Fiction
Nyentana [2]

14 Jan 2013

<<<< Cerita Sebelumnya

Bagian II

Sepeninggal ayahnya, hidup Suarsiki, ibu, dan adik laki-lakinya sangat terpuruk. Secara adat, mereka tidak memiliki lagi figur kepala rumah tangga. Karena itu, Wisnawa, suami Suarsiki, rela nyentana (menikah dan ikut keluarga pihak istri). Tapi, mengapa akhir-akhir ini Wisnawa berubah? 

"Meme lihat kau berubah. Jadi pemurung. Wisnawa juga tidak seperti dulu. Jarang pulang. Menanyakan keadaan Meme pun tidak. Ada apa dengan kalian?"
"Tidak ada apa-apa, Me, kami baik-baik saja."
"Sungguh? Putu juga, kenapa dia tidak ikut pulang? Biasanya dia tidak mau lepas darimu."
"Dia menolak diajak pulang. Katanya ingin bersama ayahnya. Wisnawa sendiri sedang dikejar deadline."
“Ya sudah, asalkan tidak ada apa-apa. Meme tidak bisa membayangkan kalau sampai terjadi sesuatu.”
“Maksud Meme?”
Tanpa menjawab, ibunya langsung melangkah ke dapur. Suarsiki hanya mengikuti dari belakang. Memperhatikan perempuan yang paling dikaguminya itu dengan cekatan mengambil gelas, menuangkan gula dan menyeduh teh.
“Meme belum menjawab.”
“Bukan apa-apa, semalam Meme mimpi buruk. Meme digigit anjing yang sangat besar. Giginya yang tajam membuat sekujur tubuh Meme berdarah.”
Suarsiki merinding. Kepekaan ibunya sama sekali tak melemah. Makin hari dia justru merasa ikatan di antara mereka bertambah kuat. Tapi, bukannya bercerita, Suarsiki cepat-cepat menyembunyikan kegundahannya.
“Itu kan hanya mimpi, Me, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita semua baik-baik saja. Oh ya, dari tadi aku tidak melihat Kadek?” Suarsiki berusaha mengalihkan pembicaraan. Menanyakan adik lelakinya yang masih SMP.
“Dia masih latihan megambel untuk persiapan odalan. Beberapa hari ini semuanya sangat sibuk. Besok juga masih harus ngayah membuat banten pagi-pagi. Meme ingin kau yang datang lagi. Banyak yang menanyakanmu. Biasanya kan tiga hari sebelum odalan kau sudah ada di rumah. Suamimu juga, biasanya tidak pernah absen.”
“Ya, Me, belakangan pekerjaanku bertambah banyak. Malu kalau terlalu sering izin. Bli Gede juga. Maaf kalau Meme repot sendiri.”
“Tak apa, Meme mengerti. Yang penting sekarang kau sudah pulang. Masih ada beberapa jahitan, perlengkapan sesajen yang harus selesai malam ini. Kau bisa menemani Meme?”
“Bisa Me, bisa.”
Begitulah ibunya. Perempuan itu seolah tak pernah lelah. Dia betul-betul perempuan Bali. Upacara, ngayah, kewajiban adat, tak pernah membuatnya terbebani. Suarsiki jadi tak enak hati. Dia juga tak sanggup menceritakan apa yang sedang bergejolak dalam dadanya. Bahkan, sebisa mungkin   ibunya tidak pernah tahu.

