Fiction
Muka Sapi [3]

5 Mar 2014


<<<<<Kisah Sebelumnya

Kisah Sebelumnya:
Fay menderita vitiligo, kelainan pigmen kulit yang membuat mukanya belang-belang putih. Ia pun dijuluki si muka sapi. Rasa minder membuatnya terobsesi untuk menjadi yang terbaik dan membuatnya terlalu percaya diri. Pun ketika ia tidak lolos tes penerimaan karyawan sebuah perusahaan, ia menganggap penampilannya yang menjadi penyebab. Anggapan yang membuatnya tertampar ketika ia berhadapan dengan manajer HRD yang juga cacat.


Fayzah duduk di sudut bangku terjauh di halte itu. Ia diam menyendiri di antara serombongan ibu-ibu berpakaian seragam berwarna hijau dengan jilbab kuning menyala. Mereka mungkin ibu-ibu pengajian yang sedang menunggu angkot yang akan membawa mereka ke suatu tempat. Tempat ini tak lebih riuh dari pasar di depan sana. Mereka semua mengingatkannya pada sekelompok burung parkit di pasar burung.
    “Lha iya, Bu Prap. Apane aku ora ngenes karo si Ali iku. Di sekolahne duwur-duwur ben dadi pegawe. Njekethek malah dadi sopir.”
    Keluhan ibu itu meremas kembali hatinya yang masih sakit oleh kegagalan hari ini. Membayangkan hal yang sama akan terjadi pada dirinya. Jika kedua orang tuanya tahu kalau dirinya gagal mendapatkan pekerjaan itu, pasti mereka akan sedih sekali. Membiayai kuliahnya bukanlah urusan yang mudah bagi orang tuanya. Terutama karena bisnis keramik mereka tidaklah secemerlang sepuluh tahun yang lalu.
    “Sabar, Bu Yun. Biarkan dulu. Memang sekarang zaman sulit cari kerjaan.”
    Kata-kata itu tidak cukup menghiburnya.
    Lalu bersahut-sahutanlah obrolan antar ibu-ibu itu. Fayzah hanya mampu memandang nanar ke arah jalan. Ia tidak yakin ingin pulang siang itu. Belum pernah ia merasa segagal saat ini. Padahal, harapannya begitu tinggi. Ia ingin meninggalkan Dinoyo dengan kepala tegak dan penuh kebanggaan.
    Keriuhan baru terdengar lebih berisik lagi. Ia menoleh. Para ibu itu berdesakan sambil tertawa-tawa saat menaiki dua buah angkot.
    Rasanya ia enggan untuk beranjak dari duduknya. Tapi, melihat ibu-ibu itu sudah kepanasan di dalam sana, rasanya tidak adil jika ia membiarkan mereka seperti itu. Maka, ia melangkah pelan menuju angkot itu. Menyelipkan dirinya di antara timbunan lemak berwarna hijau yang membuat suhu di dalam angkot  terasa di depan oven tembikar.
    Dan mereka meneruskan obrolan khas ibu-ibu. Kali ini sudah ganti topik lagi. Yaitu mengenai kerudung jenis baru yang dipopulerkan oleh seorang artis yang sangat sensasional di Jakarta. Mereka saling mengomentari penampilan si artis dari berbagai sudut pandang. Ada yang kagum, ada yang melebih-lebihkan seakan sudah demikian akrab dengan si artis. Ada pula yang mengkritiknya sebagai pribadi yang lebay.
    Namun, dari sekian komentar, ada satu yang membuatnya merasa tersentak.
    “Halah, wong ayu diapak-apake ya pancet ayu. Nek dasare uelek diapak-apake ya pancet elek to, Bu….” seseorang menimpali sambil tertawa.
    Ya. Perempuan ini benar. Bagaimanapun penampilan seseorang bisa menyimpulkan semuanya. Cantik akan tetap cantik. Jelek akan tetap jelek. Dan belang di wajahnya itu…! Belang  ini telah membuatnya demikian menderita!

