Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [9]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Denpasar, April 2000
Sebuah Kabar dari Bali Utara. Lily terbangun dengan tergagap. Suara telepon di meja terdengar menghantam-hantam telinga. Lily baru terlelap beberapa saat di meja komputernya. Pukul 20.00. Lily mengangkat telepon.

Redakturnya di Jakarta menugaskan Lily meliput ke Lovina, Bali Utara. Polisi malam ini akan menggerebek jaringan pedofil internasional yang sedang berpesta di sana. Lily menelepon polisi kenalannya. Lily beruntung, karena termasuk salah satu orang yang turut serta dalam penyergapan. Tim lainnya telah siap di lokasi.

Pukul 12 lewat 15 menit tengah malam, Lily tiba di lokasi. Rumah sederhana di kebun kelapa kini menjadi pusat perhatian polisi. Lily masih dilarang mendekat agar tidak mengganggu operasi. Lily mematikan telepon genggam. Ia tahu kabar ini sudah menyebar di Jakarta, dan pasti banyak wartawan menelepon untuk memastikan.

Tak berapa lama polisi kenalannya mendekat. Operasi baru saja berjalan. Lily berlari ke arah rumah itu. Puluhan polisi mengepung rumah itu. Pertengkaran dan suara gaduh terdengar. Ada lima pria asing di dalam dan sepertinya mereka memang sedang berpesta. Aroma alkohol masih tercium keras. Kelima pria itu kini dalam kondisi terborgol. Wajah mereka terlihat kecut sekaligus geram.

Lily memainkan kameranya memotret setiap kejadian. Di tempat itu sejumlah anak berusia sepuluh atau belasan tampak linglung. Umumnya mereka bertelanjang dada. Dari dalam ruangan terdengar suara polisi dan anak-anak yang bercakap-cakap. Wajah mereka kuyu dan ciut. Lily juga ciut membayangkan tingkah para pedofil ini menjerat anak-anak. Apalagi, mereka sampai sempat berpesta. Bukan diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Itu artinya selama ini mereka telah mendapat ruang gerak yang begitu bebas.

Polisi masih terus memeriksa. Lily meneliti satu demi satu benda berserak yang ada di ruangan. Lily menemukan tumpukan video compact disc. Pada gambar sampulnya tampak foto sepuluhan anak laki-laki bergandengan tangan. Mereka bertelanjang dada dan tertawa ceria. Sepintas VCD ini mirip VCD pendidikan tentang perdamaian atau ilmu pengetahuan. Lily mengambil satu dan memasukkannya ke dalam ransel. Ia yakin VCD ini bukan VCD biasa.

Satu per satu pria asing yang telah terborgol digiring polisi ke dalam mobil. Menyusul sembilan bocah yang sudah berpakaian lengkap. Lily mendekati salah satu yang tampak paling tegar. Kabarnya, dia yang membocorkan pesta ini kepada polisi.

Dari bibirnya meluncur mengenai awal mula pesta di rumah ini. Anak-anak ini adalah anak miskin dari perkampungan pesisir Pantai Lovina. Sebagian didatangkan dari kabupaten lain. Mereka amat mudah terbujuk oleh iming-iming uang dan hadiah. Ironisnya, para pengidap pedofil inilah yang membiayai sekolah mereka. Segala kebutuhan mereka, mulai dari makanan enak, mainan, baju, sampai perlengkapan sekolah dipenuhi. Syaratnya satu: mereka harus patuh dan tidak boleh melawan. Jika melawan, para pengidap pedofil itu tidak segan-segan berbuat kejam. Beberapa anak hilang tanpa ketahuan rimbanya.

Kantor Memoar, Pukul 05.00 WITA Usai Penggerebekan
Menyaksikan gambar dari VCD itu membuat Lily terenyak. Gambar-gambar itu memuaskan imajinasi para pedofil. Lily berusaha menahan perutnya yang mual dan dadanya yang sesak. Lebih daripada itu, yang membuat jantungnya berdetak keras adalah wajah salah satu pemeran dalam VCD itu. Wajah yang sangat ia kenal. Raka. Namun, Lily tidak ingin memercayainya.

Butir-butir air bening, mengaliri pipi Lily. Di hati kecilnya tersimpan harapan bahwa itu bukan Raka. Walaupun wajah itu sangat mirip dengan foto yang disimpannya. Namun, ia sangat ingin menemukan Raka. Siapa tahu penemuan Raka adalah titik terang untuk menemukan Naka.

Denpasar, Minggu Kedua April 2000
Kabar dari Denpasar. Lily baru akan menutup layar komputernya, ketika telepon di meja berdering. Dari Pak Yanto, kenalannya yang seorang polisi. Ia ingin menunjukkan sesuatu.

Tiba di ruangannya, Pak Yanto mengambil tumpukan kertas di meja dan mengajak Lily duduk di sofa.

“Saya sepertinya menemukan anak laki-laki yang kamu cari? Ini file tahun 1994. Seorang anak ditemukan tewas di pesisir pantai. Tubuhnya penuh benturan benda tumpul. Selama enam tahun polisi berusaha mencari identitasnya, tapi gagal. Penyelidikan waktu itu memang tidak dikaitkan dengan kemungkinan anak ini menjadi korban fedofil.”
Lily memerhatikan foto itu. Dadanya seketika sesak.

