Fiction
Negeri Kambing Kertas [3]

26 Sep 2013


<<<<< Cerita Sebelumnya

Bagian 3
Kisah Sebelumnya:
Budin, anak suku Bajo dari Pulau Bungin yang pintar dan sangat ingin melanjutkan sekolah. Sayangnya, Ua’ Mman, ayahnya, sangat miskin. Samaila, kakaknya, ikut kapal pencari ikan dan tak ada kabar. Di sisi lain, ada Pak Bur, guru SD yang dengan semangat ingin memberikan pendidikan untuk anak-anak Bajo. Ketika semangat Budin sedang tinggi, ia menemui kenyataan ayahnya tak sanggup lagi menyekolahkannya.

Matahari mulai condong ke barat. Sebentar lagi ia akan kembali ke peraduan, di balik puncak Gunung Rinjani yang tampak tenggelam diselimuti cendawan raksasa berwarna kelabu. Sinarnya yang mulai redup berkilauan di atas hamparan laut yang beriak-riak kecil. Dari dermaga terdengar canda tawa bocah-bocah Bungin yang sedang asyik mandi di laut. Kadang-kadang suara mereka berbaur dengan pekik mesin diesel atau ketinting dari jonson dan lepa-lepa yang baru pulang melaut.

    Setelah sempat berbicara sedikit Budin dan Pak Bur memutuskan untuk segera berangkat ke kramba. Usai salat Ashar mereka berangkat dengan menggunakan sampan kecil milik Ua’ Banggo. Di kramba guru dan murid itu tampak asyik menarik-narik kail sambil sesekali tertawa lepas jika cerita Pak Bur sampai pada hal-hal yang lucu. Budin tak mau kalah, cerita ayahnya tentang bagai pembeli kambing tempo hari, ia ceritakan pada Pak Bur. Mendengar itu barangkali perut Pak Bur sakit menahan tawa.

“He... he... he….   Luar biasa, ya! He...he…he…. Benar, Din. Seperti undian berhadiah!”
    Pak Bur terbahak-bahak. Wajah sawo matangnya memerah. Bagai pembeli kambing yang mendapati secarik kertas di perut kambing bertuliskan: “Anda belum beruntung” membuat wajahnya bengkak dan matanya berair.

    Selanjutnya, guru dan murid itu sampai pada suasana yang hening. Sesekali mereka berteriak jika kail mereka disambar ikan. Setelah itu hening lagi. Tanpa disadari Budin, Pak Bur sesekali menatapnya iba. Tak dapat Pak Bur pungkiri rasa kasihan pada bocah polos di sampingnya ini. Ia tahu Budin sangat ingin sekolah.
Ia tahu Budin sangat menyukai cerita-cerita, dan ia tahu betapa Budin pedih mengetahui ayahnya kurang setuju dengan cita-citanya. Tapi, satu hal yang juga tak boleh diabaikan, bahwa Ua’ Mman sudah renta, bahwa laki-laki setengah baya berkulit gelap itu gamang membayangkan dirinya membanting tulang yang sudah keropos jika nanti Budin melanjutkan sekolahnya. Sementara kakaknya hanya sekali mengirimi mereka uang.

    “Pak!” panggil Budin tiba-tiba.
    “ Ya?” sahut Pak Bur.
    Alam memasuki fase sore. Sepuhan keemasan cahaya matahari menerpa muka mereka, menyapu atap kramba, laut dan rumah-rumah penduduk Pulau Bungin.
    “Setelah tamat SD, saya mungkin tidak bisa melanjutkan ke SMP.”
    Pak Bur diam sejenak. Ia menatap lekat-lekat muridnya itu. Budin mencoba tersenyum.
    “Kau pasti bisa sekolah, Din. Pak, yakin itu. Masalah Ua’-mu, nanti Pak bicara dengannya. Sebisa mungkin Pak akan membantu.”
Pak Bur sadar betul bahwa bantuannya tidak akan berpengaruh apa-apa. Ia berkata demikian semata-mata untuk menghibur Budin. Ekonomi keluarga mereka benar-benar kritis.
    “Yang penting niatmu jangan sampai kendur. Bukankah tokoh-tokoh yang Pak sering ceritakan menghadapi rintangan pula. Toh, pada akhirnya mereka sekolah dan sukses di bidang masing-masing.” Pak Bur meletakkan sejenak kailnya. “Jangan lupa salat! Doa sama Allah! Pak yakin semua akan berjalan lancar.”
    Senyum Pak Bur yang disertai anggukan kepala menutup nasihatnya. Baginya, Budin tidak hanya seorang murid tapi sudah lebih dari seorang sahabat yang sedikit banyak menginspirasinya. Budin ikut pula tersenyum. Guru dan murid itu kembali bercanda riang. Senyum tawa dari jiwa-jiwa yang ikhlas turut mengindahkan wajah alam sore itu.

