pendapatan mereka sampai batas waktu yang tak dapat mereka tentukan sendiri demi alasan keamanan.
    
                            *****
Libu sedang berdiri di teras rumah ketika Marieta melangkahkan kakinya  memasuki halaman rumah.
    “Kenapa kamu ndak nunggu aku tadi?” tanya Libu, menyambut kepulangan Marieta.
    “Abang kulihat masih nyenyak tidur tadi. Aku kan harus ngajar pagi ini. Lebih cepat aku menyadap karet tentu akan lebih baik,” jelas Marieta.
    “Kamu tahu ndak, sih, di luar sana banyak pengorek? Mereka berkeliaran mencari mangsa. Tidak hanya anak kecil, orang dewasa pun mereka incar. Kalau kamu menyadap pagi-pagi buta, lalu mereka menangkap kamu dan mengambil organ-organ dalam tubuhmu, ke mana aku bisa menemukanmu?” kejar Libu.
    “Ah, Abang hanya terlalu khawatir saja. Aku bisa jaga diri, kok,” ujar Marieta sambil melangkah menuju dapur. Sarapan harus disiapkannya untuk suami dan anaknya, selain untuk dirinya sendiri sebelum ia pergi mengajar.
    “Kamu itu perempuan, Marieta,” tukas Libu.
    “Ya, terus kenapa?” ujar Marieta, dengan ekspresi wajah datar.
    “Kalau kamu diserang pengorek di tengah kebun sepi begitu, bagaimana kamu bisa menyelamatkan diri?” tanya Libu, sambil menyusul Marieta ke dapur. Ia berusaha memperkuat argumennya.
    “Abang, aku ke kebun kan ndak sendirian. Tadi aku pergi bersama Mak Fani dan Pak Jumpat. Pulangnya juga kami bersama-sama. Abang kan tahu belakangan ini kami biasa seperti itu. Abang ndak usah terlalu khawatirlah,” jelas Marieta, sambil mengambil tiga butir telur ayam dari rak dapur. Pagi ini Marieta ingin membuat telur dadar kegemaran Welly, anak laki-laki semata wayangnya.
    Libu menarik kursi dari meja makan. Setelah duduk di atas kursi itu, ia menyeruput segelas kopi hangat yang ada di meja makan. Gelas stainless steel itu kemudian ia letakkan kembali ke atas meja makan, sembari menatap Marieta.
    “Kamu udah dengar berita kemarin sore? Di Kabupaten Sambas ditemukan tumpukan karung yang berisi jantung, dibawa oleh sopir truk angkutan sayur saat razia kendaraan. Sopir truk itu ndak tahu kenapa karung itu bisa ada di dalam truknya, padahal ia tahunya hanya membawa sayur-sayuran. Sampai sekarang sopir itu masih diproses di kantor polisi untuk dimintai keterangannya lebih lanjut. Di Penyeladi juga ada seorang nenek yang meninggal karena dipenggal kepalanya. Di Beduai, di Sosok, di Mandor juga sama ceritanya. Mata dan jantung korban hilang. Iiih, ngeri amat,” ujar Libu, sambil mendekati Marieta yang mulai sibuk menggoreng telur.
Aroma harum telur dadar yang digoreng mulai menyeruak di dapur mereka. Marieta segera mengangkat telur yang telah matang itu.
    “Aku udah dengar, kok, Bang. Tapi, itu kan sebatas berita, sebatas cerita. Kebenarannya siapa sih yang bisa membuktikannya? Mungkin bisa dibilang hanya gosip. Siapa coba yang bisa mempertanggungjawabkan kebenarannya? Infonya kan hanya tersebar dari SMS15) ke SMS, dari mulut ke mulut, bukan dari pihak berwajib,” sanggah Marieta.
    “Marieta, kamu terlalu menggampangkan masalah.”
    “Dan, Abang terlalu membesar-besarkan masalah.”
    “Bukan membesar-besarkan masalah, Marieta. Aku hanya ingin agar kita waspada. Musibah kan ndak bisa kita duga datangnya,” ujar Libu, kali ini dengan wajah lebih serius.
Dicegatnya Marieta yang hendak melangkah ke kamar setelah meletakkan piring berisi telur dadar di atas meja makan. Dipegangnya kedua bahu Marieta. “Aku hanya tak ingin sesuatu yang jelek terjadi pada dirimu, Marieta,” lanjutnya, sambil menatap wajah Marieta.
    Marieta membalas tatapan mata Libu. Wajah bulat telur di hadapannya itu membiaskan rasa khawatir. Marieta sadar Libu sedang bersungguh-sungguh. Marieta mengerti Libu merasa bertanggung jawab atas keselamatan dirinya, keselamatan keluarganya. Marieta percaya Libu adalah laki-laki yang peduli.
Namun, di balik itu semua Marieta merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia temukan dalam diri Libu, sesuatu yang memang tidak pernah bisa ia rasakan sejak pertama kali mengenal Libu. Marieta tahu kebaikan Libu kepadanya tidak perlu diragukan lagi, bahkan tak jarang Libu terlalu baik menurut penilaiannya. Tetapi, bagian yang hilang dalam hidup dirinya itu tetap tak tergantikan oleh Libu.
    “Ya, Bang. Aku bisa jaga diriku. Aku akan selalu waspada. Terima kasih karena Abang selalu memperhatikan aku,” ujar Marieta, menenangkan Libu. Dipeluknya suaminya itu sebentar, sebelum akhirnya ia melanjutkan langkahnya ke kamar dan mengambil handuk karena ia berencana untuk mandi pagi.