***

Suarsiki salah. Perubahan sekecil apa pun dalam dirinya selalu dirasakan oleh ibunya. Tidak ada orang yang mengenalnya lebih baik dari ibunya, Ni Ketut Darsih. Dia merasa Suarsiki menyembunyikan sesuatu. Apa mungkin ada masalah dalam rumah tangganya? Apa mungkin mereka cekcok? Darsih bertanya-tanya. Makin dia mencoba menerka-nerka apa yang terjadi, makin menggunung kecemasannya.
Darsih teringat percakapan ketika ngayah di pura kemarin. Pertanyaan yang lebih diterimanya sebagai kritikan itu membuat hatinya panas. Tak biasanya dia mudah tersinggung. Kata-kata salah satu warga yang masih tetangga rumahnya itu sungguh-sungguh menusuk. Apalagi ini berkaitan dengan Wisnawa, menantunya.
“Suarsiki ke mana, Me, kok, Meme yang masih ngayah?”
“Dia belum pulang, mungkin sibuk. Lagi pula kan masih ada Meme.”
“Memang susah, ya, Me kalau kerja di kota. Jarang bisa pulang. Kasihan Meme, anak sudah menikah, tapi masih sibuk.”
“Anak menikah bukan berarti dilepas begitu saja, ‘kan? Adakalanya orang tua harus mengalah. Meme senang melakukannya.”
“Tapi, usia Meme kan terus bertambah, sampai kapan Meme bisa seperti ini?”
Darsih merasa dihakimi. Dia merasa ada yang sedang berusaha mencampuri urusan pribadinya. Apa yang mereka tahu soal kasih sayang kepada anak? Apa mereka tidak pernah belajar tentang rasa saling pengertian?  
“Maksudmu, Meme sudah tua?”
Darsih mengungkapkannya dengan nada bercanda. Meski lawan bicaranya langsung tertawa  terkekeh, dia tahu tetangganya yang lebih muda itu sedang berpura-pura.
“Bukan begitu, perempuan seumuran Meme, apalagi yang anaknya sudah menikah, biasanya kan tidak perlu repot begini. Apalagi Meme dapat sentana, ‘kan?”
“Ya, tapi Meme ngayah juga  bukan hanya untuk Suarsiki.”
“Lalu?”
“Meme sudah terbiasa sibuk. Kalau diam saja malah sakit-sakitan. Meme juga merasa tak bisa berhenti ke pura. Kalaupun Suarsiki ada di rumah, Meme akan tetap ngayah. Meme melakukan semuanya karena bakti.”
Darsih berusaha menahan kemarahan dalam hatinya. Dia muak melihat perempuan-perempuan muda itu. Yang bekerja lebih banyak mulut daripada tangan mereka. Ada saja yang dibicarakan. Jajanan untuk banten yang seharusnya bisa dikerjakan dalam dua atau tiga jam, bisa molor sampai lima jam. Terkadang malah sampai sore.  
Sering pura bagi mereka hanyalah arena pamer gaya seperti yang terlihat di TV. Dan mereka merasa menjadi modelnya. Apalagi pas odalan, mereka akan berlomba memakai pakaian terbaik. Kebaya, kamen dan perhiasan harus serba mewah. Dari kebaya yang harganya ratusan ribu sampai jutaan. Dari yang tertutup, sampai yang tipis dan benar-benar memperlihatkan tubuh si pemakai. Bahkan, dari jauh sulit membedakan apakah dia mengenakan kebaya atau tidak karena kulitnya betul-betul tembus pandang.
Darsih sering berpikir, apa benar ada kebaya yang harganya jutaan? Sebagus apakah? Terbuat dari apakah? Apa kebaya yang sedemikian mahal itu bisa membuat si pemakai bertambah cantik? Darsih bukannya tak mengerti perkembangan zaman, tapi dia merasa ada kebutuhan-kebutuhan yang memang harus didahulukan dari sekadar penampilan. Pendidikan anak misalnya. Atau mungkin kebaya jutaan itu tak terbakar kalau terkena api dupa?
“Me!”
Tetangga yang lain membuyarkan lamunannya.
“Diajak ngobrol, kok, Meme malah bengong saja?”
Darsih menatap tetangganya, memberi isyarat agar si penanya boleh melanjutkan pembicaraan.
 “Kok, belakangan kami jarang melihat menantu Meme. Padahal, awal-awalnya dia sangat rajin.”
“Oh, biasanya dia pulang tiap minggu, tapi belakangan pekerjaannya tambah banyak.”
“Sesibuk apa, sih, Me, sampai tidak sempat pulang. Waktu Pekak Gandrung ngaben, kami juga tidak melihatnya.”
“Waktu itu dia sakit.”
“Ketika anak Pak Simpen menikah sepertinya juga tak ada. Padahal, suami-suami kami amat sibuk mempersiapkan upacara."
"Dia ada liputan ke luar Bali saat itu."
"Waktu karya agung di Pura Dalem juga. Wisnawa tidak ada."
"Dia…."
"Betul. Betul. Pada acara-acara yang lain juga. Suamiku bilang, sudah lima kali dia tidak menghadiri rapat banjar.”
Darsih merasa makin tersudut.
"Seberapa jauh, sih, Denpasar ke Tabanan. Hanya satu jam perjalanan. Suamiku juga kerja di kota, tapi dia bisa bolak-balik tiap hari."
“Iya Me, Meme harus hati-hati. Apa dia sungguh-sungguh mau nyentana. Kalau memang sungguh-sungguh, harusnya dia lebih mementingkan tugas-tugasnya di desa. Kewajibannya,” perempuan lain menimpali.
“Kami tidak ingin melihat kejadian yang dialami Men Srining terulang. Menantunya kabur setelah seluruh warisannya dijual,” perempuan itu menambahkan dengan lebih bersemangat.
“Tapi, Meme kan tidak punya apa-apa, apalagi warisan.”
“Ah, Meme suka merendah. Lalu sawah-sawah luas itu, tanah di sebelah banjar, kelak akan jadi milik siapa?”
“Itu punya leluhur. Biar saja begitu.”
“Tapi, nanti diwariskan juga, ‘kan?”
Darsih meremas jajanan di tangannya. Bahan dari tepung berwarna merah yang sudah berbentuk bunga-bungaan itu kembali berantakan. Begitu cepatnya penilaian masyarakat berubah. Dalam hati dia memekik, aku lebih tahu Wisnawa. Aku yakin padanya, bukan hanya sebagai menantu. Dia sudah benar-benar kuanggap anakku sendiri. Mengingat semua itu membuat dadanya tersedak. Darsih terbatuk-batuk.