****
Pulau Bungin belum bangun ketika suara mesin diesel 30 pk membahana di seantero pulau. Di keheningan malam deru mesin itu amat keras, memekak. Jelas bukan berasal dari lepa, tapi pasti dari bodi. Perlahan suara mesin itu memelan, tak lama kemudian suara mesin itu menghilang. 

    Subuh menjelang. Torehan warna oranye kemerahan menghiasi langit timur. Ibu-ibu penjual ikan mulai memenuhi dermaga. Suara mesin dari lepa dan jonson semarak bersahutan, menciptakan harmoni alam yang mengalun di horizon.

Laksana armada perang Sumbawa tatkala menghalau Belanda, jonson-jonson dan lepa-lepa itu menyerbu keluar Bungin, garang dan perkasa. Kepul asapnya membubung di udara. Tiba-tiba, selang beberapa menit, tepatnya setelah lepa dan ibu-ibu penjual ikan yang diantar jonson sudah jauh meninggalkan Bungin terdengar suara orang ribut-ribut di dermaga. Seorang perempuan paruh baya bernama Ma’ Saripa tergopoh-gopoh menuju rumah Ua’ Mman. Rumah Ua’ Mman cukup jauh dari dermaga.

    “Mman!... Mman!... Mman!” panggil Ma’ Saripa di serambi dengan suara gemetar. Ia pula terengah-engah.
    Ua’ Mman yang dua jam yang lalu baru pulang dari ngoncor dan baru saja menutup mata tiba-tiba bangun mendadak. Budin terlelap di sampingnya.
    Ma’ Saripa terus memanggil. Ua’ Mman membuka pintu dengan kepala pening.
“Nginai, Saripa?” tanya Ua’ Mman sambil mengucek-ngucek matanya.
    Tanpa basa-basi Ma’ Saripa yang notabenenya adalah tetangganya langsung menjawab.
    “Karin sudah pulang, Mman!”
    Bagai disiram air emas kepala Ua’ Mman mendengarnya. Kantuk yang bersarang di pelupuk matanya sirna seketika. Kepulangan Ua’ Karin membuatnya senang karena Samaila ikut di bodinya.     
    “Benarkah?” Ua’ Mman sedikit tak percaya.
    “Benar, Mman! Bodinya sudah merapat,” jawab Ma’ Saripa.
Karena terlalu senang tidak ia perhatikan raut muka Ma’ Saripa yang miris.  “Sudah turunkah Samaila ke dermaga, Saripa?” tanya Ua’ Mman girang.
    “Sudah,” jawab Ma’ Saripa berat. “Tapi, Mman. Samaila kena kram. Dia sedang digotong ke sini”
    Oh, tidak…..
Wajah Ua’ Mman yang tadinya sumringah tiba-tiba redup seperti matahari yang tiba-tiba tertutup awan mendung. Dari raut mukanya yang pias jelas terlihat kalau ia sangat terkejut.
    “Jangan bercanda, Saripa!” Ua’ Mman berusaha tidak percaya, walaupun sebenarnya ia tahu Ma’ Saripa tidak mungkin berbohong.
    “Igih, tua sudah kita, Mman. Tak ada guna berbohong.”
    Ua’ Mman lesu. Napasnya terputus-putus diiringi tubuh yang gemetar.
“Di mana dia, Saripa?” suara Ua’ Mman gemetar.
    “Sedang di bawa ke sini, Mman.”

    Ua’ Mman menggulung erat dan tinggi sarung bawahannya. Baju kemeja lusuhnya yang tergeletak di kursi plastik di pojok ruangan, ia sambar. Suara lantai papan yang lapuk berderak-derak disentuh kaki-kaki renta yang segera turun dari rumah panggung reyot itu. Tanpa diminta, Ma’ Saripa serta-merta masuk menyiapkan tempat baring Samaila.
Budin terbangun oleh suara derak lantai papan. Ia sedikit kaget melihat Ma’ Saripa masuk kemudian merapikan segala benda yang berantakan. 

