Fiction
Pengorek [1]

24 Jun 2013


1) Pengorek: Penculik yang menculik untuk mengambil organ dalam tubuh korbannya (istilah  yang berasal dari masyarakat Kalimantan Barat)



Ujung jalan itu menikung. Berangkal-berangkal menyeruak dari aspal yang tercabik di sana-sini. Tanah kuning pun tak ingin kalah bersaing dari berangkal-berangkal itu, menambah kesan tak terurus jalan beraspal satu-satunya yang membelah kampung. Lapisan aspal mulus hanya tampak di beberapa bagian. Selebihnya hanyalah lubang-lubang yang menganga membentuk bopeng-bopeng yang sering terpaksa harus dipilih untuk dilalui pejalan karena tak ada bagian lain dari jalan yang masih mulus.
    Matahari belum tepat bertakhta di atas ubun-ubun. Bias cahaya meriahnya pada pepohonan besar di kiri kanan jalan memberinya siluet. Di bagian jalan yang terbuka, terik panasnya mulai terasa menggigit kulit.
    Delapan pria mendorong sebuah mobil berwarna biru metalik. Belasan orang di belakang mereka mengekor dengan teriakan-teriakan bernada marah. Ada yang membawa parang, ada yang membawa lantak2), ada yang membawa tombak. Mobil itu sudah penuh cacat, tergores-gores di sana-sini, dan kaca depannya pecah.
Di dalam mobil itu, dua orang pria terkapar tak berdaya. Yang satu dengan luka tembak di keningnya. Sekujur tubuhnya penuh luka. Yang seorang lagi ditembak tepat di bagian dada sebelah kirinya. Luka berbagai ukuran juga menghiasi sekujur tubuhnya. Rintihan parau terdengar lemah dari tenggorokan kedua pria itu. Keduanya sekarat.
    
                        ****
Tiga ratus meter dari situ, ada sebuah rumah sederhana dengan tumpukan getah beku yang sudah dipres. Rumah itu milik Libu. Ia baru saja pulang dari mengangkat lateks di kebun karet ketika istrinya member tahu ada keributan di ujung jalan kampung. Libu bergegas menuju tempat kejadian.
    Massa bergerombol melihat peristiwa itu. Beberapa orang pria yang mencoba
mendekat dan ingin melerai, mundur ketakutan karena para pria bersenjata itu menghalau mereka dengan kasar. Libu mencoba mendesak maju, menerobos kerumunan. Ia melihat dua orang pria di dalam mobil itu dari arah belakang mobil.

“Siapa orang di dalam mobil itu?” tanya Libu kepada seorang pria yang berdiri di dekatnya.
“Pengorek!”
    Teriakan terdengar dari tengah massa.
    “Bunuh jak3)!”
    “Penggal jak lehernya!”
    “Lempar ke sungai!”
    “Bakar!”
    Tiba-tiba seorang pria berkaus singlet dan bertato burung elang di lengan sebelah kirinya maju dan mengguyur mobil itu dengan minyak tanah. Massa yang berkerumun hanya bisa menonton.
    “Tolong, jangan di sini. Kalau kalian ingin menghakimi dia, itu urusan kalian. Tapi, tolong cari tempat lain!” teriak Libu, dengan nada suara panik. Terkesan ia khawatir nama kampungnya akan tercemar karena tindakan kriminal, bukan pada nasib kedua korban itu.
    “Dorong lagi!” sebuah suara memberi aba-aba.
            Seakan menyetujui peringatan Libu, mereka kembali bergerak mendorong mobil itu ke depan, menyusuri sisa jalan beraspal, sebelum akhirnya menghilang di ujung jalan yang menikung.
    Suara riuh masih mengiringi rombongan kalap itu. Para pria yang mendorong mobil itu kembali berhenti di bawah sebuah pohon tengkawang4) yang besar. Daun-daun tengkawang menari-nari lemah ketika angin sepoi musim kemarau meniupnya. Satu dua dedaunan keringnya berguguran menimpa kap mobil. Derit-derit halus ranting-ranting yang bertumbukan oleh tiupan angin tak mampu mengalahkan suara-suara di bawahnya.
Pohon itu hanya terdiam menunduk, tak bisa menolak ketika pria-pria dengan aroma tuak5) dan  arak6) yang menyeruak dari mulut mereka itu memilih bayangan-bayangan dedaunan tengkawang sebagai tempat eksekusi liar itu. Bagai mengawali sebuah seremoni persembahan, salah seorang dari mereka mulai menyalakan korek api.

