Fiction
Mimpi Bayang [8]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Frangi telah selesai berbenah. Travel bag di atas meja telah rapi menyimpan semua barangnya selama ia terbaring koma. Hari ini dia akan meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah.

“Jati, ada yang ingin sekali kukatakan. Duduklah.” Frangi me­ne­puk sofa, memberi isyarat agar Jati duduk di sampingnya.

Sesaat Jati terdiam. Ia tak tahu apa yang ingin dikatakan oleh Frangi. Namun, tanpa banyak bertanya, ia duduk di samping gadis itu. Lembut tangannya meraih jemari Frangi, menggenggamnya erat, seolah ingin mengalirkan kekuatan pada gadisnya yang sedang lemah.

“Aku senang sekali melihat kau sembuh,” kata Jati, sambil menatap Frangi dalam-dalam. Matanya menyorotkan cinta yang besar.

Frangi mengangguk. “Aku juga senang sekali. Terima kasih untuk kesetiaan dan kesabaranmu selama mendampingi aku di sini.”

“Sudah sepantasnya kulakukan hal itu. Apa pun akan kutempuh, asal kau kembali ke pelukanku.”

Frangi tersenyum. Ia bisa melihat cinta yang tulus di mata Jati. Dan, ia juga merasakan cinta sebesar itu terhadap Jati. “Kau tahu apa yang kualami selama aku terbaring tak berdaya?”

Jati menggedikkan bahu. “Kau tertidur.”

Frangi menggeleng. “Bukan. Aku mengalami mimpi bayang.”

Jati mengernyit. “Apa itu?”

“Serupa dengan mimpi. Mengalami sesuatu dalam tidur, melihat berbagai peristiwa, dan bertemu dengan orang-orang yang melintas seperti bayangan.”

“Lalu, apa yang kau lihat dalam mimpi bayangmu itu?”

“Kita. Aku, kau, dan Jasmine.”

Jati tertegun, lalu tertunduk, menyimpan rasa bersalah. Ia meng­genggam jemari Frangi dengan lebih erat, lalu mengelusnya dengan lembut. “Maaf. Aku tak pernah menyangka bahwa apa yang kulakukan telah melukaimu begitu dalam, hingga terbawa dalam mimpimu.”

“Tidak. Bukan itu!” sergah Frangi. “Sebaliknya, aku justru mel­ihat diri kita secara nyata, hingga membawaku pada sebuah kesadaran. Sesuatu yang tidak kuketahui dan kupahami selama ini.”

Jati mendesah. “Apa maksudmu?”

Frangi menarik napas panjang, sesaat mengatur kalimatnya. Ia balas menggenggam jemari Jati, yang mengalirkan kehangatan. “Aku telah melihat diriku sendiri. Tepatnya, aku melihat sendiri apa yang telah kulakukan padamu selama ini. Ternyata, selama ini aku begitu egois dan mendominasimu sedemikian rupa. Sehingga, aku tak heran jika kau lebih suka bercerita pada Jasmine.”

“Tidak Frangi. Tidak begitu,” bantah Jati, pelan.

“Penglihatan itu telah membawaku pada sebuah kesadaran bahwa aku bukanlah wanita yang tepat untukmu. Aku merasa bahwa Jasmine adalah belahan jiwamu yang sesungguhnya,” lan­jut Frangi, dengan bibir bergetar.

“Hentikan ucapanmu!” potong Jati. “Sudah kuputuskan bah­wa tidak akan ada lagi Jasmine di antara kita. Aku bersedia mele­paskan persahabatanku dengan Jasmine demi melihatmu bahagia. Itulah yang akan kukatakan malam itu, ketika aku memberikan sebentuk pigura yang cantik.”

“Tapi, aku telah membuat keputusan yang sebaliknya,” kata Frangi, sambil tetap memandang Jati.

Jati berusaha mengendalikan diri agar emosinya tidak me­lu­ap. “Jadi bagaimana? Aku telah berjanji bahwa kita tidak akan bertengkar lagi. Aku mencintaimu. Karena itu, aku akan melakukan apa pun agar kau kembali padaku.”

