Fiction
Nyanyi Sunyi Celah Tebing [3]

17 Feb 2012

<<< Cerita Sebelumnya

Awal pekan, minggu ketiga Januari 1994
Lily menyerahkan koran itu kepada Naka.

“Lihat foto kamu dan Raka di sana!”

Naka menerimanya, meneliti tulisan itu. Wajahnya berubah cerah.

“Kira-kira ada nggak, ya, yang bisa membantu menemukan Bli Raka dengan foto ini?” tanyanya, gamang.

“Koran ini dibaca banyak orang, Naka. Ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu. Kita berharap saja, ada yang menemukan Raka dan memberi tahu kamu.”

Lily melihat mata Naka berbinar-binar. Harapan untuk segera menemukan kakak kembarnya meluap. Naka membaca dengan teliti, baris demi baris kata yang tercetak. Ia seperti tersedot hanyut dalam kekaguman.

Sebenarnya, Lily sangat dibuat penasaran oleh peristiwa ini. Lily merasa sangat tidak puas hanya bisa menceritakan kronologi peristiwa, tanpa bisa menemukan titik terang. Lily merasa gamang hanya menuliskan hal yang sama dengan yang dituliskan wartawan-wartawan lain. Ia kesal, ia dan para wartawan pada banyak peristiwa hanya bisa menjadi pewarta, bukan penemu fakta. Mereka menjadi pewarta banjir, pewarta longsor, menceritakan kronologi, menceritakan penderitaan korban. Tapi, kapankah mereka bisa menjadi penemu fakta?

Lima tahun menjadi wartawan politik di Jakarta, Lily berikhtiar tak cuma menjadi pewarta, apalagi pencatat, wartawan yang hanya melakukan tuntutan atasan tanpa usaha untuk memberi lebih. Untuk liputan-liputan politik, Lily merasa cukup puas dengan berita-berita yang ia gali. Cukup puas karena berita itu tidak kering dan datar. Cukup puas karena ada data-data pendukung yang kuat di sana. Namun sekarang, Lily berhadapan dengan kasus yang sama sekali baru. Kasus kriminal bahkan mungkin semi-mistis. Bisakah ia menghasilkan berita bernilai kali ini?

Lily tahu, tidak mudah baginya atau wartawan lain menjadi detektif. Namun, ia sangat menyesal, bila kedatangannya dan wartawan lain ternyata hanya bikin repot korban. Bikin repot Naka dan keluarganya. Harus melayani bermacam-macam pertanyaan, kemudian mereka pergi tanpa bekas. Bukankah begitu perilaku wartawan dalam berbagai liputan bencana? Lily tidak mau Naka hanya menjadi objek liputannya saja.

Lily kembali mengarahkan pandangannya pada Naka, setelah sempat terbuai dalam lamunan. Anak itu masih sibuk membaca tulisan Lily. Lily menyerahkan dua edisi Koran Memoar pada Naka. Edisi lama memuat feature Lily tentang objek wisata Gunung Kawi.

“Kamu suka buku cerita bergambar tidak?” tanya Lily, sejenak berusaha mengalihkan Naka dari keseriusannya membaca Koran Memoar.

“Naka belum pernah punya. Yang seperti apa, Kak?”

“Seperti ini?” Lily menyodorkan tiga buku cerita bergambar kepada Naka. “Ada dongeng Putih Salju, Legenda Tangkuban Perahu, dan Cinderella”

“Gambarnya bagus-bagus. Naka suka,” kata Naka, dengan cepat membolak-balik buku bergambar yang diberi Lily.

“Kamu sudah pintar membaca, kamu mungkin sudah bosan buku bergambar, ya!” kata Lily, seperti pada dirinya sendiri. Seketika ia menyadari kebodohannya memberi Naka buku-buku bergambar, yang seharusnya untuk anak-anak TK.

“Tidak, Kak, saya suka. Sewaktu kecil, Naka belum pernah punya. Teman-teman Naka pernah cerita punya buku cerita bergambar. Mungkin ini yang mereka maksud, ya, Kak?”

Lily mengangguk. Kembali rasa iba itu menyelinap. Naka tidak pernah meminta apa pun padanya. Juga tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Ia gadis yang berani dan tegar. Walaupun sekarang hatinya sedang patah, Naka tidak pernah merengek-rengek, mengiba-iba berusaha mendapatkan belas kasihnya. Tapi, entah mengapa, hati Lily amat gampang pedih hanya mendengar penuturan Naka yang polos.

“Kak Lily, terima kasih, ya. Kak Lily baik sekali sama Naka!” Ucapan Naka membuat Lily terenyak.

Lily merasa belum melakukan apa pun untuk bocah itu. Namun, bocah itu menganggap Lily sudah sangat baik kepadanya. Anak yang polos. Dan, yang membuat Lily terpukau adalah mata itu. Mata Naka yang memancarkan sinar bintang paling terang dengan seribu kurcaci bermanik-manik di sana. Anak itu sedang sangat berbahagia.

