Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [6]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Pantai Sanur, Agustus 1994. Saat bulat Bulan Pernama
Hari ini adalah hari perayaan. Itu yang disepakati Lily dan Cakra. Mungkin karena keduanya sama-sama direjam gundah. Susah hati dan lelah. Cakra baru saja menghadiri pernikahan ketiga Bapa-nya. Sakit hati Cakra semakin menghitam. Bapa bertambah jauh darinya… Ia semakin tidak menjadi keluarga Cakra. Cakra semakin sendiri dalam hidupnya. Sementara Lily baru menerima undangan pernikahan dari mantan pacarnya. Rafa. Cinta mereka sudah lama berakhir, namun entah mengapa hatinya terasa patah menerima undangan itu.

“Kamu ingat Barong Landung, Ly?”

“Yang kita lihat di Pantai Lebih kan?”

“Kalau kita menikah, kita akan menjadi Barong Landung abad 21, he he!”

“Dan akhirnya kita sama-sama lenyap dari muka bumi, heh? Aku nggak mau ah. Lagipula kata siapa kita akan menikah.”

“Malam ini kita kan sama-sama menjadi orang yang kecewa, apa salahnya memadukan kekecewaan, ha ha ha?”

“Ngomongmu tambah ngawur, Cakra. Mending kamu diem aja kalau lagi setengah mabuk begitu!’’ Lily menepuk-nepuk jidat Cakra. Sementara laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak. Tawa yang begitu kentara menerbitkan aroma getir. Getir yang juga te­ngah meruyak di hati Lily. Perasaan senasib memang sangat mudah membuat siapapun menjadi dekat.

Dua botol bir besar teronggok diantara kaki mereka yang menatap lurus lautan yang gelap. Pantai Sanur begitu lengang malam itu. Cakra dengan keberandalannya menyeret Lily menerobos pinggir pantai yang menjadi area hotel. Di Pantai Sanur itu, hampir tidak ada lagi tempat bagi masyarakat umum untuk menikmati keindah­an pantai. Hampir semua lahan telah dikavling oleh hotel-hotel yang berjajar sepanjang pantai Sanur.

Lily melirik jam tangannya. Hampir jam dua. Tak seorangpun memilih menikmati pantai di malam selarut itu. Di hamparan pantai yang begitu luas, hanya ada Lily dan Cakra. Satpam hotel Rama, pemilik kavling pantai itu sudah lama terdengar dengkurnya. Malam yang senyap hanya menyisakan suara jangkrik dan suara-suara binatang malam. Suara hembus nafas dan detak jarum jam terdengar lirih di telinga keduanya.

Entah sudah berapa lama Lily dan Cakra terdiam. Mata keduanya memandang lurus bulan yang bulat di ufuk timur. Indah sekali. Sinarnya yang temaram terasa begitu nyaman. Seperti sinar mata Ibu yang membelai kepala anaknya agar segera tertidur.

Beberapa saat, Cakra mengalihkan pandang kepada Lily. Diam-diam ia takjub pada perasaannya sendiri. Entah mengapa ia merasa Lily tidak ubahnya bulan purnama, atau bulan purnama tak ubahnya Lily. Menikmati temaram sinar purnama entah mengapa sama rasanya dengan membaui aroma tubuh Lily. Aroma yang ingin semakin ia dekatkan ke hidungnya agar ia bisa menghirupnya dalam-dalam.

Cakra tidak bisa mengendalikan perasaannya. Dengan keinginan yang begitu kuat di hatinya, ia merentangkan tangan dan memeluk Lily erat. Ia jatuhkan kepalanya di dada Lily diiringi suara isak yang terdengar lirih. Lily terkesiap dengan gerakan Cakra yang begitu tiba-tiba. Ia tidak menyangka laki-laki itu akan memeluknya, dan lebih terkejut lagi dengan isak yang terdengar. Isak laki-laki sekeras dan seberandalan Cakra.