                        ******
“Di mana masih ada yang jual bensin, ya? Sudah tiga hari SPBU16) Bunut ndak buka.” tanya Anjar sambil meletakkan beberapa buku di atas meja kerjanya.
    “Di SPBU Sungai Mawang masih ada, Bu. Tadi saya tanya anak-anak Sungai Mawang. Mereka bilang SPBU Sungai Mawang masih buka pagi tadi,” jawab Sofiana. Wanita berambut ikal sebahu itu mengambil dan menyandang tas hitamnya.
    “Bensin saya juga sudah hampir habis, tapi kios-kios bensin yang saya lewati hari ini tutup semua,” sela Marieta.
    “Yuk,  kita ke Sungai Mawang aja, Bu,” ajak Anjar kemudian.
    “Jauh, sih, tapi bolehlah daripada saya tak dapat bensin,” balas Marieta. Ia pun mulai mengemas barang-barang yang akan dibawanya pulang. Sekilas ia melihat sosok seorang muridnya yang sedang melewati ruang guru. Ia berteriak, “Diki, kemari sebentar!”
    “Iya, Bu,” sahut Diki, sambil mendekati meja kerja Marieta. “Ada apa, Bu?”
    “Dua minggu ini Ibu perhatikan kamu sudah tidak pernah bolos lagi. Kamu sudah tidak nyampah durian lagi?” tanya Marieta, ketika Diki sudah berada di dekatnya.
    “Masih, Bu, tapi bergantian dengan om saya,” ujar Diki.
    “Kalau pas kamu yang giliran nyampah durian, kamu tidak bangun kesiangan lagi?”
    “Siangnya saya tidur dulu, Bu. Lalu, waktu mau tidur habis nyampah durian, saya setel alarm di hape saya,” jelas Diki.
    “Bagus. Pertahankan itu, ya,” balas Marieta, sambil tersenyum ke arah Diki. Diki membalas senyuman Marieta sambil menganggukkan kepala. “Ya, sudah. Silakan pulang,” lanjut Marieta.
    “Iya, Bu. Terima kasih. Selamat siang,” ujar Diki, sambil mengulurkan tangan kanannya hendak menjabat tangan Marieta.
    “Selamat siang,” balas Marieta, menerima uluran tangan Diki. Anak itu mencium punggung tangan kanan Marieta dengan penuh rasa hormat.
    “Yuk, Bu,” ajak Anjar, ketika Diki sudah keluar dari ruang guru.
    “Yuk,” balas Marieta singkat, sambil mengambil tasnya.