****
    Nyala api yang membara dari tungku pembakaran gerabah terasa panas menerpa wajahnya. Keringat mengucur deras di sepanjang dahi dan punggungnya saat harus memastikan keadaan api yang harus stabil. Panas yang tidak rata akan menghasilkan gerabah yang buruk pula.
    “Sudah malam, Fay. Mengapa kau tidak tidur?” suara Ayah terdengar lembut mengingatkannya untuk yang kesekian kali.
    Ia tidak menjawab. Ayah menarik napas dalam-dalam. Sudah tiga hari ini Fayzah berdiam diri. Sepertinya, seleksi awal penerimaan karyawan itu telah membuat anak gadisnya terpukul. Fayzah menjadi pendiam dan mudah marah.
    Satu-satunya kegiatan yang dilakukannya adalah membuatkan celengan dan cangkir dari gerabah yang kini tengah dibakarnya.
    “Kau sudah murung berhari-hari. Tukang pos yang biasa kau ganggu mengira kalau kau sudah tidak tinggal  di sini.”
    Ia tersenyum tanpa semangat. Ayah duduk di sampingnya.
    “Aku pasti sudah sangat menyebalkan selama ini,” gumamnya sesaat kemudian. Pandangannya tetap tertuju pada tungku yang menyala.
    Lelaki itu mengusap keringat di dahi dengan punggung tangannya.
    “Tidak. Kau tidak menyebalkan. Kau hanya terlalu bersemangat.”
    Ia teringat bagaimana Pak Warsito telah menelanjangi hatinya beberapa hari yang lalu. Dan apa yang dikatakannya semua adalah benar adanya. Saat ini, dirinya benar-benar kehilangan seluruh semangat oleh timbunan rasa malu dan penyesalan yang dalam.
    “Jadi, bagaimana dengan tesnya?” Ayah menanyakan sesuatu yang benar-benar membuatnya hancur.
    “Ayah pasti kecewa karena aku tidak diterima,” jawabnya pelan.
    Ayahnya tertawa kecil.
    “Jadi itu yang membuatmu galau?”
    “Saya hanya menyadari kalau… kalau tidak ada tempat bagi saya di luar sana,” suaranya gemetaran. Baru sekali ini ia merasa begitu tak berdaya.
    “Terdengar bukan seperti Fayzah, ya?” Ayah tertawa kecil.
    Dulu, ia akan langsung menyala oleh sulutan sindiran seperti itu. Tapi sekarang, ia justru merasa malu dengan dirinya yang lama.
    Pundaknya ditepuk sejenak.
    “Gagal sekali bukan berarti kamu tidak mendapatkan tempat di luar sana, Fay. Pasti ada kesempatan yang lainnya. Hanya waktunya saja belum tepat.”
    Fayzah menarik napas dalam-dalam. Ayahnya memang selalu begitu. Tenang.
    “Lagi pula, selalu ada peluang di dunia selebar ini. Masih banyak yang bisa kaulakukan selagi menunggu saat itu tiba. Membuat gerabah misalnya.”
    Fayzah ingin mengatakan sesuatu, tapi ditelannya kembali. Ayahnya memang seorang perajin gerabah biasa. Belasan tahun yang lalu industri itu memang berkibar ketika tren suvenir perkawinan ramai dipesan. Semua orang mengantre produk keramik Dinoyo selama berbulan-bulan sebelum hari H tiba. Fayzah ingat, ia sering membantu kedua orang tuanya untuk membuat suvenir mini, seperti vas, pigura, kotak perhiasan, dan sebagainya. Mereka harus mendatangkan banyak bahan, dan mengupah beberapa tetangga untuk membantu usahanya.
    Tapi, tren berubah lagi. Suvenir perkawinan bergeser ke Yogya yang sudah lama menjadi pusat kerajinan. Kipas, dompet, pensil hias, wayang, dan sebagainya bisa didapat dengan harga murah, dengan sedikit risiko pecah. Saat ini bahkan sudah tidak ada yang memesan kepada mereka.
Sehari-hari Ayah kini hanya mengandalkan penjualan dari turis yang mampir ke galeri kecil mereka. Proses produksi yang dulunya bisa berlangsung nonstop, sekarang jauh berkurang. Bahkan untuk membakar gerabah, Ayah harus berkongsi dengan para perajin lainnya agar tidak merugi di biaya produksi. Sudah bisa dibayangkan seperti apa pemasukan mereka. Jika ibunya tidak ikut membantu usaha ayahnya dengan menerima pesanan kue, pasti keluarga mereka akan menderita kesulitan keuangan yang parah.
    Sekarang  ia bahkan menambah kesulitan baru karena gagal mendapat pekerjaan.
    “Saya masuk ke dalam dulu, Yah,“ itu saja yang dikatakannya dengan lesu. Ia takut akan menangis jika berada di sana terlalu lama karena merasa bersalah.

