Fiction
Paket Bulan Madu [1]

18 Mar 2013


“Harus digambarkan kehilangan seperti apa,
 jika tiba-tiba orang yang kita cintai menghilang begitu saja?
Bukan meninggal dunia. Bukan juga melarikan diri dari kita.”

Amaya membiarkan hening menyiksa ruang di antara dia dan Aidan, calon suami yang dua minggu lagi akan resmi menyuntingnya. Kegalauan yang menguasai hatinya jauh lebih menyiksa. Amaya tak bermaksud membuat Aidan kecewa, marah, kesal, dan menyesali semua. Tapi di sisi lain, Amaya harus memegang prinsip yang selama ini dijaganya.

    “Bukankah kita sepakat untuk tidak membicarakan tentang Bali?” ujarnya kemudian dengan suara lemah.
    “May, sampai kapan kamu akan menjaga garis itu? Garis di mana kamu benar-benar mengharamkan Bali untuk dikunjungi, atau bahkan sekadar disebut-sebut? Kamu sendiri belum pernah menginjak Bali,” keluh Aidan, terus mendesak.

    “Aku tidak ingin ke sana, sampai kapan pun,” tandas Amaya.
    “Kamu tidak punya masalah apa pun, atau urusan apa pun yang membuatmu harus trauma menginjak Bali. Kamu merugikan dirimu sendiri!”
    Mata Amaya menyambar wajah Aidan dengan kilatan marah.
“Kita sama-sama tahu alasannya, Aidan!”
    “Tapi, alasan itu terlalu mengada-ada!”
    “Mengada-ada?”
       Kini suara Amaya melengking pedih. Dia terus menatap tunangannya itu dengan ekspresi tak percaya.

           “Mengada-ada katamu?”
    “Maksudku, itu tidak berhubungan langsung denganmu, dengan kita,” ralat Aidan, yang merasa gentar melihat kilatan emosi di mata bening Amaya.
    Sepasang mata bening yang rapuh itu tampak berkaca-kaca.
         “Jadi, menurutmu apa yang dialami kakakku sama sekali tak ada hubungannya denganku? Aidan, Kak Amalina adalah kakakku satu-satunya, orang yang membuatku jadi seperti sekarang. Kak Amalina adalah pengganti kedua orang tuaku sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Amalina yang membiayai kuliah dan mengurus aku setiap hari. Lalu kamu bilang, tak penting bagi kita apa yang dialaminya?”

    Aidan menggeleng. “Bukan begitu maksudku, Amaya....”
    “Dia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, Aidan!”
    Rahang Aidan bergetar, Amaya belum pernah sekali pun membentaknya. Kini, mendengar suara soprannya melengking kasar, harga diri Aidan terusik.

    “Amaya, kapan aku tidak menaruh hormat pada kakakmu? Apa yang tidak aku lakukan untuknya? Kamu masih ingat Amaya, dua tahun lalu aku meminangmu, dan kakakmu menolakku. Dia memintaku menunggu. Dan setiap tahun aku tak pernah bosan datang lagi. Dua tahun aku bersabar memenuhi keinginannya! Lalu, di saat pernikahan kita tinggal menghitung hari, mengapa dia masih juga membuat segala sesuatunya menjadi sulit?”

    “Sulit katamu, Aidan? Aku hanya ingin mencoret Bali dari daftar kunjungan bulan madu kita. Sederhana, bukan? Apa yang menurutmu sulit?” bantah Amaya.
    “Ini menyangkut tata krama kepada pimpinanku, Amaya! Dia yang memberikan kita hadiah bulan madu ke Bali, dan aku tidak mungkin, sekali lagi tidak mungkin, menolaknya! Mau ditaruh di mana jabatanku nanti?”
    “Kau mementingkan jabatan dan tata krama dibanding perasaan kakakku?!” pekik Amaya.
    “Iyalah! Realistis sedikit, Amaya! Realistis!”

    Sebulir air bening jatuh di pipi Amaya yang ranum. Amaya mengusapnya sembarangan dengan ujung-ujung jari. Isaknya tertahan, membuat dadanya terasa sesak. Kepalanya pening.

    “Kalau begitu, Aidan,” desisnya di sela isak tertahan, “bukan kau calon suami yang aku harapkan. Bukan seperti kamu.”
    Aidan tak percaya Amaya mengucapkannya dengan begitu mudah. Setelah perjuangan dua tahun menanti keluarnya izin menikahi Amaya, setelah sebuah gedung berjadwal ketat berhasil dipesan, setelah undangan berukir nama mereka berdua dicetak. Kalimat itu seperti mimpi buruk yang memorak-porandakan istana impian Aidan. Mimpi buruk yang menurutnya tak pantas ia terima. Tidak sekarang, tidak sampai kapan pun.

