Fiction
Mimpi Bayang [5]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

“Aku…,” Frangi nyaris menangis.

“Hanya bermodal bola dan kalung, Tom Hanks dalam Cast Away bisa melakukan banyak hal di pulau terpencil. Mengapa kita tidak?” seru Bambu bersemangat. “Ada banyak hal menarik di Pringsewu, yang bahkan akan membuatmu kekurangan waktu. Jadi, ayo bersiap. Mandilah segera. Akan kupesankan sarapan,” Bambu mendorong Frangi ke kamar mandi.

Usai merapikan diri, Frangi menemukan sarapannya sudah terhidang di atas meja. Sepiring nasi goreng, segelas jus wortel, dan beberapa kuntum anyelir merah magenta. Frangi tertegun.

“Aku tidak tahu apa yang kau suka sebagai sarapan. Jadi, kupesan sesuai seleraku. Tapi, kalau kau tidak suka, ada pilihan lain,” kata Bambu.

“Bukan itu,” Frangi menggeleng. “Aku suka pilihanmu. Terima kasih. Hanya, bunga itu….”

“Anyelir merah magenta. Kenapa?”

“Mengapa aku seperti pernah melihatnya?”

“Tentu saja. Itu bunga potong biasa. Ada di toko bunga mana pun.”

“Mengapa aku merasa aneh saat melihat bunga itu?”

Tawa Bambu terhenti. Ditatapnya gadis itu.

“Semalam aku mengalami semacam halusinasi,” lanjut Frangi. “Aku bertemu dua orang, pasangan muda, kami duduk semeja, tapi ternyata mereka tidak melihatku. Bahkan, mereka ternyata tidak ada. Kata petugas kasir, aku duduk sendirian dan hanya aku tamu mereka malam itu.”

“Siapa mereka?”

Frangi mengangkat bahu.

“Kau merasa pernah melihat mereka?”

“Entahlah,” Frangi menggeleng muram. “Seharusnya, aku mengenal mereka, karena aku tahu bahwa pria itu memiliki tahi lalat di ujung mata, bahkan sebelum aku melihatnya.”

“Berarti, kau memang mengenalnya. Apa yang mereka bicarakan?”

“Sepertinya, tentang sesuatu yang pernah kulakukan. Semacam perasaan marah. Pria itu mengalami kemarahan serupa. Mungkinkah kami terlibat dalam kemarahan yang sama?”

Bambu mengangguk. “Seperti permainan puzzle, kau mulai menemukan kepingannya satu per satu.”

“Tapi, ingatanku samar, serba tidak jelas.”

“Segala sesuatu ada tahapannya, anggap saja ini tahap permulaan.” Bambu tersenyum. Tatap matanya yang teduh, menyiratkan percaya diri yang tangguh. Seakan menjanjikan bahwa segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

“Sekarang, makanlah dulu. Sesudah itu, kita pergi. Siapa tahu di luar sana akan kita temukan kepingan puzzle yang lain. Jangan pernah kehilangan harapan dalam kondisi apa pun juga. Untuk yang satu itu, persediaanku tidak pernah habis.”

Frangi tertawa. Bambu benar. Ada semacam semangat yang tumbuh, semacam keyakinan bahwa akan segera ditemukannya jawaban dari deretan pertanyaan yang ada dalam benaknya. Lalu, Frangi segera menyantap sarapannya. Dia memerlukan sarapan sebagai energi untuk menemukan jawaban itu. Dan, nasi goreng dan jus wortel itu tandas dalam sekejap.

Jati merapikan kotak bekal di sudut meja. Di dalamnya, nasi goreng dan jus wortel itu masih utuh, tak tersentuh. Dihelanya napas panjang, lalu dihampirinya gadisnya. Perlahan, diusapkannya lotion pelembab di seputar wajah gadis itu. Selama ini pipi gadis itu selalu ranum, mengilap sehat. Jadi, harus dirawatnya baik-baik keranuman itu. Sehingga, kala gadisnya terbangun nanti, akan ditemukannya keranuman itu, seperti hari-hari sebelumnya.

