Fiction
Namaku, Arimbi [3]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Ada perang batin dalam diri Dayu sesaat setelah membaca surat yang terselip di dalam buku agenda ayahnya. Di satu sisi ia ingin menyampaikannya kepada ibundanya. Penasaran mencari jawaban atas pesan singkat yang ditulis Arimbi. Arimbi!

Tetapi, langkahnya surut saat melihat kondisi ibunya yang tampak tidak akan siap menghadapi kenyataan pahit ini. Jangan-jangan, bila disampaikan, malah akan memperburuk kondisi kesehatan Ibu.

Setelah stroke yang dialaminya, Ibu tidak boleh mendapat tekanan psikologis, agar tidak memperburuk kondisi fisik dan kejiwaannya. Bahkan, Dayu tidak berusaha menyampaikan masalah ini kepada saudara-saudaranya yang lain. Takut akhirnya berita ini sampai ke telinga ibunya. Bisa runyam nanti urusannya, pikir Dayu, seolah membenarkan argumennya.

Langkah Dayu menelusuri keberadaan wanita bernama Arimbi sudah mantap. Ia pikir, dengan mengetahui identitas wanita yang dipandangnya sebagai kerikil dalam hubungan Ayah dan Ibu, dan hubungannya dengan Ayah, mungkin akan mengurai teka-teki yang menggelayut dalam benaknya selama ini.

Tidak ada petunjuk lain selain sepucuk surat yang kini tersimpan dalam ransel laptop-nya. Bukti autentik affair ayahnya dengan wanita penggoda bernama Arimbi! Dayu geram memikirkan masalah yang sulit ditepis dari pikirannya. Geram terhadap kemunafikan ayahnya, yang selalu menunjukkan kehangatannya sebagai seorang suami di hadapan istri dan keempat anaknya. Jadi, selama ini ayahnya sempurna menyembunyikan perselingkuhannya dengan Arimbi. Wanita yang mengganggu keharmonisan keluarga Bram Nataatmadja.

Setibanya di Bandung, sudah hampir pukul sembilan. Perjalanan yang ditempuh lebih kurang satu jam lebih lima belas menit ini, membuat Dayu letih. Prosesi menjelang hingga setelah pemakam-an ayahnya telah menguras tenaganya. Ditambah lagi dengan beban pikiran yang mengaduk-aduk perasaannya.

Ia mencari tempat peristirahatan sementara. Dayu memilih sebuah butik hotel yang asri di Jalan Supratman. Tak jauh dari tempat ia dulu menimba ilmu antropologi. Meski bukan hotel berbintang empat, bangunan bergaya modern minimalis ini cukup nyaman. Perlu waktu untuk mendapatkan sebuah kamar dengan single bad, karena biasanya di tiap akhir pekan hunian hotel dan penginapan di Bandung selalu penuh. Tanpa kecuali di Hotel Le Caribian ini.

Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya Dayu mendapat kunci magnetic card, kamar bernomor 55 berada di lantai tiga. Diantar seorang bell boy berseragam hijau toska yang mencoba membantunya menarik troley berisi pakaian, langkah Dayu gontai menyusuri koridor hotel sebelum naik ke lantai tiga. Setelah memberi tip kepada pemuda yang mengaku lulusan sekolah menengah perhotelan yang senantiasa menunjukkan sikap ramah itu, Dayu memasuki kamar dengan kelopak mata yang berat.
Keesokan paginya, Dayu tersadar, ia tergolek di atas matras dengan pakaian seperti saat menyopir. Artinya, ia tidak sempat berganti pakaian saat membaringkan badannya tadi malam. Barangkali kelelahan yang teramat sangat membuatnya terlelap begitu cepat.

Alarm reguler dari telepon seluler membangunkan Dayu dari tidur yang nyaris tanpa mimpi. Jam biologis sedikit terganggu, terutama setelah mengalami jetlag setibanya dari perjalanan lintas benua empat hari silam. Telepon dari ibunya tempo hari, memaksanya untuk segera berkemas meninggalkan aktivitasnya sebagai mahasiswa program doktoral di Inggris.

Nalurinya sebagai anak membawanya untuk segera kembali sementara ke tanah leluhur. Dayu harus meminta izin kepada para promotornya, dan petugas administrasi di fakultas pascasarjana, departemen antropologi budaya. Untunglah mereka bisa memahami situasi yang tengah dihadapi Dayu. Bahkan, tidak sedikit yang menunjukkan simpatinya, seraya menguatkan Dayu agar tabah menghadapi cobaan.

Tetapi, efeknya sangat memengaruhi jam biologisnya. Perbedaan waktu lebih dari 7 jam, mau tidak mau berdampak pada metabolisme hormonal. Lengkingan alarm menyadarkannya, bahwa ia harus bersiap menghadapi aktivitas hari baru.