                        ****
    Di ruang tengah, ibunya tengah memijiti kepala Uli. Dari wajahnya yang sembap berkeringat, Fayzah tahu kalau Uli sedang tidak sehat. Anak itu sudah dititipkan kepada mereka sejak bayi karena orang tuanya sedang bekerja di luar negeri. Ela dan suaminya memutuskan menjaring dolar dengan bekerja di sebuah kapal pesiar milik sebuah perusahaan Singapura. Keputusan nekat itu diambil setelah mereka gagal mendapatkan pekerjaan dengan gaji mencukupi di sini.
    Sesekali anak itu merengek karena tubuhnya tidak nyaman. Ibunya menatapnya.
    “Sudah dibawa ke puskesmas, Bu?” tanyanya.
    “Sudah. Tapi obatnya belum bereaksi banyak. Panasnya masih naik turun.” Ibunya meletakkan selembar waslap basah yang dijadikan kompres pada dahi anak itu.
    Fayzah menarik napas. Kemarin Uli berkeras pergi mengaji di saat hujan sedang deras. Ia lebih mencemaskan tes hafalan surat pendeknya dibandingkan sakit yang harus dideritanya seperti sekarang.
    “Fay….”
    “Ya, Bu?”
    “Kau bisa bantu Ibu?”
    Fayzah mengangguk.  Ia tidak bisa mengatakan ‘tidak’ untuk apa pun saat ini.
    “Tolong hiaskan kue ulang tahun pesanan Bu Marjono. Ibu telanjur menerima uang mukanya.”
    Bu Marjono adalah teman pengajian ibunya.
    “Siapa yang ulang tahun, Bu?”
    “Cucunya. Namanya Sabrina, dia seumuran dengan Uli.”
    Sekali lagi ia menatap Uli yang kembali merengek. Kali ini minta dipijiti, mungkin badannya sakit semua. Diam-diam Fay merasa bersalah karena telah marah-marah kepada anak itu kemarin. Dipikir-pikir apa gunanya juga dia bersitegang, toh, pada akhirnya dipenuhinya juga permintaannya membuat celengan dan cangkir itu.
    Fayzah beranjak ke dapur untuk melaksanakan pesan ibunya.
    Tiga buah cake tampak sedang diangin-anginkan. Dua cake beraroma vanilla, dan sebuah cake lainnya berwarna cokelat. Dari teksturnya yang sangat lembut ia tahu kalau ketiganya adalah bakal cake lapis Surabaya yang klasik itu. Ibunya tidak membuat cake sejenis red velvet atau ombre yang sedang tren sekarang.
    Di atas meja semuanya sudah tersedia. Semangkuk crème untuk dekorasinya sudah terkocok lembut. Kantong plastik segitiga, spatula, tiga buah spuit, serta beberapa botol pewarna makanan tampak belum dibuka segelnya.
    Fayzah hanya membantu ibunya selama ini. Ia jarang menghias kue atau membuatnya sendiri, sekalipun ia bisa. Sejak dulu dirinya memang sengaja tidak ingin terlalu terlibat dalam urusan itu, karena bukan menjadi target masa depannya. Ia tidak ingin  berakhir di Dinoyo, sebuah kota kecil di Malang, di antara gerabah ayahnya atau kue-kue ibunya.
     Masa depannya berada di luar sana. Di lantai kesekian dari gedung-gedung bertingkat yang megah. Dengan kesibukan luar biasa khas metropolis. Membayangkan denyut dunia kerja yang seperti itu saja sudah membuat jantungnya berdenyar-denyar oleh rasa gairah yang hebat. Seharusnya… ia tidak berbuat seceroboh itu dengan menghancurkan tesnya!
    Semua itu berawal dari wajahnya. Wajahnya yang belang-belang seperti sapi perah itu. Wajahnya yang selalu membuat orang mengira dirinya peminta derma.  Wajah yang patut dikasihani. Hanya sebuah keajaiban yang mampu menghapus motif sapi dari wajah dan seluruh tubuhnya itu.
    Sayangnya juga, ia tergolong segelintir orang yang tidak percaya pada keajaiban. Menurutnya, keajaiban hanya terjadi di dalam dongeng pengantar tidur untuk membodohi  anak-anak saja.
                    ****