                        *****

Anak lelaki itu duduk dengan kepala menunduk seperti padi yang terkulai di ujung batangnya. Kemeja putihnya sudah berubah menjadi warna krem pertanda terlalu sering dicuci dengan sabun batang yang tak terkenal mereknya semenjak hampir tiga tahun ini.
Tidak ada identitas pengenal di saku maupun lengan kanannya. Kemejanya polos, tanpa tempelan. Celana birunya yang tak kalah lusuh dan pudar warnanya dimakan usia  makin menandakan bahwa seragamnya itu baginya bukanlah harta yang penting, yang harus dirawat baik-baik dengan penuh kecintaan.
    Namun, menyimpulkan bahwa anak itu berasal dari keluarga yang kurang berada sepertinya tidaklah tepat. Di saku celananya terselip sebuah telepon genggam yang iklannya wira-wiri7) tayang di stasiun televisi. Ia pergi dan pulang sekolah menaiki sebuah sepeda motor sendiri dengan sebuah motor yang pelatnya masih terbuat dari tripleks, pertanda motor itu belum lama diambil dari dealer.
    Begitulah masyarakat di daerah ini memandang pendidikan. Bagi mereka, menyekolahkan anak tidak lebih dari sekadar memberikan status sosial yang agak lebih tinggi sedikit daripada mereka yang tidak pernah mengecap bangku pendidikan. Syukur-syukur jika selama bersekolah, anak-anak mereka bisa menemukan jodoh mereka. Sungguh, sebuah tujuan yang boleh dibilang naïf, tapi begitulah kenyataannya. Tiap tahun selalu ada laporan anak-anak yang akhirnya berhenti bersekolah karena menikah, bahkan bisa lebih dari satu anak dalam satu tahun.
    Bagi masyarakat di sini, pergi ke sekolah dengan cita-cita menjadi guru, dokter, pegawai, pengacara, karyawan, pengusaha atau lainnya adalah sesuatu yang di luar jangkauan mereka. Jika mereka masih bisa menyadap getah karet, menjual lateksnya, hidup sudahlah cukup bagi mereka. Memiliki kebun karet yang luas dan bisa menggarap serta menjual hasilnya dengan harga setinggi-tingginya adalah cita-cita tertinggi dalam hidup mereka.
    Maka, tak heran jika sekolah bukanlah sebuah kebutuhan. Mereka akan memperhitungkan sampai satuan terkecil dari rupiah yang mereka keluarkan ketika harus membelikan buku-buku tulis, buku-buku paket, atau seragam bagi anak-anak mereka. Mereka akan senang sekali jika diberikan bantuan buku-buku paket atau keperluan sekolah lainnya yang berarti pengiritan pengeluaran uang bagi mereka.
Namun, untuk membeli telepon genggam beserta pulsanya, baju-baju untuk berjalan-jalan, kendaraan roda dua, atau perhiasan, mereka tidak pernah terlalu perhitungan, bahkan jika perlu mereka akan berutang. Berutang demi gengsi, berutang demi harga diri.
    