    “Kalau begitu, carilah sampai ujung dunia, lelaki yang tidak seperti aku,” tandasnya penuh kegetiran, sebelum akhirnya beranjak meninggalkan kafe tempat dia dan Amaya sejak satu jam yang lalu bertemu untuk menghabiskan jam istirahat kantor masing-masing.
***
    Sampai ke ujung dunia mana pun, tak ada lelaki yang seperti Aidan. Jika ingin mencari yang tidak seperti Aidan, dalam sehari bisa ribuan lelaki terjaring jeratnya, namun yang seperti Aidan? Tak ada. Nyaris tak ada.

    Amaya mengaduk-aduk adonan kue sambil melamun, tak sedikit pun pikirannya tertuju pada adonan yang sudah lama kalis itu, juga tak dipedulikannya tatap heran Amalina yang sejak tadi diam-diam mengamatinya di sela kegiatannya memanggang dan mengoles kue.

    Sekitar dua tahun lalu Amaya menceritakan tentang Bali, ketika Aidan baru saja dikecewakan akibat penolakan sepihak Amalina atas lamarannya pada Amaya.
    “Tunggulah selama kau masih bersedia menungguku, Aidan,” ujar Amaya ketika itu.
    “Untukmu, perjalanan waktu tidak berlaku, Amaya. Melamarmu sekarang atau nanti menurutku sama saja. Perbedaannya adalah sekarang lebih cepat daripada nanti.”

    Amaya menunduk, wajahnya merona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun saat itu. Baru memasuki dunia kerja selama setahun di perusahaan penerbitan tempat ia bertemu Aidan, yang menjadi wakil direktur. Aidan berusia lima tahun lebih tua darinya, dan memiliki segala kriteria sebagai pria paling diinginkan wanita.

    Sejujurnya Amaya ingin segera menerima pinangan Aidan, tapi penolakan Amalina membuatnya tak berkutik.
    “Kak Amalina hanya ingin yang terbaik untukku, Aidan, dia tak mau membuatku sengsara suatu saat nanti. Dia hanya ingin memastikan bahwa kamu memang yang terbaik untukku.”

    Jika Amaya tak secantik para peri, jika Amaya tak sesantun dan serendah hati dewi-dewi, akan mudah bagi Aidan mencari pengganti untuk mewujudkan impiannya menikah sebelum usia 30 tahun. Tapi, Amaya tak mudah digantikan di hati Aidan. Ia bersedia menunggu.

    “Ini hanya saran, jangan dimasukin hati, ya. Mengapa Kak Amalina tidak menikah lagi? Tak mungkin seumur hidup dia akan sendirian. Trauma itu harus dilawan, jangan sampai menjadi kabut yang selamanya menutupi kehidupan,” ujar Aidan hati-hati, takut menyinggung hati Amaya.
    “Tidak semudah itu, Aidan. Rasa kehilangan yang kosong membuatnya seperti tak butuh seseorang untuk mengisi kekosongan itu. Kekosongan itu begitu tunggal, begitu tak terjamah, seperti ruangan yang tak mungkin dihuni lagi.”

    “Apa penyebabnya? Apakah suaminya meninggal?”
    “Lebih buruk dari kematian.”
    “Apa yang lebih buruk dari kematian?”
    Amaya diam sejenak, mata indahnya menerawang menembus gelas di hadapannya.
          “Harus disebut apa, harus digambarkan kehilangan seperti apa, jika tiba-tiba orang yang kita cintai menghilang begitu saja? Bukan meninggal dunia. Bukan juga melarikan diri dari kita.”

          Aidan tercengang, batal mengangkat gelas cappuccino-nya.
Tak sabar ditunggunya kelanjutan kisah dari bibir Amaya.

    “Mereka menikah lima tahun lalu, ketika aku masih duduk di kelas tiga SMA, setahun setelah Ibu menyusul Bapak ke alam baka. Suaminya bernama Ditya, orang Semarang. Kami juga mengenal keluarganya. Mereka berbulan madu ke Bali, sebuah hotel di Denpasar. Di malam kedua bulan madu mereka, tiba-tiba Mas Ditya menghilang. Sampai detik ini, kami tak pernah melihatnya lagi.”

    “Menghilang? Menghilang bagaimana?”
    “Lenyap begitu saja. Kak Amalina saat itu berada di kamar bersama suaminya, seperti layaknya sepasang pengantin yang berbahagia. Kemudian Kak Amalina teringat dia tidak memiliki persediaan vitamin C. Lalu Mas Ditya bilang,  dia akan keluar sebentar ke minimarket di depan hotel untuk membelikannya vitamin C. Mas Ditya yang masih mengenakan piama dengan dilapisi jaket mencium Kak Amalina yang juga masih bergaun tidur, sebelum beranjak ke luar kamar. Dan itulah kali terakhir Kak Amalina melihat suaminya.”

