Fiction
Penantian Terakhir [8]

17 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ardiansyah menatapku tak berkedip. Sebelum dia sempat berkata, aku sudah melanjutkan kembali, ”Kau pikir, aku tak tahu keterlibatanmu di sini? Aku tahu semua, Ardi. Aku tahu kau memperoleh bagian dari ini semua. Aku melihat semua pembayaran yang ditujukan padamu!”

”Kau tidak mengerti apa yang kau katakan, Nia,” ujarnya.

”Tidak mengerti bagaimana? Kau pikir aku hanya meracau? Aku punya bukti yang bisa menyeretmu ke pengadilan!” seruku, sambil berurai air mata.

”Kau pikir aku akan diam saja, membiarkan kau menyeretku ke pengadilan?” ia balas menggertak.

Ardi mendekatiku, berjongkok di depanku. Ia tersenyum lembut. Selembut belaian tangannya yang mengusap pipiku. ”Kalau kau diam dan melupakan peristiwa ini, aku pun akan diam, Nia. Aku akan melupakan semua ini. Toh, sebentar lagi kita menikah dan dua bulan lagi kita sudah meninggalkan pulau ini. Toh, hasilnya juga untuk kita berdua. Kita nikmati berdua. Bagaimana bila kita lupakan saja?” ujarnya.

Melupakan? Bagaimana mungkin aku bisa menutup mata atas apa yang dia lakukan ini? Padahal, perbuatannya ini jelas-jelas melanggar hukum. Dan... bagaimana mungkin aku bisa hidup dari hasil seperti ini? Tegakah aku menyuapkan nasi yang dibeli dengan rezeki haram ke mulut anakku? Bisakah aku berbahagia tinggal di istana megah dan naik mobil mewah, sementara masyarakat di sekitar hutan ini, entah setahun atau berapa tahun lagi, harus kehilangan rumah dan harta bendanya karena tanah longsor atau banjir bandang? Bisakah aku hidup di atas penderitaan ribuan penduduk desa ini?

”Tidak, Ardiansyah! Tidak akan ada pernikahan! Tidak akan ada kesempatan kedua untukmu! Waktumu telah habis. Aku tidak bisa menutup mata atas perbuatanmu ini!” ujarku, dengan nada sangat dingin, sampai aku sendiri pun bergidik mendengar suaraku.

”Aku masih percaya padamu, Nia. Aku masih memberimu waktu untuk berubah pikiran, Sayang.” Ia menatapku lembut.

Saat itulah ide itu melintas di benakku. Dengan sigap kuraih pis­tol di pinggang kekasihku dan kutodongkan padanya. ”Ardiansyah, atas nama hukum, kuminta engkau mempertanggungjawabkan perbuatanmu di depan pengadilan!” ucapku, tajam.

Sesaat dia terpana melihat moncong pistol yang terarah ke dadanya itu. Mungkin, dia tak menduga aku bisa segesit itu mengambil pistol. Hanya sedetik kulihat kekagetan di matanya, detik berikutnya dia kembali menjadi Ardiansyah yang kejam dan kuat. Dengan gerakan yakin, dia berdiri. Aku ikut berdiri. Kami saling menghadap, bak dua koboi tengah duel maut.

”Kalau aku tidak mau, apa yang akan kaulakukan? Menembakku? Baik, tembaklah aku! Memang itu yang ingin kau lakukan dari dulu, bukan? Untuk membalas sakit hatimu? Ayo, tembaklah aku. Akhirilah hidupku! Tuntaskan sakit hatimu padaku!” tantang Ardi.

Aku tidak sebodoh itu. Aku tidak ingin terpancing. Lagi pula, aku tidak tahu bagaimana mempergunakan senjata ini. Tanpa mengucapkan apa-apa, aku bergerak perlahan mendekati pintu. Berusaha tetap menjaga pandanganku ke arah Ardiansyah. Pelan-pelan kubuka pintu.

”Aku tidak akan menembakmu, karena ada yang lebih berhak menjatuhkan hukuman padamu. Jadi, biarkan aku pergi dan menyerahkan bukti-bukti keterlibatanmu pada pihak yang berwenang,” ujarku, sambil pelan-pelan melangkah ke luar.

Ardiansyah masih menatapku. Tinggi dan tampan. Namun, kini, perasaanku kepadanya telah mati. Dengan perasaan terguncang, kutinggalkan bangunan itu. Dua pria berusaha menahanku, namun Ardiansyah berseru, ”Biarkan dia. Dia bersenjata!”

Tersaruk-saruk aku berjalan keluar dari areal tersebut. Aku benar-benar tak tahu arah. Kupikir, bila, toh, aku bisa selamat dari cengkeraman Ardiansyah, tetap saja aku tak mungkin kembali hidup-hidup ke permukiman penduduk. Aku tak tahu hutan ini. Aku pasti tersesat, sebelum akhirnya mati karena kelaparan dan kedinginan di hutan ini.
Oh, Tuhan, tolonglah aku.

Aku terus berjalan tanpa tahu arah. Sampai tiba-tiba seseorang menarik tubuhku dan membekap mulutku dari belakang. Pistol Ardiansyah pun terjatuh dari tanganku.