                        ******
Anak lelaki itu  makin gelisah menunggu seperti seorang terdakwa yang sedang menanti hakim mulia bersabda dalam menjatuhkan vonisnya. Tentu ada sebabnya, sehingga ia harus duduk tepat di depan wali kelasnya sekarang.
    “Kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini, Diki?” tanya Marieta, membuka percakapan.
    Ia mengangguk.
    “Sudah berapa hari kamu tidak masuk sekolah tanpa keterangan?” selidik Marieta lebih lanjut. Sebagai wali kelas, ia berkewajiban memanggilnya karena dari daftar hadir di kelas ia tahu bahwa Diki mangkir dari tugasnya sebagai pelajar.
    “Tiga hari, Bu,” jawabnya.
    “Nah, tolong kamu jelaskan kepada Ibu, ke mana saja kamu selama tiga hari itu,” pinta Marieta.
    “Saya kesiangan bangun, Bu,” jawabnya kembali.
    “Kesiangan bangun? Kamu tidur jam berapa?”
    “Ndak8) tentu, Bu. Kadang-kadang jam tiga atau jam empat.”
    “Subuh?” tanya Marieta dengan nada terkejut.
    “Ya, Bu.”
    “Apa saja yang kamu lakukan hingga kamu harus tidur terlalu pagi begitu?” tanya Marieta, sambil berharap Diki mau mengatakan apa sebenarnya masalahnya. Menurutnya, tanpa mengetahui penyebabnya, masalah tidak akan bisa diselesaikan secara tuntas.
    “Saya nyampah9) durian, Bu. Kakek yang ngajak saya. Di tembawang10) kakek, buah duriannya sudah mulai berjatuhan,” jelasnya.
    Marieta mafhum. Musim durian telah tiba. Di awal musim begini, harga durian masih selangit. Oleh karena itu, durian-durian yang banyak tumbuh alami di sini adalah harta karun yang harus dijaga karena dari buah-buah itu akan terdulang banyak rupiah.
Karenanya, bukanlah   hal yang aneh jika pemilik tembawang bahkan akan membangun pondok-pondok di tengah kebun mereka. Mereka rela tidur di pondok itu. Sewaktu-waktu buah durian jatuh, mereka akan segera dapat mengambilnya. Kalau terlambat, bisa-bisa keduluan orang lain yang kebetulan lewat. Siapa saja berhak mengambil buah yang ditemukannya, meskipun itu bukan tembawang milik mereka. Maka, pemilik tembawang akan selalu bersiaga tingkat tinggi ketika musim durian telah tiba demi menjaga agar durian mereka tidak hilang.
    “Selain kamu, apa ndak ada yang lain yang bisa diajak oleh kakekmu untuk nyampah durian?” tanya Marieta.
    “Kadang-kadang, sih, om saya ikut nyampah durian, Bu. Tapi, ndak tentu juga om ikut,” ujar Diki.
    “Ibu ndak melarang kamu nyampah durian, Diki. Silakan jak. Tapi, tolong juga dipikirkan sekolahmu. Kamu tinggal enam bulan, satu semester jak lagi sekolah, sebelum ujian nasional. Usahakan kurangi alpa kamu di kelas,” kata Marieta kepadanya. Marieta melihat anak itu mengangguk. Tiba-tiba Marieta teringat sesuatu.
“Kalau pagi apakah mamak11) kamu ndak membangunkan kamu?”
    “Membangunkan, sih, Bu. Tapi, Mamak kadang ndak benar-benar bangunkan saya.”
    “Ndak benar-benar bagaimana?”
    “Kadang ndak kedengaran suara Mamak.”
    “Mungkin kalau dibangunkan, kamu marah sama mamak kamu, makanya mamak  kamu jadi takut membangunkan kamu.”
    Ia tidak membantah. Mungkin dugaan Marieta benar.
    “Habis saya masih mengantuk, Bu,” ujarnya.
    “Kalau begitu coba diatur pola tidurmu. Pulang sekolah usahakan supaya kamu tidur siang. Tidur agak lama ndak apa-apa karena malamnya jatah tidur kamu harus kamu kurangi. Kamu biasa ndak tidur siang?”
    “Kadang tidur, Bu, tapi kadang juga ndak.”
    “Mulai hari ini, kalau masih mau nyampah durian, pulang sekolah kamu usahakan tidur siang. Hape kamu bisa ndak disetel alarmnya?” tanya Marieta.
    “Bisa, Bu.”
    “Nah, kalau pagi kamu setel alarm kamu. Kamu pesan sama mamak kamu supaya membangunkan kamu sampai   terbangun. Kamu sendiri juga ingat-ingat kalau pas dibangunkan, bahwa kamu tidak boleh alpa lagi. Siang pulang sekolah upayakan untuk tidur. Moga-moga dengan begitu kamu tidak perlu bolos lagi dari sekolah,” saran Marieta kepadanya.
    “Ya, Bu,” jawabnya.
    “Seminggu ini Ibu akan lihat perkembangan kamu, ya. Kalau dalam seminggu ini kamu bolos, Ibu akan panggil orang tuamu karena Ibu perlu bicara dengan orang tuamu.”
    “Ya, Bu.”
    Lalu, Marieta memintanya kembali ke kelasnya. Cara paling praktis sebenarnya adalah dengan melarangnya pergi nyampah durian. Tapi, itu tidak mungkin dilakukan oleh Marieta. Nyampah durian sudah menjadi tradisi menahun di sini. Tak mungkin bagi Marieta melarang kakeknya atau orang tuanya agar tidak mengajak Diki nyampah durian, meskipun demi ujian nasional yang tinggal menunggu hitungan bulan.
Melarang Diki nyampah durian berarti menutup salah satu pintu mata penghasilan keluarganya, apalagi nyampah durian hanya datang sekali setahun. Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa anak-anak seperti Diki berhenti dari sekolah hanya karena kesalahan penanganan masalah ketidakhadirannya di sekolah. Di sini Marieta menemukan, tak jarang keinginan untuk memperbaiki sesuatu menjadi lebih baik harus berbenturan keras dengan kondisi lingkungan masyarakat yang masih belum seratus persen percaya bahwa sekolah adalah lembaga yang dapat mengembangkan kecerdasan dan memberikan pengetahuan serta wawasan agar hidup menjadi lebih baik lagi.

