Fiction
Mimpi Bayang [4]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Frangi merasa sangat mengenal pasangan itu. Tapi, mengapa mereka sama sekali tidak memedulikan kehadirannya?

Perawat muncul di ujung koridor, sambil mendorong rak berisi peralatan mandi. Jati melihat arloji, hampir petang. Waktu bagi gadisnya untuk mandi.

“Silakan menunggu di luar, Pak,” kata perawat itu dengan santun.

Jati beranjak. “Rasanya, saya juga harus mandi. Mandi selalu memberikan energi baru bukan? Jangan lupa pakai air hangat. Dia tidak suka mandi dengan air dingin.”

Perawat itu mengangguk.

Jati menyentuh lengan gadisnya. “Kau mandi dulu, ya, Sayang. Aku juga. Aku akan mandi dengan sabun aroma teh hijau. Itu favoritmu, bukan?”

Di ujung pintu, perawat menghela napas panjang. Sang gadis masih tertidur tenang di tempatnya.

Frangi menghirup wangi yang menebar. Aroma teh hijau terasa segar menyentuh paru-parunya. Sungguh nyaman acara mandinya kali ini. Air hangat yang melimpah, sabun dan sampo teh hijau yang khas. Sungguh menyegarkan. Frangi berendam berlama-lama, melepaskan segala penat, sambil mengamati dekorasi dedaunan di seluruh sudut ruangan itu.

Dekorasi kamarnya bertema daun. Maka, segala pernak-pernik menampakkan helai daun hijau. Mulai dari lantai, goresan tapak daun di dinding, motif handuk, bed cover, bahkan perlengkapan piring dan gelas. Sentuhan yang unik dan personal.

Tengah malam, tidur Frangi terusik oleh rasa lapar. Ragu-ragu dia melangkah ke kafe. Untunglah, kafe masih buka. Ada sepasang tamu di meja sudut. Frangi baru saja menulis menu yang dipesannya, ketika menyadari bahwa sepasang tamu di sudut itu, seperti sosok yang tak asing baginya. Refleks akan diserukannya sebuah panggilan, tapi seruannya terhenti mendadak. Panggilan apa yang akan diucapkannya? Baru disadarinya, tidak ada nama yang tersimpan dalam benaknya, yang bisa dipakainya untuk mengucapkan sebuah panggilan.

Frangi berpikir keras. Siapa mereka? Diamatinya dengan tajam dua bayang itu. Yang seorang adalah wanita muda berambut ikal yang mengenakan busana standar wanita karier. Yang lain adalah seorang pria jangkung berbadan tegap. Rambut cepak lurus, cekung mata yang dalam.

Mata Frangi menajam. Profil wajah pria itu sungguh tidak asing. Seperti dikenalnya dengan baik wajah itu. Andai bisa mendekat, mungkin akan ditemukannya sebuah tahi lalat di ujung mata kiri. Benarkah? Mendadak Frangi terkejut pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia tahu soal tahi lalat itu? Dan, apakah itu benar?

Frangi terdorong untuk mencari jawaban. Lalu, tanpa pikir panjang, ia melangkah mendekat. Ketika jarak tersisa dua meter, langkahnya terhenti. Pasangan itu tidak memedulikannya. Digesernya langkah, memperpendek jarak. Gerakannya sangat hati-hati, sambil bersiap untuk berbalik, kalau-kalau pasangan muda itu mencurigai gerakannya. Tapi, pasangan itu tetap tak peduli. Bahkan, menoleh pun tidak.

Frangi berdiri persis di samping mereka. Dilihatnya dengan jelas posisi tahi lalat itu. Persis seperti yang terlintas di benaknya, di ujung mata kiri. Astaga, bagaimana dia bisa tahu?

Frangi tercenung. Kalau begitu, pastilah dirinya dan pria itu adalah orang yang saling mengenal, pikirnya kemudian. Paling tidak, dia pasti tahu sesuatu tentang aku. Frangi ingin mengatakan sesuatu. Tapi, mendadak disadarinya bahwa pasangan itu sama sekali tidak memedulikannya. Bahkan, mereka seperti tidak melihatnya. Frangi mengatupkan bibir dengan heran. Jarak mereka begitu dekat, mustahil mereka tak melihat. Tapi….

“Selamat malam,” Frangi mengucapkan salam.

Pria itu menoleh, tatap matanya melintas dirinya. Tapi, tatap mata itu kosong, tidak memunculkan reaksi atas salam yang diucapkannya. Mungkinkah dia tipe pria yang tak peduli? Frangi mencoba menyimpulkan. Mungkin begitu.
Frangi memberanikan diri, menepuk pundak wanita berambut ikal itu.

Sama saja. Wanita itu juga tidak bereaksi. Dia tetap duduk menopang dagu, seperti mendengarkan dengan seksama cerita dari pria pasangannya. Astaga, ini sungguh aneh, pikir Frangi tak mengerti.

Menu pesanannya datang. Pelayan menghampirinya.

“Mau duduk di mana, Bu ?”

“Di sini saja,” Frangi menunjuk meja yang dipakai pasangan itu dan menempatkan diri semeja dengan mereka. Harus dilakukan tindakan yang ekstrem untuk menarik perhatian.