                        ******
Mereka berdua berjalan menuju garasi. Marieta membiarkan temannya itu untuk berjalan mendahuluinya. Sungai Mawang adalah nama salah satu kampung yang berjarak sekitar empat kilometer dari kampung tempat tinggal mereka.
Kampung itu diberi nama Sungai Mawang karena kampung itu dibelah oleh sebuah sungai yang bernama Sungai Mawang, sehingga kampung di sekitar sungai itu diberi nama yang sama dengan nama sungai yang membelah kampung itu. Begitulah salah satu cara warga masyarakat di sini memberi nama sebuah tempat yaitu dengan mengambil nama sungai yang terdapat di kampung tersebut sebagai nama kampungnya.
Sebenarnya bukan masalah jarak yang dikhawatirkan oleh Marieta, melainkan masalah jalan yang harus dilalui. Marieta jarang melewati jalur jalan itu dan semalam hujan deras. Marieta menjamin jalan menuju Sungai Mawang akan dipenuhi air karena banyak jalan yang berlubang di sepanjang jalan itu.
    Ternyata, lubang-lubang di jalan yang dikhawatirkan oleh Marieta lebih besar daripada dugaannya. Lubang-lubang itu bahkan ada yang membuat ruas jalan beraspal terputus. Dengan isi air hujan di dalamnya, lubang-lubang itu menjelma menjadi kolam-kolam besar di tengah jalan raya. Berkali-kali Marieta tak dapat menduga seberapa dalam lubang berisi air yang harus dilaluinya. Mau tidak mau ia harus mengamati kendaraan-kendaraan roda dua yang telah mendahuluinya. Dengan melihat motor-motor yang ada di depannya, ia dapat menduga seberapa dalam lubang-lubang itu. Hal itu akan lebih memudahkannya memilih jalan yang akan dilalui.

                        ****
Marieta sering tak bisa mengerti mengapa jalur jalan yang berstatus jalan provinsi ini tak pernah bisa mulus. Padahal, jalan ini adalah satu-satunya jalan penghubung  tiap kabupaten di Kalimantan Barat. Sesekali memang ada proyek penambalan jalan, tetapi itu tidak bisa bertahan lama. Dua atau tiga bulan setelah penambalan, jalan akan kembali berlubang-lubang. Perjalanan dengan kondisi jalan seperti ini benar-benar melelahkan.
    Kalau tidak karena bensin motornya hampir habis, Marieta tentu tidak akan mau melalui jalan raya ini. Sudah satu bulan ini, BBM17) sulit ditemui. Berita yang didengar oleh Marieta, akan ada kenaikan harga BBM. Sebenarnya, pihak yang berwenang telah mengimbau agar masyarakat tidak menimbun BBM karena stok yang disediakan oleh pemerintah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tetapi, siapa yang dapat menahan orang-orang yang mau mendapatkan uang lebih banyak dari keuntungan menjual BBM dengan harga baru, sementara mereka membelinya masih dengan harga lama? Keuntungan yang cukup menggiurkan dengan cara yang cukup mudah: beli dan timbun BBM, lalu jual kembali ketika harga baru BBM telah diberlakukan.
    Kalau hanya untuk bahan bakar memasak, tanpa minyak tanah, ia masih bisa menggunakan kayu. Rimba belantara Kalimantan masih menyediakan cukup banyak ranting dan dahan-dahan kering yang dapat digunakan sebagai kayu api untuk menggantikan minyak tanah saat memasak. Serbuk gergaji kayu yang menjadi limbah dari sebuah penggergajian kayu di dekat rumahnya pun bisa ia manfaatkan sebagai pengganti minyak tanah.
    Namun, bensin untuk bahan bakar motornya, sejauh ini belum ada penggantinya, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus rela mencari bensin hingga dapat. Kalau tidak begitu, ia tentu harus merelakan diri untuk lebih banyak berjalan kaki ke tempat-tempat yang ia tuju karena terbatasnya angkutan umum di kampungnya dan tidak memungkinkannya untuk bisa bepergian ke sana kemari dengan bebas. Sepeda motor merupakan sarana transportasi andalan warga kampungnya.
    Marieta menarik gas sepeda motornya perlahan-lahan. Tempat yang ditujunya untuk mendapatkan bensin masih buka, namun orang-orang yang ingin mengisi bahan bakar untuk kendaraannya ternyata masih banyak juga, meski hari kian menjelang sore. Butiran-butiran keringat mulai mengalir di dahi dan tubuh Marieta. Hawa udara bumi khatulistiwa seakan-akan justru bangga memancarkan kekuatannya,  makin lama  makin panas.
Satu per satu kendaraan di depan Marieta maju ketika kendaraan paling depan telah selesai diisi bensinnya. Setelah menunggu cukup lama dengan kesabaran penuh, Marieta akhirnya mendapatkan giliran. Sebuah selang minyak dari dispenser bahan bakar mengarah ke tangki sepeda motornya. Setelah penuh dan membayar bensin yang dibelinya, Marieta kembali menaiki sepeda motornya.