***

Manusia Bali yang tidak mampu membangun relasi dengan sesamanya, dengan keluarga besarnya, dengan warga sekitarnya, adalah manusia yang gagal. Begitulah yang dipercaya orang-orang. Wujud kegagalan awal itu adalah ketidakhadiran secara fisik dalam kegiatan-kegiatan bersama, baik upacara adat atau keagamaan.
Atas alasan apa pun, mereka akan mengecap manusia seperti itu sebagai pemalas. Kasepekang, dikucilkan desa dan adat adalah hukuman yang beratnya luar biasa. Bahkan, kelak ketika mati pun jasad yang bersangkutan tak bisa dikubur di setra, kuburan desa.
Ketika bayangan-bayangan yang mungkin masih terlalu jauh dan berlebihan itu melintas-lintas di kepala Suarsiki, Wisnawa pulang bersama Putu, putra kecilnya. Suarsiki gembira bukan main. Disambutnya sang suami dengan riang. Dengan kerinduan seorang istri yang teramat sangat. Berharap Wisnawa kembali membisikkan kata-kata serupa puisi yang sudah lama tak didengarnya.
Ketika aku sentuh itu Suarsiki, cahaya di antara kedua alismu, cahaya itu berubah menjadi api yang menggelora. Bersiap membakar kita dalam babak permainan berikutnya.    
"Panggil Meme, Suarsiki. Aku mau bicara serius. Kita bertiga."
Suarsiki terkejut. Wisnawa berkata tegas sembari memberi isyarat mengajak Putu ke belakang. Tak ada kata-kata serupa puisi atau kutipan kakawin lagi. Di saat bersamaan ibunya muncul dari dapur dengan wajah yang tak kalah berseri melihat menantunya. Tapi, wajah itu seketika berubah setelah Wisnawa menunjukkan mimik tak bersahabat.
"Aku mau bicara serius, Me."
"Kebetulan Meme juga sudah lama tak melihatmu. Kau ada masalah?"
"Ini terkait hubunganku dengan Suarsiki."
"Kalian bertengkar?"
"Aku ingin berpisah, Me. Aku tak sanggup lagi nyentana."
Ibunya kaget, begitu juga Suarsiki.
"Kau sungguh-sungguh? Kenapa? Apa kami ada salah denganmu?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin bebas. Aku tak bisa hidup seperti ini terus-menerus. Aku juga punya keluarga."
"Tapi, kami tak pernah melarangmu berhubungan dengan keluargamu, bukan?"
"Keluarga mana yang rela anak lelakinya justru mengabdi di rumah perempuan?"
"Apa kami memperlakukanmu dengan buruk?"
"Meme tidak akan mengerti."
"Apa kau tidak kasihan pada Suarsiki? Pada Putu?"
"Putu biar ikut denganku. Aku ayahnya."
Ibunya melotot. Raut wajahnya tampak geram. Suarsiki sengaja tak ikut bicara. Takut memperkeruh keadaan. Dalam hatinya tak henti-henti bertanya setan apa yang telah mengubah Wisnawa. Dia berbeda. Sangat.
"Tidak bisa! Kau tidak bisa seenaknya seperti itu! Apa tidak bisa dibicarakan lagi?"
"Aku sudah memikirkannya sungguh-sungguh. Sudah sejak lama aku ingin mengatakannya."
"Bagaimana dengan Suarsiki?"
"Dia masih muda, Me. Dia bisa menikah lagi. Meme bisa mendapatkan sentana yang baru. Putu biar ikut denganku."
Ni Ketut Darsih makin geram. Suarsiki mencoba menenangkan. Tak pernah dilihatnya ibunya marah seperti itu.