    Fayzah membuka pintu galeri kecil ayahnya. Ia melihat Ayah sedang duduk dengan seorang lelaki berpakaian hitam-hitam, dengan rambut panjang yang dikucir dengan seutas karet gelang yang duduk membelakanginya. Mirip para tukang sulap di teve.
    “Nah, itu anak saya. Fay! Ke sini, Ndhuk!” Ayah menggapainya begitu melihatnya datang menghampiri mereka.
    Sebenarnya Fayzah tidak senang dipanggil ‘Ndhuk’ karena menurutnya kedengaran terlalu kekanakan.
    “Ini Pak Untoro,” ia diperkenalkan kepada lelaki yang mungkin hanya selisih beberapa tahun darinya itu.
    Fayzah mengangguk. Di atas meja ia melihat dua buah cangkir bermotif  sapi. Cangkir-cangkir itu adalah sisa dari kerajinan tangan Uli minggu lalu. Terpaksa ia membuat cukup banyak untuk memaksimalkan oven. Muka para sapi itu tidak ada yang sama.  Semua dibuat asal saja untuk memenuhi keinginan anak itu.
    “Pak Untoro tertarik pada cangkir ini. Monggo, Pak, silakan bicara langsung dengan anak saya,” Ayah menunjuk salah satu cangkir itu.
    Pak Untoro membetulkan letak kacamatanya. Ia lalu memperkenalkan dirinya sebagai seorang pemilik peternakan sapi di daerah Pujon, daerah pegunungan di Malang. Saat ini ia tengah mengembangkan sebuah eduwisata bagi masyarakat, khususnya anak-anak, untuk memperkenalkan suasana dan kegiatan di peternakan sapi. Ia memerlukan berbagai suvenir untuk mendorong promosi bisnisnya itu.
    “Jadi, saya berharap bisa bekerja sama dengan Mbak Fayzah. Sebab saya lihat cangkirnya unik,” katanya.
    Fayzah terenyak. Membuat cangkir… lagi? Untuk seorang sarjana akuntansi dengan nilai sempurna seperti dirinya?
    “Bukan hanya cangkir, Mbak. Bisa  gantungan kunci, patung, piring… apa saja yang berbau sapi.” Pak Untoro tersenyum lebar menunjukkan giginya yang rapi.
    Sapi, sapi, sapi! Ia selalu tersinggung jika seseorang mengucapkan kata ‘sapi’.
    Ditariknya napas dalam-dalam untuk meredakan rasa sakit itu. Sungguh sial, pikirnya resah, teringat akan kegagalannya meraih mimpi di perusahaan telekomunikasi itu. Malah sekarang ia diminta membuatkan barang yang identik dengan wajahnya lagi.
    Fayzah melihat Ayah sangat berharap padanya. Jelas sekali terpancar dari kedua matanya yang berbinar-binar. Tentu saja, pikirnya gundah. Sudah  sekian lama tidak ada order semenarik itu. Bisa menjual sebuah gerabah dalam seminggu saja sudah baik.
    “Mengapa Bapak tidak mencari suvenir dari plastik atau apa saja yang lebih tidak berisiko pecah, dan tentu saja lebih modern?” tanyanya ragu.