“Jasmine datang,” katanya, lalu ditunggunya reaksi gadis itu. Gadisnya tetap tertidur tenang.

“Mengapa kau tidak menyukai Jasmine? Kau tahu, dia adalah pendengar yang baik, lebih mirip kotak penyimpan yang tidak pernah penuh. Dia mendengar semua cerita, dia tahu apa pun tentangmu, juga pertengkaran kita,” Jati terbata, terhenti sesaat.

“Maaf, bukan maksudku membuka rahasia kita,” lanjut Jati, sembari terus mengoleskan pelembab di lengan. “Tapi, karena Jasminelah yang mengurai pertengkaran kita, mengajarku untuk melihat sisi positif dirimu, membantuku menemukan solusi terbaik, mengarahkanku mengendalikan ego. Tapi, baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kau lihat, sarapan darinya tak kusentuh. Aku tahu, kau tak suka dia memasak untukku. Tapi, please, jangan membencinya….”

Gadisnya tak juga menjawab. Tetap terhanyut dalam tidur panjang tiada berkesudahan, tiada gerak.

Gerak langkah Frangi terhenti. Tatap matanya terpaku pada sesuatu. Bayang pasangan muda yang melintas di seberang jalan menyita perhatiannya.

“Frangi, ada sesuatu?” Bambu melihat gelagat itu.

“Mereka,” Frangi menunjuk, “yang kulihat dalam halusinasiku.”

Bambu mengikuti arah pandang. “Benar mereka?”

Frangi mengangguk.

“Kalau begitu, ayo, kita ikuti. Itulah keping berikutnya untuk puzzle-mu,” seru Bambu, lalu segera membimbing gadis itu menyeberang jalan. Jemarinya halus menyentuh bahu Frangi.

Hati Frangi berdesir. Sentuhan Bambu di pundaknya mengalirkan sesuatu, semacam rasa nyaman yang menentramkan. Disimpannya desiran itu dan bergegas meneruskan langkah.

Pasangan muda itu berjalan tenang. Sama sekali tidak tampak bergegas, seperti menikmati setiap langkah. Mereka berjalan bersisian, tanpa bersentuhan. Beberapa jarak di belakangnya Frangi dan Bambu mengatur langkah sedemikian rupa sehingga tidak berkesan mengikuti. Samar Frangi mendengarkan pembicaraan pasangan itu.

“Sesungguhnya, aku bosan bertengkar,” gumam sang pria. Nada suaranya berat, menampakkan keresahan.
“Tapi, selalu kau ulangi,” sambung sang wanita, bernada lunak.

“Dia selalu merasa tahu apa yang terbaik untukku, tanpa melihat bahwa aku mempunyai pertimbangan sendiri.”

“Itu karena dia mencintaimu, sehingga dia menginginkan segala yang terbaik untukmu.”

“Tapi, aku bukan anak kecil yang bisa diperlakukan sedemikian rupa. Dia cenderung memaksa. Dia mau aku memakai jins merk ini, sepatu merk itu. Tidak boleh olahraga ini, menu makan harus begitu, dan seterusnya.”

“Kalau memang kau harus diarahkan untuk tujuan yang lebih baik, mengapa tidak?”

“Kenapa kau selalu membelanya, sih?”

“Mari kita urai satu per satu. Jins-mu selalu tampak kedodoran, tidak rapi. Entah ukuran atau modelnya yang tidak pas. Jadi, mungkin, dia berpikir bahwa kau memerlukan jins yang lebih baik. Dia tidak setuju kau ikut bungee jumping, ya, wajar saja. Itu kan kegiatan yang berbahaya untuk kau pilih sebagai olahraga rutin. Kalau kau tidak suka renang sebagai pilihannya, tidak apa-apa. Tapi, pilihlah olahraga lain yang wajar, setidaknya yang tidak berisiko tinggi. Dia pasti setuju.”

“Kau juga setuju kalau dia memaksaku diet food combining?”

“Ah, maklumilah bahwa dia sedang menyukai program itu. Lagi pula banyak orang mengatakan program itu bagus. Mengapa tidak mencobanya?”