    Cangkir cappuccino di atas meja bergetar oleh entakan tangan Aidan yang dilandasi rasa kaget luar biasa. “Maksudmu, dia benar-benar tak kembali? Tanpa penjelasan?”
    Amaya menggeleng lemah. “Tidak ada sedikit pun jejaknya. Kak Amalina tak pulang selama berbulan-bulan, sampai pekerjaannya terbengkalai. Dia terus mencari Mas Ditya.

 Seluruh keluarga Mas Ditya ikut mencari. Mereka melapor kepada polisi, mengunjungi semua rumah sakit dan seluruh sudut Denpasar, bahkan sampai ke ujung Bali. Tak ada sedikit pun jejak Mas Ditya. Dia menghilang seperti tertiup angin, entah ke mana. Entah masih hidup atau tidak. Kalau saja akal sehat kami tak berjalan sebagaimana mestinya, kami tentu sudah mengira   teori alien itu benar ada.”

    Tak sepatah kata pun bisa meluncur dari bibir Aidan. Aidan seperti bisa melihat peristiwa itu secara jelas pada sepasang mata Amaya yang berkabut. Sesuatu tentang kehilangan yang tak bisa dijelaskan oleh seribu bahasa. Terlalu menyesakkan.
    “Menurutmu,” gumam Amaya lagi. “Adakah yang lebih pedih daripada kehilangan semacam itu?”

    Amaya tersentak ketika mendengar denting oven. Kue yang sedang dipanggang telah mencapai titik kulminasi. Kenangannya akan dua tahun lalu samar-samar tergantikan oleh dunia nyata yang dihadapinya kini. Perlahan Amaya kembali mengaduk adonan kue.

Kue-kue itu akan dihidangkan Amalina kepada para sanak saudara yang mungkin sebentar lagi akan berdatangan untuk menghadiri persiapan pesta pernikahannya.
    Amaya tak yakin pesta itu masih bisa diadakan. Dia telah memberi keputusan yang lancang kepada Aidan. Sejak perbincangan panas mereka kemarin, Aidan tak sedetik pun berusaha menghubunginya.

    Amaya sadar, posisi Aidan sangat sulit. Dia baru saja diangkat menjadi manajer humas di perusahaan pengiriman barang bertaraf internasional bulan lalu, setelah keluar dari perusahaan penerbitan tempat Amaya masih bekerja sampai sekarang. Kepercayaan sang pimpinan membuatnya mendapat hadiah berbulan madu selama sepekan di Bali.

Sesuatu yang sebenarnya sangat istimewa. Wajar jika Aidan tak mungkin menolak hadiahnya. Tapi, mengingat Bali, tentu saja akan merobek kembali memori seseorang yang begitu dihormati Amaya.

    “May.”
    Amaya mengangkat wajah, menatap kakaknya yang baru saja menegurnya. 
           “Ya, Kak?”
    “Kamu kenapa? Sejak tadi kamu melamun dan terus terdiam. Ada yang kau risaukan?”
    Amaya tak kuasa menatap wajah kakaknya yang penuh kekhawatiran, maka dia menunduk. Seumur hidup Amalina dihabiskan dengan kecemasan demi kecemasan, seolah tak pernah berhenti memikirkan adik semata wayangnya. Pantaskah dia memberinya satu kekhawatiran lagi?

    “Memang, sih, seorang calon pengantin selalu merasa segala sesuatunya tak beres. Sindrom jelang pernikahan,” ucap Amalina, seraya mendekati adiknya. Perlahan disibaknya rambut lurus yang menutup sebagian wajah Amaya. Amalina terkejut melihat wajah adiknya berlinangan air mata.

    “Kamu bisa bicara sekarang, May, dan kalau ingin menangis, kamu pun bisa menangis sekarang. Karena, setelah menikah nanti, tak seharusnya ada tangis lagi.”
    Amaya menggeleng, lalu kembali menunduk. Butiran air mata jatuh di pipinya, dan buru-buru diseka sebelum mencapai baskom adonan kue. Lalu dia beranikan diri bicara, setengah berbisik.
           “Aidan mendapat hadiah dari bosnya, paket bulan madu sepekan di Bali.”
    Ucapan itu membuat Amalina terenyak telak. Wajahnya yang mulai dihuni kerutan halus kini memucat. Napasnya menderu sesak. Segala ketakutan dan kenangan buruk menyerbunya tanpa ampun. Dan rasa sakit itu  juga masih bertubi-tubi merobek hatinya. Amalina mundur, menjauh dari adiknya. Kemudian, dengan menahan segala yang ditanggung dadanya, dia mulai kembali berkonsentrasi mengoles kue-kue kering dengan krim kocok dan gula wara-warni. Wajahnya tak menyisakan ekspresi apa pun.