“Sedang apa, Ma’ di sini? Ke mana, ua’-ku?” tanya Budin heran.
Kali ini Ma’ Saripa tidak langsung memberi tahu Budin.
“Bangun saja dulu, Din! Ma’ mau merapikan rumah ini.”
Budin bangun dan langsung duduk di kursi plastik tua di pojok ruangan. Ia menoleh ke luar pintu. Tanah sudah mulai terang. Suara tetangga terdengar menyebut-nyebut nama Ua’ Mman, Ua’ Karin dan Samaila. Budin mengernyitkan dahi. Jika ayahnya disebut-sebut itu hal biasa, tapi tetangga menyebut pula nama kakaknya dan Ua’ Karin, juragan kakaknya. Sesuatu yang tidak biasa.

“Ada apa ini, Ma’? Kenapa, Ma’ tiba-tiba di sini?” suara Budin sedikit meninggi.
Tidak sempat Ma’ Saripa menjawab tiba-tiba sekerumunan orang yang membawa tandu dari pohon bakau menyerbu rumah panggung mereka. Budin terperangah. Ma’ Saripa yang baru selesai menyiapkan tempat tidur segera menyambut si sakit.
“Din, itu Samaila! Dia kena kram!”

Antara percaya dengan tidak Budin bangkit lalu ke serambi. Melihat di antara orang-orang banyak itu ada Ua’-nya tergopoh-gopoh, percayalah ia. Seketika itu wajahnya pias, jantungnya berdegup kritis dan tatapannya bingung. Orang-orang masuk membawa tandu ke rumah panggung itu. Samaila terkulai tak berdaya di atasnya. Tatapannya kosong, pasrah dan lelah. Budin ikut memasukkan tandu kakaknya. Betapa remuk hatinya melihat orang yang ia cintai lumpuh tak berdaya. Samaila kemudian diletakkan di atas kasur kapuk yang sudah disiapkan Ma’ Saripa tadi. Rumah panggung kecil itu berderak-derak dan sesak oleh orang-orang.
“Terima kasih atas bantuan kalian semua,” ucap Ua’ Mman getir sambil mengusap air matanya dengan jari-jari tangannya.

****
Berhari-hari berlalu, kegiatan utama Budin dan ayahnya hanyalah mengurusi Samaila. Samaila tidak berdaya di atas kasur kapuk. Tubuhnya kurus. Hanya mata yang masih bergerak dan mulut yang bicara yang menandakan ia masih hidup. Kram laut akibat menyelam terlalu dalam telah melumpuhkan sekujur tubuhnya.

Sesungguhnya kramlah yang jadi momok menakutkan bagi penyelam-penyelam Bajo di seluruh pesisir Pulau Sumbawa. Tapi, ibarat memakan buah simalakama, penyelam-penyelam Bajo tak punya pilihan. Selain menyenangi laut, keluarga-keluarga mereka akan kelaparan kalau mereka tidak menyelam.
Walaupun bagi masyarakat Bajo laut adalah tumpuan harapan untuk mencari nafkah supaya bisa bertahan hidup, namun, terkadang nyali mereka ciut tatkala laut merenggut nyawa sanak kerabat mereka.

Tidak jarang nyawa melayang jika dalam penanganan kram terjadi kesalahan. Di Pulau Bungin sendiri sudah banyak yang menemui ajal akibat kena kram saat menyelam. Tapi, bukan berarti tidak ada yang terselamatkan. Banyak juga yang selamat tapi kondisi fisik mereka sudah tak sebaik seperti semula, alias cacat. Jalan mereka akan menjadi pengkor, terseok-seok seperti orang bisulan. Konsekuensi ini sungguh mengiriskan.
Dukun-dukun dari berbagai pulau di Sumbawa sengaja didatangkan untuk mengobati Samaila. Uang hasil menyelamnya yang sudah diberikan oleh Ua’ Karin digunakan Ua’ Mman untuk mengisi pinang dukun-dukun itu, sehingga  makin hari uang persediaannya menipis. Apalagi Ua’ Mman semenjak Samaila tiba sudah tak lagi memancing atau mengoncor. Ia sibuk mengurusi Samaila.