“Aduh, kau tahu aku tidak sanggup melakukannya.”

“Itu karena kau tak berusaha. Kau selalu makan sembarangan.”

“Bukan sembarangan, tepatnya, makan enak. Hidup hanya satu kali, harus diisi dengan segala sesuatu yang enak, bukan?”

“Itu gaya berpikir jangka pendek.”

“Apa salahnya?”

“Tidak ada, hanya perbedaan pilihan. Gadismu memilih sesuatu yang lebih baik untukmu, tapi kau tidak menyukainya. Kalau kau merasa dia memaksamu, itu karena dia benar-benar ingin yang terbaik untukmu, meski kau tidak menyadarinya.”

Langkah Frangi terhenti. Rangkaian perbincangan itu mengingatkannya pada sesuatu. Dia ada dalam rangkaian itu, bagian dari kepingan puzzle-nya.

“Itu tentang aku,” gumam Frangi bergetar. “Aku ingat, aku pernah melakukan apa yang mereka bicarakan. Tapi, siapa mereka?”

“Kau mau menanyakannya? Mungkin, mereka punya jawaban untukmu.”

Frangi mengangguk, bergegas meneruskan langkah, bergerak menyusul pasangan itu. Tapi, terlambat. Pasangan muda itu telah menghilang di tikungan. Bambu berlari berusaha mengejar. Tapi, bayang mereka tak tertinggal selintas pun. Jejak yang samar pun tak ada. Ada banyak tikungan, entah di persimpangan mana mereka melangkah.

“Mereka menghilang, persis seperti semalam,” desis Frangi.

Bambu meredakan kegelisahan gadis itu. Ditatapnya gadis itu dengan matanya yang setenang telaga. “Sesungguhnya, sejak kemarin, merekalah yang menampakkan diri padamu. Karena itu, bila memang mereka menyimpan keping puzzle-mu, pastilah mereka akan kembali padamu.”

Frangi menghela napas panjang. Perasaannya merindukan seseorang. Semacam rindu yang samar. Entah pada siapa. Mungkinkah pada pria bertahi lalat itu? Lalu, siapa wanita itu?

“Akankah aku bertemu mereka lagi?” tanya Frangi, ragu.

“Walaupun mereka tidak kembali, setidaknya mereka telah membawa sesuatu untukmu.”

Frangi mengangguk. “Membuatku melihat diriku sendiri.”

“Ada banyak cara mencintai,” kata Bambu.

Frangi menatap lurus, dicarinya mata Bambu tepat di manik mata. “Kalau kau, cara apa yang kau pilih?”

Bambu tertegun sesaat. “Aku belum pernah mencintai seseorang. Tapi, seharusnya cinta bukanlah teori atau strategi, melainkan apa yang ada di hati. Cara terbaik mencintai seseorang adalah menggunakan kata hati. Naluri akan mengatakan apa yang harus dilakukan untuk mencintai seseorang.”

Frangi tercenung. “Rasanya, aku sudah melakukannya. Tapi, ego membuatku tak peduli bahwa orang yang ingin kubahagiakan, justru tertekan.”

Bambu menepuk pundak Frangi, sambil tersenyum.

“Aku belajar dari wanita itu. Siapakah dia?”

“Seseorang yang pantas menjadi sahabatmu, kurasa.”

Sebaliknya, gumam Frangi dalam hati. Aku justru merasa tidak menyukainya. Paling tidak, itu perasaan awal yang muncul kala pertama melihatnya. Frangi menghela napas, perasaan tidak nyaman muncul.

“Sekarang, ayo, akan kutunjukkan sesuatu,” kata Bambu, sambil meraih jemari Frangi dan menarik gadis itu.

Tindakan yang tepat. Baru saja sampai di depan etalase, Frangi berteriak takjub. Aneka bunga kering dalam berbagai bentuk dan rangkaian menyita perhatian gadis itu. Frangi segera membuka pintu toko dan menerobos masuk. Tapi, di ambang pintu langkahnya terhenti. Tatap matanya nanar. Persis di depannya, pasangan muda itu juga ada di dalam toko.

Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?