”Kau pikir aku sebodoh itu membiarkanmu pergi?” bisik orang itu. Suara itu... suara Ardiansyah! ”Kau benar-benar keras kepala! Kenapa, sih, kau tidak menurut saja pada kemauanku?” bisiknya lagi di telingaku. Bekapan dan cengkeraman tangannya di mulut dan leherku benar-benar kuat, sampai kupikir, aku bisa mati karenanya.

”Anggukkan kepala, jika kau berubah pikiran, Nia!”

Kugelengkan kepala kuat-kuat. Sebagai balasannya, dia memperkuat cekikan di leherku. Aku tahu, dia akan menghabisi nyawaku. Mungkin, setelah itu dia akan menghanyutkan tubuhku di sungai. Sehingga, bila mayatku nanti ditemukan penduduk, mereka akan mengira aku mati karena tenggelam di sungai, bukan oleh ulah Ardiansyah! Oh, betapa kejamnya dia!

Dengan sisa-sisa kekuatanku, kuraih tubuhnya dan kuremas pangkal pahanya kuat-kuat. Berhasil! Dia menjerit dan pegangannya terlepas. Aku memperoleh waktu untuk lari. Lari! Lari, Nia! Aku terus berlari. Tapi, aku kalah cepat. Dia berhasil menangkapku, menarikku, dan menamparku. Menghujaniku dengan pukulan-pukulan dahsyat. Aku berusaha melawan sebisaku. Aku terjatuh oleh pukulannya.

”Tidak tahu diuntung!” dia terus mencaciku dan menyerangku.

”Kau yang tidak tahu diuntung! Aku menyesal telah mencintaimu, Ardi! Aku menyesal!” pekikku, dengan menahan sakit. Mulutku terasa asin. Kepalaku pening. Aku berusaha bangkit, namun sebuah pukulan menjatuhkanku lagi dan duniaku terasa gelap sesudahnya....

Saat kubuka mataku, sekelilingku kulihat putih. Apakah aku sudah berada di surga? Oh, syukurlah. Memang telah lama aku mengharapkan malaikat maut mencabut nyawaku. Kematian mungkin bisa mengakhiri seluruh penderitaan hidupku selama ini. Tetapi... aku tertegun. Kulihat seraut wajah yang sangat kukenal, tengah tersenyum padaku. Mungkinkah dia itu sebetulnya malaikat yang diutus Tuhan turun ke bumi? Bila benar begitu, maka dia adalah malaikat yang sangat tampan.

”Syukurlah, akhirnya kau sadar juga,” ujar Mahesa. ”Minum?” Ia mengulurkan segelas air putih.

Aku meminumnya sedikit, sekadar membasahi tenggorokanku yang terasa sangat kering.

”Tenang, semuanya sudah beres, kok. Ardiansyah telah ditangani petugas yang memang berwenang untuk itu,” ujarnya.

”Bag... bagaimana kau tahu?”

Mahesa tersenyum, lalu bercerita bahwa sebenarnya dia sudah lama mencurigai keterlibatan Ardiansyah dalam praktik illegal logging itu. Namun, dia belum punya cukup bukti untuk menyeret Ardiansyah, sampai aku datang memberinya setumpuk bukti.

”Dari situ, aku dan Mas Rangga merencanakan aksi untuk menangkap basah kegiatan mereka. Makanya, kami memutuskan untuk mengadakan pengamatan. Sebetulnya, kemarin itu bukan pengamatan satwa, Nia, tetapi pengamatan kegiatan mereka. Kami tahu, sewaktu kamu tertangkap dan Ardiansyah mengejarmu. Untunglah aku dan Mas Rangga sudah membagi tugas. Aku tetap berjaga di dalam hutan, sementara Mas Rangga melapor ke pihak berwajib. Dengan begitu, Ardiansyah dan komplotannya bisa segera diringkus,” ujarnya, panjang lebar.

”Jadi... kamu tahu? Kamu melihat semua?”

”Ya,” angguknya.

”Kenapa aku tidak diberi tahu tentang kegiatan hari itu? Seandainya aku tahu, aku pasti tidak akan diburu rasa penasaran sampai memutuskan melihat sendiri ke sana, bukan?” protesku.

”Maafkan aku, Nia. Aku yang salah, karena tidak memberi tahu. Aku tak menyangka, kau mendengar suara gergaji itu dan memutuskan untuk mencari arah suara itu. Kau betul-betul nekat!”

”Kalau aku tahu, aku tak akan senekat itu!” kilahku.

Mahesa tertawa. ”Baik, baik. Mulai detik ini, aku tak akan membiarkanmu berbuat senekat itu lagi. Aku akan selalu menjagamu untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau benar-benar gadis pemberani, cerdas, dan sama sekali tidak cengeng. Tak seperti dugaanku semula. Maafkan aku, karena aku sempat salah menilaimu. Maukah kau memberiku kesempatan untuk lebih mengenalmu?” ujarnya lagi. Kali ini sambil menatapku lembut.

Ada desir aneh di sudut-sudut hatiku saat bertatapan dengan sepasang mata cokelatnya yang sendu. Sepasang mata itu kini tak lagi menatapku sinis dan dingin, melainkan menawarkan sebentuk kedamaian yang selama ini kucari. Mungkinkah dia perhentian terakhirku? Hati kecilku sibuk bertanya. Kuharap begitu. Sebab, aku sudah terlalu lelah dalam pengembaraan ini.
(Tamat)

Penulis: Astrid Prihatini WD
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?