                    *****
Di ujung pintu keluar, niat Marieta untuk segera keluar dari areal SPBU terhalang. Sebuah mobil berjenis multi purpose vehicle melintas di depannya. Bukannya langsung keluar, mobil berwarna biru metalik itu tiba-tiba berhenti di pintu keluar. Marieta buru-buru menginjak pedal rem sepeda motornya. Mesin mobil itu mati.
Di dalam kabin mobil itu Marieta melihat seorang pria yang sedang berusaha menghidupkan kembali mesin mobilnya. Beberapa kali ia melihat pria itu merogoh ke arah bawah setir dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memegang kemudi mobil. Setelah berusaha beberapa waktu, barulah mesin mobil itu menyala kembali.
    Bukan lamanya waktu yang diperlukan pria untuk menyalakan kembali mesin mobilnya yang membuat Marieta tak mengedipkan bola matanya. Bahkan, setelah mobil itu berhasil nyala kembali mesinnya dan melintas dari hadapannya, Marieta masih seperti merasa sedang bermimpi. Paras pria di balik kemudi mobil itu seperti paras seseorang yang sangat dikenalnya. Rambutnya, hidungnya, bibirnya, bentuk mukanya benar-benar mirip. Jarak yang tidak terlalu jauh cukup meyakinkan Marieta bahwa ia tidak salah lihat.
Namun, bagaimana mungkin pria yang dikenalnya di Kota Gudeg belasan tahun lalu itu berada di tengah rimba belantara Kalimantan Barat? Hanya sebuah kemiripan yang kebetulan sajakah? Sepanjang perjalanan pulang pikiran Marieta digelayuti sejuta tanya tentang pria yang dilihatnya tanpa rencana itu.

                        ****
Marieta meletakkan empat buah Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas meja perpustakaan. Ia berjalan mendekati seorang pria berpostur tinggi dan kurus yang terlihat sedang menekuni sebuah buku catatan.
    “Terima kasih ya, Pak Markus, sudah dipinjamkan kamus-kamus tadi,” ujar Marieta.
    “Sama-sama, Bu. Ibu ditunggu di ruang guru. Kata Ibu Karti tadi ada sales buku mau menawarkan buku-buku pelajaran,” kata Markus.
    “Oh iya. Trims infonya. Saya ke ruang guru dulu kalau begitu,” balas Marieta.
    “Ok deh, Bu,” ucap Markus singkat.
    Marieta keluar dan menaiki tangga menuju ruang guru. Perpustakaan sekolah berada di tanah yang lebih rendah daripada ruang guru. Ketika memasuki ruang guru, Marieta melihat beberapa temannya sedang berdiri mengelilingi seorang pria. Di tangan mereka terlihat beberapa buku tebal.
    “Bu Marieta, ini ada buku-buku pelajaran. Siapa tahu Ibu tertarik untuk membeli,” tawar Sofiana kepadanya.
    “Semua mata pelajaran ada?” tanya Marieta, sambil mendekati mereka.
    “Ada, Bu. Semua mata pelajaran untuk semua kelas. Saya ada bawa contohnya,” ujar sales itu sambil menunjukkan beberapa buku yang dipegangnya ketika Marieta mendatanginya.
            Marieta merasa jantungnya hampir copot ketika melihat sales yang ada di depannya. Tangannya tiba-tiba menjadi gemetar menerima beberapa tumpukan buku dari sales itu. Pria itu pun sepertinya merasakan hal yang sama. Pria itu menatap Marieta dengan mata yang nyaris tak berkedip.


******
Yohana L.A. Suyati
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2013





 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?