Satu hari, ketika uang sudah habis untuk memenuhi makan sehari-hari, Ua’ Mman terpaksa minjam uang ke Ma’ Saripa, tetangga mereka. Ma, Saripa sendiri memiliki seorang suami yang renta dan dua anak gadis yang sebaya dengan Samaila. Yang bungsu bernama Sahora dan yang sulung bernama Ani. Ani inilah yang pernah mengantar sepiring bolu tawar dan dua gelas minuman berwarna biru kepada Pak Bur dan Ua’ Mman tempo hari. Ani dan Sahora hanya pernah sekolah sampai kelas tiga SD setelah itu membantu Ma’ Saripa berjualan jajan di bawah kolong. 

Uang yang dipinjam Ua’ Emman pada Ma’ Saripa, ia gunakan juga untuk membayar iuran sekolah Budin, membeli keperluan dapur dan sisanya disimpan.  
Budin, setelah sekolah dan mengambil daun bakau sudah tidak mau ke tempat lain selain di samping kakaknya, berusaha menghibur dan membantu mengurusinya. Jika malam tiba, usai salat, ia selalu bercerita sambil sesekali mengusir nyamuk yang menggigit wajah kakaknya dengan mengibas-ngibaskan tangannya.

“Di suatu desa, di belahan dunia lain, hiduplah seorang anak kecil bernama Kolumbus,” demikian Budin memulai ceritanya.
“Kolumbus? Siapakah itu, Din?” Ua’-nya yang berada di sampingnya terkejut. Bibir kerutannya tertarik kusut karena ia tertawa mendengar Budin menyebut Kolumbus. Nama serupa itu aneh bagi orang-orang Bajo.
“Dia ini orang hebat, Ua’. Dia penemu negara!” Budin memasang muka dramatis. Samaila tersenyum menatap ayah dan adiknya.
“Aneh benar nama itu, Din ” kata Ua’ Mman sambil berlalu ke dapur.
“Begitulah nama orang Barat, Ua’. Aneh-aneh!” Kemudian Budin melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti.
“Ila, tahu?” tanyanya retoris pada Samaila. “Menginjak dewasa ia sudah menjadi seorang nakhoda kapal yang andal. Punggawe, bahasa kita. Kolumbus ini yang menemukan Benua Amerika, Ila, ketika dipercayai Ratu Inggris memimpin ekspedisi pelayaran untuk menemukan jalan ke Asia Timur.”
Samaila tersenyum-senyum sambil sesekali menyela.
“Ternyata pintar kau, Din. Aku tidak sangka kau akan sepintar ini,” puji Samaila.

Budin cengengesan. Pujian kakaknya seperti dentingan harap masuk ke telinganya. Ia ketagihan maka dengan bangga ia mengambil rapor lalu  membentangkannya di depan wajah kakaknya. Ia menunjuk angka satu yang ditulis Romawi dan huruf yang diberi kurung. Samaila kembali memujinya, senyum bangga mengembang di wajahnya yang mulai redup. Budin di awang-awang. Senyum puas tersungging di bibirnya. Kemudian seperti keinginannya tempo dulu, ia tak lupa memperkenalkan guru muda kesayangannya itu pada kakaknya. Ia katakan Pak Bur itu hebat, pandai bercerita, berpuisi, mudah menjelaskan soal-soal matematika dan pelajaran-pelajaran lain yang sulit dijelaskan guru lain. Katanya pula, peringkat satunya ini diperoleh lantaran selalu disemangati, Pak Bur.
“Hebat sekali Pak Bur itu, Ila!.  Ila nanti harus berkenalan dengannya!”
Di dapur, tanpa di ketahui siapa-siapa, Ua’ Mman menyeka air matanya melihat Budin bersemangat ketika bercerita tentang sekolahnya. Betapa ia kasihan melihat anaknya itu. Kenyataan bahwa ia tidak mampu berbuat banyak untuk Budin membuat dadanya bergemuruh, pilu.   