    Pak Untoro tertawa kecil.
    “Secara ekonomis memang lebih menguntungkan begitu. Tapi saya pikir, keramik juga bagus dan lebih ramah lingkungan. Itu adalah salah satu materi yang akan kami ajarkan kepada anak-anak kelak.”
    Isu lingkungan memang sedang tren saat ini. Dan jelas lelaki itu tidak ingin ketinggalan untuk mengambil kesempatan mengampanyekan go green ini.
    “Saya bisa membuatkan surat perjanjiannya nanti. Tapi, ini…,” Pak Untoro meletakkan sebuah amplop tebal di atas meja, ”saya kira cukup sebagai tahap awal perjanjian kita.”
    Ayah menarik napas dalam-dalam. Ia pasti shock melihat uang sebanyak itu.
    “Tapi, Pak Untoro… bagaimana bisa Bapak memercayai kami sebelum ada kontraknya?” Fayzah merasa tidak nyaman. Antara kasihan melihat kebahagiaan ayahnya, serta keengganan hatinya menerima  order itu.
    Pak Untoro tersenyum.
    “Saya tidak terlalu menyukai sesuatu yang formal dan lebih percaya pada intuisi saya, Mbak. Saya yakin, usaha saya akan berkembang dengan bantuan Mbak Fayzah dan Pak Asruri.” Kata-katanya seperti sebuah sugesti positif yang membuat Ayah begitu terkesima.
    Ia terdiam seketika. Pak Untoro bangkit dari kursinya untuk berpamitan. Ayahnya tergopoh-gopoh mengantarnya ke pintu depan. Fayzah mengikutinya dengan langkah pelan.
    “Saya berharap sudah bisa mendapat contoh pertama minggu depan, Mbak,” ujarnya, sebelum memasuki sebuah jip mewah keluaran Amerika.
    Sebuah sikutan mengenai rusuknya. Fayzah mengangguk. Pak Untoro tersenyum.
    “Kalau begitu saya tunggu. Seminggu waktu yang cukup, tak perlu tergesa-gesa. Saya hanya butuh beberapa contoh yang bagus dulu,” katanya.
    Kembali Fayzah mengangguk. Mereka masih berdiri beberapa saat sampai mobil mewah itu lenyap dari pandangan. Ketika kembali ke dalam galeri, ibunya sedang menghitung uang di dalam amplop itu! Hatinya berdesir. Sudah lama sekali mereka tidak menerima uang sebanyak itu.
    “Ini serius, Pak? Cuma urusan cangkir saja kita sudah dapat seperti ini?” dengan mata terbelalak ibunya menggenggam lembaran berwarna merah yang sudah dihitungnya.
    Ayah menarik napas. Ditepuknya pundaknya.
    “Sudah, jangan berpikir yang macam-macam lagi. Kita harus mulai bekerja.”
    Fayzah melengak.
    “Tapi, Pak… saya…,” ditelannya kembali kata-katanya.
    “Ayo, Fay! Ini kesempatan yang tidak akan terulang lagi!” Ibunya langsung menarik tangannya.(f)


**************
Shanty Dwiana Filmira




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?