Fiction
Penantian Terakhir [4]

17 May 2012

<< cerita sebelumnya

”Baiklah,” aku mengangguk. ”Aku pamit pada Mas Rangga dulu. Oke?”

Ardiansyah mengangguk dan mengekorku ke kantor. Mas Rangga sedang duduk di balik meja kerjanya, mengetik-ngetik sesuatu. Dia mengangkat muka, saat kami masuk.

”Aku akan ke kota sebentar, cari makan. Mas Rangga mau ikut?”

”Enggak, deh. Aku sudah sarapan. Lagi pula, nanti malah mengganggu kalian berdua,” ia mengerling penuh arti pada sosok tinggi tegap di sampingku.

”Ya, sudah. Mau nitip sesuatu?”

”Tidak usah. Terima kasih. Ini hari liburmu, Ni. Silakan saja, kalau kau ingin pelesir ke kota sampai sore,” ujar Mas Rangga. Lalu, pada Ardi dia berkata, ”Dia bebas hari ini, Bang. Dia sepenuhnya milikmu. Tapi, tolong kembalikan padaku, kalau urus­anmu dengannya sudah selesai. Oke?”

Ardi tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya penuh arti. ”Kami pergi dulu!” pamit Ardi.

Sepintas kulihat Mahesa yang sedang mencuci mobil, mengan­tar kepergianku dengan tatapan aneh. Tapi, aku tak berani mengartikan  tatapannya. Ah, peduli apa aku dengannya?

Sungguh aneh. Justru di saat aku berpikir, kecil kemungkinannya aku bertemu dengan Ardiansyah atau Pras di pedalaman ini, Tuhan malah mempertemukanku dengan Ardiansyah di sini, ribuan mil jauhnya dari Solo. Ya, setelah berpisah darinya, aku sudah kehilangan asa. Kupikir tak mungkin aku akan bertemu lagi dengannya. Jalan hidup kami sudah sangat berbeda.

Setelah peristiwa itu, aku memutuskan kembali ke Solo dan menata hidupku yang sempat porak-poranda oleh seorang Ardiansyah. Waktu itu adalah tahun terakhirnya di Akpol. Jadi, semestinya, setelah lulus, dia pasti ditugaskan ke suatu daerah. Tak dinyana, dia ada di sini!

Kini sosok Ardi hadir menggoda kembali. Hampir setiap saat dia muncul di kantor. Kadang-kadang membawakan makanan atau buah tangan, jika dia baru pulang dari Jakarta. Atau sekadar mampir dan ngobrol ngalor-ngidul denganku atau Mas Rangga.

Di akhir pekan, jika sedang tak ada kegiatan, dia menga­jakku ke luar. Entah itu ke kota atau ke pulau-pulau yang bertebaran di sekitar daerah sini dengan perahu motor atau berburu durian di pedalaman. Banyak hal yang kami lakukan berdua, yang perlahan tapi pasti, mulai menghapus kenangan pahit itu dari hatiku.

Mungkinkah ini yang dimaksud dengan pepatah, bahwa cinta itu memaafkan? Benarkah? Ah, entahlah, aku tak tahu. Aku hanya seorang wanita naif, yang mencoba mencari makna cinta dan hidup.

”Tidak seharusnya engkau begitu baik seperti ini padaku,” ujarku, sambil membersihkan tanganku dari aroma durian yang sangat menyengat.

”Kenapa? Ada yang marah? Tunanganmu?” ia bertanya, sambil menoleh padaku.

Kugelengkan kepala. ”Bukan aku, tapi kamu. Aku dengar, dalam waktu dekat kau akan menikah...,” kalimatku belum usai, saat tiba-tiba tawanya menggema.

”Kau dengar dari siapa?” tanyanya, di akhir tawanya.

”Ya, pokoknya, aku dengar dari banyak orang. Sumber informasiku kan banyak!” dustaku.

Dia mencibir. ”Sumbermu tidak valid, tuh!” ledeknya. ”Sampai saat ini aku masih sendiri. Silakan geledah rumah dinasku dan isi dompetku sekalian! Jika kau berhasil menemukan foto seorang wanita, aku beri hadiah 100 juta, deh!” tantangnya.

“Masa, sih?”

”Ya, sudah, kalau kau tak percaya!” tukasnya. ”Yang jelas, aku belum punya pacar, Nia. Sejak aku putus dari Widuri tujuh tahun silam, aku belum menemukan tambatan hati yang sesuai!”

”Kenapa? Dia meninggalkanmu?”