Setelah mandi dan salat Subuh, Dayu sempat membuka agenda harian di ponselnya. Ada sejumlah kegiatan yang ia coba batalkan. Bahkan, hampir semua kegiatan yang telah teragenda dengan baik, terpaksa harus dihapusnya.

”Sekarang aku harus fokus memecahkan teka-teki surat ini,” ujarnya dalam hati. Digenggamnya surat yang sudah puluhan tahun tersimpan rapat di balik lembaran agenda tua itu. Makin dibaca berulang kali, Dayu makin penasaran. Ia mulai mereka-reka hubungan antara Bram Nataatmadja dengan Arimbi.

”Tante Arimbi,” bisiknya lirih, menyebut nama wanita yang diselimuti misteri.

Pagi ini, Dayu bertekad akan mulai menyusuri jejak langkah ayahnya hingga akhirnya puzzle Arimbi setahap demi setahap bisa terhimpun menjadi sebuah mozaik utuh. Tetapi, harus dari mana ia melangkah? Siapa yang akan dijadikan sebagai penunjuk jalan? Serta, berapa lama waktu yang diperlukan untuk memecahkan misteri terbesar dalam hidupnya?

Makin tenggelam dalam kubangan pertanyaan, makin rumit masalah yang ia hadapi. Dayu me&rasa tengah memasuki sebuah labirin besar yang tak jelas ujung pangkalnya. Ke mana ia harus masuk, di mana pula ia harus mencari jalan keluarnya. Tetapi, di dalam dadanya sudah terpatri tekad untuk menemukan keberadaan Arimbi. Apa pun risiko yang harus ditempuh.

Setelah menyantap sarapan paginya, sepiring nasi goreng tidak pedas kesukaannya, telur mata sapi setengah matang, dan tentu saja segelas teh hangat, Dayu berkemas menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti. Pakaian resminya tak lain adalah jins belel dipadu polo shirt putih. Kesan feminin terpancar kuat.

Sebelum turun ke lobi hotel, Dayu sudah menyusun rencana untuk hari itu. Dari ruang kerja ayahnya ia sengaja membawa beberapa buku dan catatan yang sekiranya diperlukan dalam memecahkan misteri ’Tante Arimbi’. Ada sejumlah nama, sahabat, mungkin kerabat almarhum ayahnya, yang boleh jadi akan menuntunnya menemukan wanita misterius itu. Nama dan alamat penting telah di-input ke dalam ponselnya. Syukurlah ia menggunakan provider telepon seluler yang menawarkan layanan GPS, sehingga memudahkannya melacak lokasi yang belum dikenalnya.

Terkadang ia terkagum-kagum pada terobosan dalam teknologi telekomunikasi dan media komunikasi massa saat ini. Betul kata pakar komunikasi yang mengisyaratkan masyarakat informasi sekarang menjadi sebuah desa global. Bahkan, internet yang dulu hanya jadi imajinasi futurolog, sekarang berubah menjadi tulang punggung informasi global yang nyaris tidak ada tandingannya. Hampir semua aktivitas Dayu tak terpisahkan dari teknologi cyber yang satu ini.

Termasuk tadi pagi, ia sudah surfing di dunia maya, mencari informasi termutakhir, mencoba kontak dengan sahabat-sahabat mayanya lewat facebook, atau sekadar mengecek e-mail yang masuk hari itu. Bahkan, ia sempat teleconference dengan promotornya di Inggris, sekadar berkonsultasi perbaikan disertasinya di beberapa bab.
Dididik di tengah kehangatan keluarga, namun dengan ketegasan sikap. Warisan inilah yang mengalir dalam darah Dayu. Ia tumbuh menjadi wanita yang mandiri, tidak lembek saat masalah menghadang. Termasuk, ketika sekarang harus menghadapi masalah terpelik dalam hidupnya.

Jalan Tikukur menjadi tujuan pertama. Butuh waktu hampir setengah jam menuju lokasi yang tertera dalam surat misterius itu. Sebenarnya kurang pas menyebutnya jalan, karena panjangnya tidak lebih dari seratus meter! Mungkin lebih cocok disebut gang, walaupun ruas Jalan Tikukur jauh lebih lebar dari gang.

Jalan dua arah ini berada di pinggir jalan protokol yang lalu lintasnya cukup padat. Tapi, saat memasuki kawasan Jalan Tikukur, suasananya tidak menunjukkan dekat sebuah jalan besar. Di kiri-kanan jalan berjejer rapi rumah berarsitektur kolonial. Cirinya terlihat dari atap yang tinggi, agar sirkulasi udara bisa lebih leluasa. Hanya satu-dua rumah yang terlihat sudah direnovasi dengan gaya arsitektur modern. Sayangnya, malah tampak asing dan tidak serasi dengan lingkungan sekitar.


Penulis: Hadi PM



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?