Lily tidak tahu harus berbuat apa. Sebagian hatinya memerintahnya untuk diam saja. Tidak menolak dan melepaskan pelukan Cakra. Lily menikmati aliran kenyamanan yang ia rasakan dari pelukan Cakra. Lily memejamkan matanya, menikmati basuhan sejuk di dinding-dinding hatinya. Rasa pahit dan getir yang tadi-nya begitu meruyak perlahan-lahan menipis dari rongga dadanya. Lily merasa tubuhnya meleleh perlahan-lahan. Lelehan yang semakin lama membentuk sebuah genangan. Genangan yang menganaksungai, menghayutkan dan merendam impuls-impuls syaraf, hingga basah kuyup dan hilang rasa.

Merangkai Ibu. Cakra tercenung. Ia seperti ingin terdiam seharian hari ini. Entah mengapa ia ingin meraba-raba seluruh jiwanya. Mendengarkan setiap suara tubuhnya. Ombak-ombak kecil pada aliran darahnya. Geliat-geliat samar pada jaringan kulitnya. Entah mengapa seluruh tubuhnya seperti bergerak-gerak, namun teramat pelan dan ringan. Seperti suara seorang bocah yang berbisik kepada ibunya. Bhatin Cakra menjadi kuyup oleh suara-suara tubuhnya. Ia tidak kuasa untuk beranjak meninggalkannya. Barangkali karena ia terlalu asyik; terlalu takjub.

Ingatan Cakra melayang pada sesosok perempuan. Perempuan yang melahirkannya. Ibunya. Yang kini sudah hidup dengan keluarga barunya. Tiba-tiba hati Cakra merasa rindu. Merindukan perempuan bernama Ibu. Ibu yang sungguh diinginkan Cakra.

Ibu adalah sosok yang selalu membuat hati Cakra melolong perih. Tiap malam perempuan itu ia inginkah hadir. Hadir untuk menyapanya. Hadir untuk menarik selimut Cakra yang terlepas berantakan ketika ia tidur. Ia ingin Ibunya tersenyum padanya. Senyum bangga karena anak laki-lakinya telah besar dan berhasil dalam hidupnya. Cakra merindukan senyum bangga itu untuk membuatnya tidur lelap dengan senyum di bibir. Namun apa daya, perempuan itu tidak pernah hadir. Tak pernah ada untuknya.

Perempuan yang melahirkannya terlalu sibuk dengan percintaannya dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Haruskah Cakra mem-bencinya? Bukankah ia hanya seorang perempuan biasa yang ber-usaha memperjuangkan kebahagiaanya. Berusaha menemukan kebahagiaan itu bahkan hingga ke ujung dunia. Dan Cakra… Ia hadir begitu saja ke dunia. Siapakah yang wajib mencintainya? Menjadi bahagia karena keberadaannya? Ibu tidak bahagia dengan kehadirannya. Mungkin ia bukanlah anak laki-laki yang menyenangkan bukan anak laki-laki yang diinginkan Ibu hadir ke dunia untuknya. Cakra berjanji tidak akan menyalahkan ibunya atas jiwanya yang meranggas. Ia biarkan haus itu terus ada. Ia biarkan sampai kerongkongannya semerah darah.

Cakra bermimpi Tuhan akan menjatuhkan seorang Ibu untuknya. Seorang Ibu yang dijatuhkan begitu saja di rumahnya. Ia adalah perempuan yang mengerti Cakra lebih dari siapapun. Ia yang akan selalu membela Cakra walaupun ia berbuat kesalahan-kesalahan. Ia yang selalu menghibur Cakra bila hatinya gundah.

Ingatan Cakra melayang pada Lily. Perempuan yang dipeluknya semalam dan entah mengapa dengan cengengnya ia menangis. Seperti apakah sesungguhnya perasaannya pada perempuan itu. Apakah Lily hanyalah teman baik semata-mata atau mungkin kekasih semata-mata? Perempuan yang sementara saja mengisi hari-harinya. Beberapa bulan atau barangkali beberapa tahun? Dan setelah itu Cakra akan berpindah ke perempuan-perempuan berikutnya. Melanjutkan pertualangannya yang tidak pernah berakhir. Menikmati percintaan-percintaan dan selamanya menghindari terbentuknya keluarga.

