Trending Topic
Minimal Hidup Layak

3 Jul 2013

Ipsos melakukan survei global happiness ini sejak 5 tahun lalu. Tepatnya, survei pertama dilakukan pada tahun 2007, ketika belum terjadi krisis yang sempat menggerus perekonomian di Amerika Serikat dan Eropa. Dan, jika dibandingkan dengan 5 tahun lalu, secara keseluruhan, 19.000 responden yang tercakup dalam survei ini mengaku lebih bahagia. Dari 20% pada 2005 menjadi 22% pada November 2011. Kesimpulannya, meski ekonomi sedang muram, dunia ini adalah tempat yang lebih membahagiakan daripada sebelum krisis ekonomi terjadi.
   
Indonesia berada di urutan pertama dari 23 negara lainnya. Siapa yang tak tercengang? Padahal, mengingat ‘prestasi’ pembangunan negeri ini yang belum seberapa, melihat carut-marut politik, tingginya inflasi, korupsi yang pelakunya makin tak tahu malu, bahkan kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta yang kian menjadi, semua itu (rasanya) bisa membuat warganya stres.

Budhy Munawar-Rachman, dosen Filsafat Islam dari Universitas Paramadina, Jakarta, mengaku cukup terkejut dengan temuan itu. “Mengherankan, ya. Yang saya tahu dari studi sebelumnya, negara yang bahagia adalah negara-negara di kawasan Skandinavia, karena dinilai sebagai negara paling aman sedunia dan dengan sistem social welfare-nya yang menjamin hidup warga negaranya.  Mereka adalah orang-orang yang menikmati hidup,” tutur Budhy.
   
Wajar memang kalau kita seperti melihat ada yang tidak ‘beres’ di sini. Karena, selama ini yang dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan manusia adalah human development index (HDI) yang disusun oleh UNDP (United Nations Development Programme). Human Development Report tahun 2012 menunjukkan, HDI tertinggi di dunia dipegang oleh Norwegia, dengan nilai 0,955.  Indonesia jauh berada di bawah, yaitu di peringkat ke-121 dari 187 negara, dengan angka 0,629. Bahkan, index Indonesia lebih rendah dari Palestina yang berada di peringkat 210. Memang, antara tahun 1980 sampai 2012, HDI Indonesia meningkat 1,3% per tahun, dari 0,422 ke 0,629. Namun, angka ini ternyata di bawah rata-rata regional, karena HDI wilayah Asia Timur dan Pasifik meningkat dari 0,432 ke 0,683.
   
Secara umum, HDI adalah cara menilai standar kelayakan kehidupan dengan menggunakan tiga indikator sebagai tolok ukur, yakni pendapatan per kapita, pendidikan, dan kesehatan. “Pendapatan per kapita Indonesia saat ini yang mencapai 4.154 dolar AS (sekitar Rp39 juta) sudah membawa Indonesia berada di level tengah. Sayangnya, pendidikan dan kesehatan Indonesia masih rendah,” jelas Radi Negara, peneliti dari Semeru Research Institute. Karena dua indikator –pendidikan dan kesehatan- masih rendah, bisa disimpulkan bahwa standar kelayakan hidup masih belum tercapai.
   
Menurut Radi, pertumbuhan ekonomi yang baik memang berperan besar dalam pemenuhan standar kelayakan hidup. “Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan pajak meningkat, pendapatan pemerintah pun meningkat. Sehingga, alokasi APBN untuk public expenditure juga bisa naik,” katanya.
   
Demikian juga di lingkup mikro. Radi setuju, pertumbuhan ekonomi merupakan titik awal seseorang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, sehingga bisa memenuhi kesejahteraan keluarganya. “Akan muncul kepuasan dan kebahagiaan ketika seseorang bisa memenuhi tanggung jawab itu dan berkesempatan untuk terus meningkatkan kesejahteraan keluarganya,” paparnya.
   
Fakta lain tentang happiness ini ditemukan oleh Ronald Inglehart, peneliti dari Department of Political Science, University of Michigan, yang menekuni studi mengenai tingkat kebahagiaan. Inglehart menyatakan, ada 3 hal yang sangat berpengaruh terhadap terciptanya kebahagiaan, yaitu pertumbuhan ekonomi, demokrasi, dan toleransi sosial dalam bermasyarakat. Mengapa? Karena, ketiga hal inilah yang membentuk sebuah masyarakat bisa memiliki pilihan bebas. Menurut Inglehart, rasa bahagia itu diperoleh seseorang ketika ia bebas untuk menentukan pilihan apa pun dalam hidupnya.

Dalam makalah yang berjudul Development, Freedom, and Rising Happiness yang dipublikasikan di Perspective on Psychological Science, Inglehart bersama rekan-rekannya, Inglehart mengatakan bahwa ternyata agama berpotensi bisa membuat orang merasa bahagia. Karena, agama memberikan kemampuan ‘melihat’ adanya harapan di masa depan dan memberikan rasa aman, terlebih dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Tetapi, Inglehart juga mensyaratkan bahwa happiness itu juga disebabkan oleh sebuah masyarakat yang toleran, dalam hal apa pun: agama, gender, orientasi seksual yang berbeda, juga ideologi yang berbeda. “Jadi, bukan hanya menjadi orang toleran yang bisa membuat seseorang bahagia, melainkan dia juga harus hidup dalam sebuah masyarakat yang toleran,” tulis Inglehart. Lalu, apakah di Indonesia sudah seperti itu?   



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?