"Kenapa kau diam saja, Suarsiki. Cegah pikiran gila suamimu. Kau istrinya."
Suarsiki masih diam. Kendati sudah menganggap Wisnawa sebagai bagian jiwanya sendiri, ia juga merasa tidak kuasa bila lelaki itu sudah tidak nyaman bersamanya.
Dia tatap dengan dalam mata lelakinya. Wisnawa menghindar. Dia dekati dan memegang tangannya. Berharap menemukan kembali serpihan kata serupa puisi yang kini hancur menjadi debu. Tak ada.
"Apa kita tidak bisa bicara berdua saja?" pinta Suarsiki.
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Suarsiki. Aku sudah muak dipengaruhi terus-menerus."
"Sebegitu burukkah kau memandangku?"
"Tekadku sudah bulat. Kita bercerai sesegera mungkin. Putu biar ikut denganku."
Ibunya kembali mendelik. Kali ini suaranya menggelegar.
"Siapa yang memberimu hak membawa Putu. Jangan seenaknya. Apa kau tak ingat nyentana. Kau tak punya hak membawa anakmu. Jika kau mau pergi, pergi saja seorang diri!"
"Me,”  Suarsiki menyela.
Ibunya berhenti sejenak. Wajahnya memerah. Memandang secara bergiliran antara Suarsiki dan Wisnawa.
"Kita memang perempuan, Suarsiki. Tapi, kita punya harga diri.”
Suarsiki melihat ibunya. Perempuan itu tampak benar-benar kecewa. Wisnawa juga terlihat sangat kesal. Dia berlalu menuju pintu gerbang. Suarsiki mencoba mengejarnya. Berpikir seolah apa yang dilontarkan suaminya tadi hanya sebatas emosi sesaat.
"Tunggu Wisnawa, tunggu…!"
Suarsiki menghadang langkah Wisnawa. Menyentuh dada suaminya seperti kebiasaan ketika mereka meributkan hal-hal sepele. Setelah itu, emosinya biasanya berangsur-angsur mereda. Bahkan, tak jarang berlanjut dengan kemesraan tak terduga.
"Kenapa memilih sesuatu yang menyakiti diri kita sendiri? Tak adakah yang bisa diperbaiki lagi?"
Wisnawa tersenyum sinis. Dia campakkan begitu saja tangan Suarsiki.
"Jika kau berpikir aku hanya sekadar emosi, kau salah. Ini masalah harga diri, Suarsiki. Aku laki-laki. Aku tak bisa terus-menerus jadi budak perempuan sampai-sampai meninggalkan keluargaku sendiri."
"Tapi…."
Wisnawa terburu-buru masuk ke mobil. Pintu ditutup dengan keras. Lalu disusul suara ban mendesis. Makin lama  makin jauh. Hilang.
Dalam reinkarnasimu kelak Suarsiki, jika kau menjadi bunga asana, maka aku akan menjadi kumbang yang bersiap selalu mencumbumu di taman. Bunga-bunga gadung dengan tunas yang melilit pada sulur-sulur batang melengkung seperti gemulainya tubuhmu.
Petikan-petikan kakawin romantis itu kembali mengiang. Melayang membentuk gelembung di udara lalu seperti pecah tepat di kepala Suarsiki. Bagaimana bisa Wisnawa? Bagaimana mungkin? Semasih hidupku tersisa saja kau sudah hendak pergi. Dengan kebenaran yang hanya kau sendiri yang mengerti. Kebenaran lelaki! Bagaimana mungkin kau berani memikirkan tentang kelanjutan kehidupan kita kelak? (Bersambung)

Komang Adnyana



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?