Dia tersenyum kecut. ”Ya. Dia meninggalkanku demi sahabatku sendiri. Sekarang mereka sudah menikah dan hidup bahagia. Suaminya sekarang jadi pejabat di Mabes. Hebat, ’kan?” ujarnya, getir.

”Tak perlu menyesali nasib. Masing-masing orang sudah ada jalannya sendiri-sendiri. Percayalah, Tuhan selalu memilihkan yang terbaik untuk kita!” hiburku, sok filosofis.

”Tapi, percayakah kau bahwa Tuhan kadang-kadang memberi kita kesempatan kedua?” ujarnya.

Hatiku berdetak mendengarnya. ”Maksudmu?”

”Maksudku, takdir telah mempertemukan kita kembali. Mungkinkah, itu berarti, Tuhan memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku di masa lalu?”

Aku diam. Aku pun sama tak tahunya dengan dia. Aku tak ta-hu apa rencana Tuhan di balik pertemuanku kembali dengan Ardiansyah ini!

Hari telah gelap saat aku tiba di kantor. Aku segera mandi dan menyusul yang lain di kantor. Mereka semua sedang rapat. Mas Rangga tengah bicara dengan serius, saat aku masuk sambil menggumamkan permintaan maaf. Mas Rangga menyuruh­ku segera bergabung dan duduk di sebelah Linda.

Mas Rangga menjelaskan sesuatu, sambil memperlihatkan gambar-gambar melalui OHP. Makhluk itu juga ada di sana, duduk di meja paling ujung. Kedua tangannya tersilang di depan dada, seperti orang menahan dingin, sementara matanya terarah ke OHP. Hmm... makhluk itu lumayan manis, seandainya dia mau sedikit, sedikit saja tersenyum, dan bersikap ramah kepada orang lain!

Linda menyodok sikuku. ”Ni, kita menghadapi masalah serius, nih,” ujarnya.

”Serius bagaimana?”

”Itu... illegal logging mulai merambah ke hutan kita. Padahal, kita jelas-jelas menjadikan hutan itu sebagai kawasan konservasi dan dilindungi. Tak seorang pun boleh menebang atau mengambil apa pun di kawasan tersebut. Tapi, rupanya, para pelaku itu tak mau tahu aturan seperti itu. Yang penting dapat uang!” kata Linda, tanpa dapat menyembunyikan kegeramannya.

Aku manggut-manggut. Di depan, Mas Rangga tengah berkata, ”Dulu, luas hutan konservasi kita lebih dari 10.000 hektar. Tapi sekarang, setidaknya berkurang 1% setiap bulan. Ini sangat memprihatinkan kita semua! Soalnya, kalau sudah tak ada hutan tersisa, bagaimana nasib binatang-binatang itu? Bagaimana kita bisa mengembalikan ke habitat aslinya, bila habitat aslinya telah rusak?”

Slide di depan menampilkan foto-foto dari udara kondisi hutan semula yang masih lebat dibandingkan dengan kondisi hutan yang kian menipis akibat praktik illegal logging. Beberapa kawasan terlihat gundul dan hanya menyisakan lingkungan yang rusak parah. Hanya terlihat tunggul-tunggul kayu yang mengenaskan.

Kuhela napas. Oh, Tuhan, tolong bukakan mata hati mereka pelaku illegal logging itu... supaya mereka sadar bahwa rupiah-rupiah yang mengalir masuk ke kantong mereka itu tak sebanding nilainya dengan bencana yang ditimbulkan oleh perbuat­an mereka!

”Bencana besar menanti umat manusia, jika praktik tersebut tak segera dihentikan. Menurut laporan penduduk setempat, setiap kali turun hujan, sekarang daerah hilir sering dilanda banjir. Masih untung bukan banjir bandang. Bagaimana bila yang terjadi adalah banjir bandang, yang diakibatkan hilangnya pohon yang menahan aliran air? Bukan hanya manusia yang tersapu banjir, tetapi juga satwa-satwa langka yang dilindungi ikut hanyut terbawa air! Ini mengerikan sekali! Kehancuran ekosistem, berarti kehancuran bagi kehidupan manusia itu sendiri! Ini harus dicegah!” kata Mas Rangga, berapi-api.

”Kemarin saya sudah membentuk tim untuk menyelidiki cara kerja para pelaku illegal logging ini. Nah, saya ingin minta laporannya dari ketua tim. Bagaimana Mahesa?”
Semua mata tertuju padanya.


Penulis: Astrid Prihatini WD
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?