Fiction
Mimpi Retak [1]

17 May 2012

ORIEN
Sebuah hari yang dingin.
Aku berada pada sebuah ruangan yang dingin. Sangat dingin. Barangkali serasa berada dalam sebuah rumah salju, sebuah perum­pamaan tentang dingin, yang dimetaformosakan seorang teman menjadi sebuah puisi.

Tubuhku mendingin. Barangkali darah mulai membeku, sehingga alirannya terhenti di sekujur tubuh, yang artinya membekukan juga semua gerakku. Ya, jari-jemari serta segala sendi tubuhku mulai terasa kaku, kehilangan segala kelenturannya. Padahal, biasanya aku begitu sigap, lincah bergerak ke sana kemari.

”Berhentilah meski sejenak,” begitu seseorang mengeluh, ketika aku senantiasa sibuk mengerjakan ini itu.

”Dan biarkan aku memelukmu sebentar saja,” katanya, sembari meraihku dengan kedua lengannya.
Oh, tentu saja, itu tawaran yang tidak pernah kulewatkan sepanjang hidupku. Bahkan, aku bersedia menukarnya dengan apa pun juga yang kupunya. Dan, hanya sebentar? Tentu tidak. Aku mau yang lama, selama-lamanya berada dalam rengkuh pelukan itu.

Tapi, ternyata pelukan itu tetap tidak mampu menghentikan kelincahanku. Jemariku tak henti bergerak melakukan sesuatu. Menyusuri bidang punggungnya, tonjolan lekuk bahu, lengkung garis alis, kelopak bibir, dan dataran rahangnya. Ah, sesekali ada sisa cambang yang tak tercukur di situ, menusuk tajam kelembutan jemariku. Tapi, aku suka sensasi tusukan itu. Tajam tanpa menggores, mengalirkan sebuah getaran yang khas. Menyadarkanku bahwa dia begitu dekat, bahkan tak berjarak dalam pelukan. Kulitnya terasa hangat mendekapku. Embus napasnya juga, lembut menyentuh, serupa asap tipis membalutku. Aku tak ingin melepaskan segala kehangatan itu dari genggamanku.

Tapi, sekarang? Mengapa sedemikian dingin? Membekukan segala gerakku. Menghentikan segala aliran nadi kelincahanku. Pasti seseorang telah gegabah mengatur suhu pendingin, sehingga mengakibatkan dingin sedemikian rupa. Pasti dia adalah seseorang yang tidak berada di dalam ruangan ini, sehingga tidak dirasakannya segala dingin yang tercipta, karena ulahnya yang gegabah itu. Tidak ada seorang pun yang ikut merasakan kedinginanku. Aku sendirian dalam kebekuan ini, bahkan selirih suara pun tak ada. Sunyi dan kosong belaka.
Di manakah aku?

MAY
Sebuah petang yang remang .
Aku berada pada sebuah sore yang bergerak perlahan ke arah senja. Langit berbias warna jingga, dengan semburat cahaya matahari yang mulai meredup. Ada angin yang bergerak perlahan, meng­­alirkan udara halus yang menyentuh segala sesuatu.

Ketika menyentuh daun, memunculkan suara gemerisik yang lembut. Seumpama bisikan seseorang yang membangunkanku di pagi hari. Ketika menyentuh tubuh, begitu ringan gerak angin itu, seumpama embusan napas seseorang yang mengalir di relung telingaku. 

Aku selalu suka sentuhan dari embusan napas seseorang itu. Menandakan bahwa dia begitu dekat, tak berjarak. Sering kali kulekatkan telinga pada dataran dada penutup bilik jantungnya, mencari deburan jantungnya yang berdetak. Kadang-kadang tertangkap deburan itu, kadang-kadang tiada. Padahal, dia tidak berhenti bernapas. Jadi, ke mana perginya deburan jantung yang hilang sesekali itu?

Atau, adakah seseorang yang lain, menangkap deburan itu pada bilik jantung yang lain? Siapakah? Tidakkah seharusnya dia milikku seorang? Apakah ada seseorang lain yang berada di balik punggungnya?

Aku mempunyai kemampuan ’melihat’ sesuatu atau seseorang, yang tak terlihat oleh orang lain. Tuhan memberiku karunia itu. Ta­pi, dengan kebijaksanaan Tuhan pula, aku tak mampu ’melihat’ se­suatu yang ingin kutahu, ketika perasaanku terlibat di dalamnya. Ironiskah? Tidak. Lebih tepat dikatakan sebagai keterbatasan.

Aroma teh hijau merebak. Wanginya yang khas melayang sesaat di udara, lalu hinggap pada indera penciuman. Seseorang menghidangkan secangkir teh hangat untukku. Kepulan asapnya yang tipis menggodaku untuk segera menghirupnya.

”Teh yang secangkir ini milikku?” tanyaku, meyakinkan.

Sebuah pertanyaan yang aneh. Tentu saja, teh itu, lengkap de­ngan cangkir dan bahkan nampannya, adalah milikku. Sungguh-sungguh milikku, dengan bukti yang otentik. Seharusnya, tidak diperlukan sebuah uji coba apa pun untuk mengesahkannya. Tapi, toh, aku menunggu sebuah jawaban yang meyakinkan. Dan ketika sebuah anggukan muncul sebagai penumpas keraguan, dengan segera kuhirup secangkir teh hijau hangat itu. Habis tuntas dalam sekali tegukan, sehingga tak terbuka peluang bagi siapa pun untuk ikut serta berbagi teh itu. Meski setetes sekalipun.

Aku tak ingin kehilangan tehku setetes pun, seperti aku sesekali kehilangan debur jantung seseorang itu.
Kuletakkan cangkir kosongku dengan lega, lalu melangkah ke ruang tamu. Beberapa tamu telah menungguku. Ada klien lama, ada klien baru. Semuanya memerlukan kehadiranku. Aku tak akan menghilang dari mereka, seperti sebuah deburan jantung yang se­sekali menghilang dariku.

Sore telah sampai pada senja, cahaya samar matahari menghadirkan langit petang dengan cahaya yang meremang.


                                                                               cerita selanjutnya >>


Penulis : Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?