                            *****
Butiran-butiran embun berhamburan  tiap Marieta menjejakkan kaki-kakinya di atas rerumputan yang tingginya mencapai batas mata kakinya. Butiran-butiran embun itu ada yang menempel di sepatu bot yang menutupi kedua kaki Marieta, ada yang jatuh ke tanah, ada yang kembali menempel di helaian daun-daun rumput lainnya.
    Hari masih gelap. Hawa dingin menggigit hingga terasa ke sumsum tulang. Gelap dan dingin adalah dua hal yang menjadi teman dan lawan bagi penyadap karet. Menjadi teman karena dua hal itu harus selalu diakrabi. Menjadi lawan karena dua hal itu tidak boleh membuat siapa pun yang ingin menyadap karet menjadi menyerah dan mengalah.
Menunggu hari menjadi lebih terang dan lebih hangat bukanlah pilihan yang terbaik bagi penyadap karet. Jumlah dan kecepatan keluarnya lateks atau yang biasa disebut getah karet oleh warga di sini sangat dipengaruhi oleh tekanan turgor sel pada batang pohon karet. Tekanan turgor mencapai batas maksimum pada saat menjelang fajar dan berkurang bila hari  makin siang. Oleh karena itu, petani karet tidak boleh menyerah pada gelap dan dinginnya subuh karena pada saat subuh itulah aliran-aliran rupiah dari  tiap batang karet itu mengucur deras.
    Marieta menancapkan ujung pisau sadapnya di sebuah batang karet. Dengan cekatan tangannya memotong kulit pohon karet itu hingga batas kambiumnya dengan menarik pisau itu dari atas ke bawah dengan sudut kemiringan tiga puluh derajat dari arah horizontal.
Marieta hanya perlu sedikit tenaga untuk menarik gagang pisau sadap ketika mata pisaunya menyentuh ujung bidang sadapan. Menarik dengan sedikit tekanan agar getahnya mengalir dengan sempurna. Perlahan-lahan cairan menyerupai susu putih mengalir mengikuti parit yang baru saja ditorehkan oleh Marieta. Cairan lateks itu akan berkumpul di sebuah mangkuk penampung yang telah dipasang di ujung jalur jalan lateks. Tidak lupa di ujung jalur itu juga ditancapkan sebuah talang sadap karet agar lateks bisa mengalir dan masuk tepat di mangkuk sadap yang terbuat dari plastik.
    Setelah memastikan aliran itu bisa masuk tepat di dalam mangkuk sadap, Marieta melanjutkan perjalanan ke pohon berikutnya. Sesungguhnya, yang diperlukan oleh seorang penyadap karet adalah sepasang kaki yang tak mudah pegal untuk membawa tubuhnya dari batang pohon yang satu ke batang pohon yang lain. Berjalan kaki merupakan cara yang efektif untuk mencapai  tiap batang karet yang ada di kebun ini.
Tiap subuh, jika tidak hujan, Marieta harus menyadap sekitar dua ratus batang karet sebelum pergi mengajar. Jika  tiap batang karet rata-rata berjarak sekitar tiga meter dari pohon berikutnya, maka setidaknya Marieta sudah berjalan kaki hampir satu kilometer sebelum berangkat ke sekolah. Itu pun karena Libu, suaminya, yang akan mengangkat lateks yang terkumpul di mangkuk sadap. Jika Marieta sendiri yang harus mengumpulkan, maka jarak tempuh berjalan kaki itu tentu akan menjadi dua kali lipat.

Penghasilan Marieta sebagai guru honor di sebuah sekolah negeri tidak memungkinkannya untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangganya. Honor yang diberikan sekolah kepadanya tidak akan bisa menunggu hari hingga penghujung bulan. Ia juga tidak bisa memaksakan sekolah untuk menaikkan honornya karena ia tahu sekolah tempatnya mengajar sudah memaksimalkan honornya dari dana Bantuan Operasional Sekolah, satu-satunya dana yang diandalkan untuk operasional sekolah.


******
Yohana L.A. Suyati
Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2013



SENARAI  KATA
1) pengorek    =    Penculik yang menculik untuk mengambil organ dalam tubuh korbannya (istilah  yang berasal dari masyarakat Kalimantan Barat)
2) lantak    =    Sejenis senjata api berlaras panjang yang biasa dirakit sendiri oleh warga Kalimantan Barat
3) jak    =    Saja
4) tengkawang    =    Pohon yang bijinya mengandung lemak nabati bernilai gizi sebagai minyak goreng, digunakan di industri makanan, sabun, obat-obatan, dan kosmetik. Flora identitas Provinsi Kalimantan Barat; Dipterocarpaceae.
5) tuak    =    Minuman beralkohol yang secara tradisional dibuat oleh masyarakat Kalimantan Barat dari beras ketan yang difermentasikan (diragikan).
6) arak    =    Minuman keras, biasanya dibuat dari penyulingan beras ketan yang telah difermentasikan.
7) wira-wiri    =    Lalu-lalang.
8) ndak    =    Tidak.
9) nyampah    =    Menunggu hingga buah jatuh dari pohonnya supaya dapat segera diambil ketika buah tersebut jatuh.
10) tembawang    =    Kebun luas yang di dalamnya terdapat tanaman buah-buahan
11) mamak    =    Ibu
12) dirik    =    Kamu, Anda
13) bentar    =    Sebentar
14) aok    =    ya



 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?