“Kita memang tidak akan bertengkar lagi. Itu jika sekarang kau mau mendengarkan aku dengan seksama.”

“Aku sudah mendengar apa yang kau katakan. Tapi, aku tidak setuju.”

“Itu baru permulaan. Aku belum selesai bicara.”

Jati mengembuskan napas. “Oke, lanjutkanlah.”

“Tapi, jangan memotong ucapanku sebelum aku selesai bicara, ya,” kata Frangi, sambil mengedip.

Jati tersenyum, lalu mengangguk, tanda setuju.

“Jangan membantah juga!” lanjut Frangi.

Jati kembali mengangguk. “Ya.”

Frangi terenyak. Secara mendadak ia seolah melihat kembali dirinya sendiri dalam mimpi bayang yang dialaminya.

“Ah, aku memang selalu cenderung melakukan tindakan yang represif, ya?” tanyanya, menyadari diri sendiri.
Jati tersenyum kecil. “Yah… begitulah.”

“Maaf, ya.” Frangi menyimpan senyum malu. “Tapi, yakinlah, ini satu hal yang akan kuperbaiki dengan sungguh-sungguh.”

Mata Jati berbinar. “Benarkah?”

Frangi mengangguk. “Kembali pada soal Jasmine. Sudah ku­katakan bahwa dialah belahan jiwamu. Karena, kepada Jasminelah kau bisa menumpahkan segala bebanmu. Jasmine mampu me­lihat semua persoalanmu dengan jernih. Bersamanya, kau mengurai ma­salah hingga menemukan solusinya. Suatu hal yang tidak pernah kita lakukan. Bersamaku, yang kau temukan adalah be­ban-beban baru, dan pertengkaran demi pertengkaran.”

“Frangi, telah kujanjikan satu hal, kita tidak akan pernah ber­tengkar lagi setelah ini,” bantah Jati.

“Kau akan menuruti apa pun yang kukatakan? Kau akan me­ngi­kuti semua keinginanku?” tantang Frangi.

“Ya,“ Jati mengangguk cepat, tanpa berpikir lagi.

“Menjadi apa pun seperti yang kuinginkan?”

Jati mengangguk lagi.

“Itu bagian dari janjimu selama aku koma?”

“Ya, aku sudah berjanji dan aku akan menepatinya,” kata Jati, yakin.

Mata Frangi menatap tajam, bagai menembus jauh ke dalam benak Jati.

“Lalu, siapakah kau ini?” tanyanya kemudian. “Robot ber­wujud manusia sempurna atau pria tanpa karakter?”

“Aku… aku hanya ingin membuatmu bahagia,” kata Jati, pelan.

“Apakah kau pikir aku akan bahagia dengan sikap pura-pura itu? Apakah kau yakin aku bisa mencintai pria dengan karakter seperti itu?”

Sesaat Jati tercenung, lalu menggeleng. “Tidak.”

“Itulah. Dalam suatu komitmen, yang kita perlukan adalah kerja sama yang seimbang. Bukan kekalahan atau kemenangan atau manipulasi sikap demi menyenangkan pasangan.”

“Aku hanya tidak ingin musibah ini terulang kembali. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dirimu.”

“Tapi, dengan pilihan sikap itu, kita justru akan kehilangan dirimu yang sesungguhnya. Aku tak mau kehilangan dirimu yang seutuhnya.”

Jati terdiam, kehilangan kata-kata.

Frangi menghela napas. “Lihatlah, aku menimbulkan pe­ngaruh buruk pada dirimu. Dan, aku tidak ingin itu terjadi ter­­us-me­nerus.”

“Tidak, Frangi, bukan begitu.”

“Sebaliknya, lihatlah talenta Jasmine. Dia mampu me­munculkan banyak hal positif tentang dirimu, juga membuatmu menemukan sisi positif orang lain. Talenta yang tak ada padaku.”

“Itu perlu proses. Kita bisa sama-sama belajar.”

Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?