****
    Dua bulan sudah Samaila mendekam di kasur kapuk itu. Kondisinya sudah menunjukkan kemajuan. Ia bahkan sudah mampu berdiri, walaupun tidak bisa lama. Sekujur tubuhnya yang dulunya mati rasa sekarang sudah kembali merasa. Ia rutin direndam di air laut setiap pagi. Laut merupakan obat mujarab untuk beberapa jenis penyakit menurut orang Bajo, Sumbawa. Selain itu, ia juga mengonsumsi madu hutan bakau yang disuluh ayahnya di hutan bakau pulau panjang. Alhasil, kondisinya sekarang mulai membaik.

    Senang nian Budin melihat kemajuan kakaknya. Tak bisa ia perikan. Orang yang selama ini ia tunggu-tunggu kedatangannya sekarang ada di depan matanya. Kini, rutinitas sehari-harinya berjalan lancar. Ia bahkan tidak lagi melamun. Walaupun cobaan belum sepenuhnya hilang tapi ia sudah bisa menerima kenyataan yang sedang ia dan keluarganya hadapi.

Di suatu siang yang terik, ketika ia baru saja pulang sekolah cobaan lain datang lagi. Rupanya keteguhan hati bocah Bajo itu benar-benar diuji. Tiba-tiba ayahnya dengan berat memintanya untuk menjual seekor saja kambingnya.

    “Ini benar-benar darurat, Din! Tangkapan Ua’, tidak cukup untuk membayar utang kita,” ucap Ua’ Mman memelas dengan suara pelan karena takut Samaila terbangun.
Mendengar itu Budin membisu. Jiwanya tersentak seperti hatinya kena sembilu.
“Tidakkah ada jalan lain, Ua’?” lirihnya berat dan terpaksa sebagai wujud pembelaannya untuk hewan kesayangannya itu. Ia berharap akan ada jalan keluar seperti dulu, seperti saat kambingnya tidak jadi dijual.

“ Maafkan Ua’, Din. Sudah tiga hari ini, Ua’ berusaha mencukupi uang yang ada supaya bisa membayar utang kita, tapi, kau lihat sendiri tangkapan Ua’ selalu sedikit. Sementara Ma’ Saripa sedang butuh uang. Lima hari yang lalu Ma’ Saripa menagih Ua’. Ua’ minta waktu enam hari untuk bisa mengembalikan uang yang Ua’ pinjam. Besok batas waktunya. Ua’ malu kalau tidak menepati janji, Din. Ma’ Saripa sudah cukup baik pada kita ” jelas Ua’ Mman pada Budin.  

Mendengar penjelasan Ua’nya, Budin hanya menelan ludah. Pahit. Tak ada pilihan. Ia tidak pernah membayangkan akan berpisah dengan kambingnya dengan cara seperti ini. Walau bagaimanapun suasana hatinya, walau bagaimanapun bergejolaknya laut diaduk hujan dan angin, ia tidak pernah absen mengambilkan Tibok dan Bebeseh daun bakau. Tibok dan Bebeseh sudah seperti teman baiknya, seperti Rifai dan Amin. Sekian lama memelihara Tibok dan Bebeseh, kini terpaksa berpisah.

Sungguh bagi Budin ini siang yang sendu. Mukanya sempat tertunduk lesu. Tapi tidak lama setelah itu, seperti matahari terbit ia mendongak tegar. Sorot matanya liar penuh binar.  Ditatapnya ayahnya penuh keyakinan kemudian berkata.
“Kalau begitu jual saja, Ua’! yang mana Ua’ mau, Din akan turuti,” katanya mantap.
Ayah dan anak itu telah sempat mengalami momen-momen sendu sebelum akhirnya rona muka mereka cerah ceria. Mereka lega karena sudah menemukan jalan keluar untuk membayar utang mereka pada Ma’ Saripa.

Sementara, di ruang tengah di atas sebuah kasur kapuk yang kumal Samaila menangis dengan menutup mukanya dengan kain sarung pembungkus badannya. Ia tidak tidur. Ia mendengar semuanya, dan merasa bersalah sebagai seorang anak tertua di keluarga ini. Ia penyebab kesedihan adik dan ayahnya. Bukannya meringankan beban mereka malah semakin memperburuk keadaan.

    Samaila terus menangis. Suaranya ia tahan supaya tak kedengaran. Beberapa detik berlalu tiba-tiba timbul rasa putus asa di hatinya. Berkecamuk pula perasaan bersalah di sana. Ia mengutuki diri. Dan alam pun tiba-tiba gelap.


*****
Sandi Sardi



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?