Denpasar, awal Maret 1994
Dua bulan berlalu. Lily masih terus memperpanjang tugasnya di Bali. Ia diperbantukan di Biro Bali, yang saat ini hanya diisi dua wartawan. Satu orang kepala biro dan satu wartawan lapangan. Desas-desus mengatakan, Lily akan sepenuhnya dipindahkan ke Bali dalam waktu yang cukup lama. Setahun, dua tahun, bahkan mungkin lebih.

Lily hampir melupakan pertemuannya dengan Naka dan misteri hilangnya Raka. Ia tak bisa memberi lebih pada liputannya kali ini. Lily putus asa, sehingga tak ingin menemui Naka. Ia takut bocah itu menanyakan kabar Raka dari foto yang dimuat di Koran Memoar.

Sampai hari ini, belum satu pun kabar ia dengar. Tidak ada yang menghubungi untuk memberi sebuah informasi. Berharap pada polisi pun percuma. Kesimpulannya masih sama. Hilang tanpa jejak. Polisi malah ikut-ikutan percaya, barangkali bocah itu memang menghilang secara gaib. Huh…! Lily percaya bentuk-bentuk kegaiban, namun ia juga percaya gaib tak semudah itu menyedot seorang anak manusia ke dunianya, tanpa angin tanpa hujan. Lily lebih percaya, kegagalan menemukan jejak, tidak lain karena kemalasan. Kemalasan mengumpulkan fakta-fakta. Kemalasan merangkai dan menyimpulkannya. Lily kesal, karena ia hanya bisa menunggu.

Namun, semalam tiba-tiba ia teringat mata Naka. Mata yang berbinar saat Lily membawakan buku-buku cerita bergambar, membawakan baju seragam baru. Binarnya begitu terang. Lily menjadi sadar, bahwa ada hal lain yang bisa ia lakukan, selain mencoba mencari Raka. Yang lebih penting adalah bagaimana menemani Naka melewati masa sulitnya. Menemani Naka yang kehilangan pegangan.

Lily memutuskan kembali mengunjungi Naka. Bukan hanya mengunjungi, namun juga bertanggung jawab atas hidupnya. Lily ingin membantu Naka melewati hari-harinya yang gamang tanpa kakaknya. Lily berharap ia bisa.

Saat pagi tiba, Lily bergegas menyetir mobil ke rumah Naka. Se-tengah jam kemudian Lily sudah berada di jalan setapak menuju rumah Naka yang dikelilingi sawah menghijau. Rumah itu terlihat tenang di bawah rimbun pohon jambu yang menaunginya. Terdengar suara berdengung di dalam rumah, saat Lily ada tepat di pintu gerbang rumah Naka. Beberapa orang sedang berbicara atau barangkali berembuk di dalam.

Lily benar. Di salah satu balai-balai rumah Naka yang disebut bale dangin (bagian rumah di sebelah timur, mempunyai kegunaan khusus untuk upacara kematian), terlihat seorang pria muda. Pria itu mengenakan udeng dan kamen, pakaian adat semiformal. Ia Cakra. Lily sudah beberapa kali bercakap-cakap dengannya. Ada nenek Naka di sana, dan seorang pria paruh baya yang Lily kenal bernama Made Gemet. Mereka sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius.

Saat Lily terlihat mendekat, ketiganya menoleh. Dari nenek Naka, Lily tahu bahwa kondisi Naka makin parah. Hari ini ia tidak mau makan sejak pagi. Tak sebutir nasi pun mau dimakannya. Ia hanya melamun atau menulis surat-surat. Rupanya, Naka makin tak bisa menerima kehilangan Raka. Nenek Naka yang kebingungan, menelepon Cakra untuk berusaha membujuknya.

Namun, beberapa jam mencoba mengajaknya bicara, ia gagal. Naka marah pada Cakra, karena jarang sekali mengunjunginya. Cakra pergi entah ke mana. Cakra tidak pernah ada saat ia dibutuhkan. Padahal, pekan-pekan sebelumnya ia rajin datang. Meniup serulingnya. Juga cerita-ceritanya. Rupanya, Cakralah yang meng-ajarkan cerita pada Raka, sehingga Naka sangat menyukainya. Naka hanya diam, ketika Cakra mencoba mengajaknya bicara.

Menemui Naka di kamarnya membuat Lily terkesiap. Anak ini makin kurus. Pipinya menjadi kempot dan tulangnya kelihatan. Padahal, Naka yang pernah ia temui pertama kali adalah Naka yang tembem, Naka yang pipinya merah dadu. Naka dengan kaki lincah dan tatapan cemerlang.


Penulis: Ni Komang Ariani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?