Tiba-tiba dadanya bergemuruh oleh hangat yang perlahan menjalari seluruh aliran darahnya. Ingatannya sekejap demi sekejap merangkai gambar. Gambar yang semakin utuh dan jelas. Kebersamaannya bersama Lily. Di bawah terang purnama. Berselimut malam yang senyap; beralas pasir yang basah oleh embun. Saat yang begitu larut dan bergemuruh. Lebur dalam ekstase atau kemabukannya. Sehingga sebagian kesadarannya mati?

Cakra sekali ini betul-betul tercenung. Ia terpekur diam. Sekaligus memerintah seluruh suara dan gerakan di jaringan tubuhnya terdiam. Saat itulah ia menemukan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak mendengar lagi lolongan hatinya. Luka semerah darah di kerongkongannya tiba-tiba saja lenyap. Hati itu sekarang bertumbuh menjadi rumpun-rumpun yang gemuk. Setiap detik tangkainya mengembangkan kuncup-kuncup baru.

Lily adalah Ibu yang dikirim Tuhan untuknya. Perempuan yang membuat ia merasa penting dan berharga. Perempuan yang selalu membuat ia mengungkapkan perasaannya. Bersama Lily, obrolan menjadi sangat panjang seperti tidak bisa diakhiri. Perempuan itulah yang ingin dimilikinya; sepenuhnya; seluruhnya; selamanya.

Galeri Ubud, Awal September 1994
“Bagaimana kalau kita menikah?”

Lily melongo mendengar pertanyaan yang begitu saja dilontarkan Cakra. Laki-laki ini masih saja slengek-an, ringan dan seenaknya. Bagaimana mungkin masalah pernikahan ia ucapkan seringan itu, santai, seperti obrolan di warung kopi. Seketika ingatan Lily melayang pada peristiwa di Sanur. Peristiwa yang terus membuntutinya akhir-akhir ini.

Ingatan akan malam itu hadir sepenggal demi sepenggal. Saat suasana senyap. Saat Lily memeluk laki-laki itu. Mendengarkan detak jantung Cakra yang bergerak tak seirama dengan detak jantungnya. Berusaha mengambil separuh energi dari Cakra. Berbagi isak yang tumpah membasahi pakaian. Saat kesenyapan makin menjadi. Dan Lily merasa lenyap. Berpindah ke alam lain. Ke bawah sadar yang justru semakin mengeras, mengambil peran dan mendominasi.

Lily masih ingat rasa itu. Rasa yang ia rayakan malam itu. Rasa penuh. Rasa seimbang dan tenang. Seluruh kepenatan hidupnya selama 29 tahun tiba-tiba luruh malam itu. Saat seluruh syaraf tubuhnya beristirahat dengan damai. Lily belum pernah merasakan tidur seindah itu. Tidur dengan belaian lembut di sekujur jiwa­nya. Lily kini tersadar. Malam itu adalah malam terindah dalam hidupnya. Malam yang ingin ia gandakan hingga berjuta-juta ba­nyaknya. Sehingga semua malam adalah malam itu.

Bisakah ia miliki malam itu setiap malam jika menikahi Cakra? Apakah ia sungguh telah jatuh cinta pada laki-laki itu? Laki-laki berkulit coklat dan berambut gondrong itu. Laki-laki berahang tegak dan bermata kucing itu. Laki-laki yang sangat menawan. Yang telah ia sukai pertama kali bertemu. Yang telah memancing nafsunya saat laki-laki itu tersenyum. Yang terus menggodanya dengan kata-kata nakalnya. Sebagai perempuan biasa, ia pasti menyukai Cakra.


Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?