“Anak ini sulit sekali dicari identitasnya, karena tak seorang pun di sekitar lokasi yang pernah mengenalnya. Namun, temuan video terakhir di lokasi penggerebekan menunjukkan anak ini mirip salah satu gambar. Bagaimana menurutmu?”

Figur bocah dalam foto itu memang sangat mirip Raka. Tingginya, kulitnya, dan celana merah hatinya. Celana itu pula yang dipakai bocah yang terekam gambarnya di video itu. Tubuh itu sepertinya memang milik Raka. Tapi, Lily tak ingin meyakininya.

“Anak ini sudah dikubur di Buleleng. Tubuhnya pasti sudah tinggal belulang. Saya punya foto-fotonya yang lebih lengkap dan jelas. Juga hasil autopsinya pada saat itu. Mungkin bisa kau ajak suamimu untuk melihatnya besok. Seperti ceritamu, kedua anak kembar itu adalah teman suamimu!”

Lily meninggalkan ruangan dengan tergesa. Jika benar Raka telah tewas, itulah kenyataan yang harus diterima. Dengan foto-foto close up itu, Cakra memastikan bahwa itu Raka. Cakra menangis meraung-raung. Baginya, Raka telah menjadi adik kandungnya.

Gunung Kawi, Juni 2000
Pedih dan perih selalu menghinggapi benak Lily dan Cakra setiap kali berkunjung ke Gunung Kawi. Bayangan sepasang bocah kembar selalu memenuhi benak mereka. Tubuh Raka yang berdarah-darah, wajah Naka yang berurai air mata. Luka itu terasa mengiris jauh ke dalam dada.

Lily selalu tidak bisa menahan air matanya meleleh setiap kali mengingat Naka. Bocah yang begitu mencintai kakaknya. Yang demi bersatu dengannya, rela turut dalam kematian tragis yang dialami kakaknya. Lily ingin menangis sekeras-kerasnya. Ia sangat menyesal membiarkan Naka sendirian; meratapi sepi yang tidak bertepi. Ia menyesal tak bisa selalu ada untuk bocah itu. Lily merasa sangat egois. Ia tenggelam dalam masalahnya bersama Cakra.

Andai saja ia terus menemani Naka. Andai saja ia terus tinggal di rumah itu. Andai ia dan Cakra benar-benar menjadi pengganti ayah-ibu seperti yang diinginkan Naka, anak itu tentu tak bernasib setragis ini. Naka akan lebih kuat menghadapi kehilangan kakaknya. Ia akan bisa tersenyum lebih sering, lebih bahagia.

Lily mengutuki dirinya. Ia salah satu yang membuat Naka hilang dan… meninggal. Ia tahu Naka menyukainya, tapi tidak memedulikan harapan gadis kecil itu. Lily merasakan dadanya sesak seperti dihantam palu-godam berton-ton. Ia mengempaskan tangan gadis kecil yang sangat mengharapkannya.

Setahun setelah hilangnya Naka, Lily melangsungkan pernikahan dengan Cakra. Setahun kemudian nenek Naka meninggal. Lily dan Cakra yang membiayai seluruh prosesi pemakaman sampai dengan upacara ngaben. Usai pemakaman, keduanya tinggal di rumah Naka. Mereka tinggal dengan pria sebatang kara bernama Made Gemet, satu-satunya penghuni tersisa di rumah itu.

Hari-hari Lily dan Cakra kini lebih banyak dihabiskan di Gunung Kawi. Tempat ini seperti tidak habis-habisnya memberi takjub. Setiap pagi Lily tidak pernah melewatkan ritual rutinnya. Menghaturkan sesajen ke Gunung Kawi, sambil mendengarkan lengking tawa yang membelah kesunyian pagi. Suara tawa yang memantul di antara tebing. Lily merasakan suara-suara itu begitu nyata Bahkan, kadang hingga bergema di seluruh jantungnya.

Saat itulah Lily menyapa sepasang kembar Naka dan Raka. Ia yakin keduanya menghuni relung-relung tebing, memperdengarkan tawa riang setiap saat, merayakan setiap detik kebersamaan mereka. Barangkali juga menghibur hati Lily yang selalu berdarah setiap mengunjungi Gunung Kawi. Bahwa ia dan Cakra seharusnya berhenti menyesal; berhenti merasa bersalah. Menyadari sepenuhnya bahwa segalanya tiada lain karma.

Pembersihan Sungai Pakerisan berbuah penemuan menggemparkan. Sesosok mayat ditemukan di bawah batu di hilir sungai. Mayat itu telah berubah menjadi rangka. Hanya pakaian yang dikenakan dan tas berbahan plastik yang melekat di tubuhnya yang bisa dipergunakan untuk mengenali sosok mayat tersebut. Keluarga korban mengenali mayat tersebut sebagai seorang gadis kecil, berusia 11 tahun bernama Naka, yang hilang di kawasan itu lima tahun yang lalu…. (Tamat)

Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?