    Sebaliknya, Amaya tersiksa dengan kediaman Amalina yang menorehkan kecanggungan dalam. Amaya tak tahan lagi, isaknya kini mulai terdengar.
            “Aku menolaknya, Kak! Aku bahkan tak ingin meneruskan pernikahan ini, jika Aidan bersikeras menerima hadiah itu!”

    Usai menyuarakan isi hatinya, Amaya benar-benar digulung tangis. Gadis rapuh itu sesenggukan dengan tangan masih memegang kocokan telur dan baskom berisi adonan. Semua kegalauan yang sejak kemarin menyiksanya, tumpah ruah.

    Amalina berhenti mengolesi kue. Dengan wajah letih ditatapnya adik yang sangat disayanginya itu. Dia merasa bersalah telah membuat segalanya menjadi sulit bagi Amaya. Batinnya berperang hebat. Namun, dia sadar, tidak semua hal itu sama. Beberapa orang memiliki nasib berbeda. Lalu, dengan langkah berat  dihampirinya Amaya, dan direngkuhnya dalam pelukan.

    “Amaya, Aidan telah menunggumu selama dua tahun, dan terus-menerus melamarmu tanpa henti sebelum dia kuizinkan menikahimu. Lelaki seperti Aidan, bukan tipe orang yang akan menghilang begitu saja tanpa jejak. Lelaki seperti Aidan, bukan tipe pria yang meninggalkan pengantinnya di malam bulan madu, apa pun alasannya, apa pun penyebabnya. Kau rela membiarkan dirimu kehilangan dia?”
    Dan Amaya pun tersedu-sedu di pelukan kakaknya.

***
    Pesan singkat Amaya: Maafkan aku, bisakah aku menemuimu siang nanti di kantor?
    Pesan singkat Aidan: Tidak, aku saja yang menemuimu sekarang, sekalian mengantarmu ke kantor.

    Begitu deru mobil Aidan yang sangat dihafalnya berhenti di halaman rumahnya pagi ini, Amaya segera menghambur membuka pintu. Aidan berjalan separuh bergegas menghampirinya.

    “Aku ingin bicara,” ucap keduanya bersamaan.
    Lalu Aidan tesenyum. “Kau duluan.”
    “Aku….” Tiba-tiba Amaya merasa lidahnya kelu. “Aku ingin mengantarkan undangan pernikahan kita siang ini.”

    “Bukannya terlalu cepat? Undangannya juga belum jadi.” Aidan mengerutkan kening.
    “Kalau begitu besok saja, atau besoknya lagi, atau minggu depan. Yang jelas, undangan itu harus diantar!”

    Aidan mengamati gadis yang sangat dicintainya itu dengan saksama.
          “Artinya, pernikahan akan tetap berlangsung?”
    Amaya menatapnya penuh kecemasan. “Kamu keberatan?”
    “Aku justru tak sabar.”

    Lalu senyum keduanya mengembang. Aidan sadar, dia sangat merindukan Amaya. Dan Amaya heran, mengapa sehari saja kehilangan Aidan, membuatnya nyaris gila.
    “Dan kita bisa berbulan madu di Bali, Aidan. Kak Amalina sudah mengizinkan, tak ada yang perlu dicemaskan.”

    Aidan menggeleng dengan ekspresi lelah. “Kita tidak jadi ke Bali.”
    Amaya membelalakkan mata. “Kenapa?”

    “Bos yang labil. Kemarin dia putuskan mengganti Bali dengan Kairo. Perusahaan membuka cabang baru di sana, dan aku bertugas menghadiri soft opening-nya. Paket bulan madu plus tugas kantor, ngirit, ‘kan? Kalau kau tidak keberatan menghadiri acara perusahaan di tengah bulan madu, aku akan menerima tawaran itu sekarang.”

    “Kairo? Mesir? Berbulan madu di Mesir?” Tiba-tiba saja Amaya tergelak-gelak. Rasa geli tak tertahankan menggelitik hatinya. Aidan ikut tertawa seraya mengacak rambut tunangannya.

    “Dan aku ingin kau menempel erat di sisiku setiap saat agar tak ada satu pun dari kita yang menghilang begitu saja,” bisik Aidan di telinga Amaya.


***
Nimas Aksan


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?