“Terima kasih,” kata Frangi, yang segera meneguk kopi jahenya. Pasangan di depannya tetap tidak peduli. Mereka tetap berbicara biasa, seolah tanpa kehadiran sosok asing di meja mereka.

“Kami bertengkar lagi,” keluh pria itu dengan helaan napas panjang. “Sepele, tapi menjengkelkan.”.

“Masalah apa?” wanita itu tampak sabar.

“Temannya membuka salon baru. Lalu, dia memaksaku untuk memangkas rambutku di salon itu. Tentu saja aku tidak mau.”

“Lalu, dia marah?”

Pria itu mengangguk. “Aku juga marah. Pangkas rambut itu kan soal selera. Kalau aku sudah punya stylist yang memahami gayaku, mengapa harus mencari yang lain?”

“Sesungguhnya, permintaan itu sederhana. Dia ingin kau mengapresiasi undangan temannya untuk mengunjungi salon barunya. Itu saja ‘kan?”

“Tapi, tidak seharusnya dia memaksaku.”

“Dia hanya ingin berbaik hati mendukung bisnis teman. Begitu antusiasnya sehingga tak bisa menerima penolakanmu. Lain kali, tawarkan diri untuk mengantar. Sementara dia menikmati pelayanan salon, kau menunggu sambil cuci rambut. Atau, beli saja voucher dan berikan padaku, bagaimana?”

Pria itu tersenyum. “Usul yang menarik. Akan kupertimbangkan.”

Lalu, mereka tertawa dan berbincang lagi dengan akrab.

Di kursinya, Frangi tertegun dalam diam. Otaknya berputar cepat. Mengapa yang baru mereka perbincangkan itu sepertinya bukan sesuatu yang asing? Mengapa sepertinya aku pernah terlibat di dalamnya? Tapi, mengapa mereka tidak mengenalku sama sekali? Siapakah mereka? Siapakah aku?

Frangi lalu beranjak dan membayar minumannya. “Apakah mereka tamu langganan kafe ini?” tanya Frangi pada penjaga kasir.

“Tamu yang mana, Bu?” tanya penjaga kasir, sopan.

“Yang duduk semeja dengan saya.”

Kasir mengerutkan kening. “Maaf, tapi, bukankah Ibu duduk sendirian?”

“Tidak, saya duduk dengan mereka di meja sudut.” Frangi menoleh dan menunjuk arah mejanya. Namun, ia terkejut. Pasangan muda itu tak ada lagi. Meja di sudut itu kosong, hanya tersisa sebuah cangkir kopi bekas minumnya, serta kursi yang bergeser setelah didudukinya. Sepasang kursi yang lain, terletak rapi pada tempatnya.
“Tak ada tamu lain, hanya Ibu tamu kami. Dan, sejak tadi Ibu duduk sendirian,” sambung penjaga kasir.

Frangi berdiri kaku. Segala kata tiba-tiba hilang dari benaknya. Pikirannya mendadak kosong, seperti berada dalam kehampaan. Apakah yang terjadi sesungguhnya? Frangi bertanya tanpa suara. Apakah ini yang namanya halusinasi? Mengalami sesuatu yang tak nyata. Bertemu dengan seseorang yang ternyata tak ada. Tapi, mengapa aku harus berhalusinasi tentang mereka? Dan, siapakah mereka?

Sederet pertanyaan menggantung di benak Frangi. Tidak ada satu jawaban pun yang ditemukannya. Yang ada hanya hening, yang dibawa malam untuk menyelimuti segala sesuatu.

Jati bersandar di jendela. Hening malam baru saja berlalu, menyisakan embun yang berbentuk titik-titik air pada kaca jendela. Beberapa titik air bergulir jatuh, membentuk garis air yang bermuara di bingkai dasar jendela. Sunyi, tidak ada suara. Hanya suara napas yang terembus lembut.

Jati menoleh. Gadisnya masih terbaring tenang, serupa putri tidur dalam cerita dongeng. Alkisah, putri tidur terbangun oleh sebuah ciuman penuh cinta dari sang pangeran. Lalu, akankah kau terbangun juga oleh ciumanku? Jati bertanya dalam hati.

Aku bahkan sudah mengecupmu berkali-kali, lanjut Jati tanpa suara. Juga memeluk dan menangis untukmu. Tapi, kau tetap terdiam dalam tidurmu. Mengapa? Apakah itu tidak cukup? Padahal, sepenuh hati kulakukan itu untukmu. Sepenuh hati? Benarkah? Mendadak Jati tercenung. Lalu, sebuah bayang melintas. Hanya sekilas.

Mendadak sebuah ketukan halus menyentuh pintu. Jasmine muncul di ambang pintu. Serumpun anyelir merah magenta dalam genggamannya.

“Bagaimana kondisinya?” tanyanya, pelan, sembari meletakkan rumpun bunga itu di vas.

“Belum ada kemajuan berarti,” Jati menggeleng, tanpa menutupi kemuramannya.

“Tapi, dia akan membaik, bukan?”

“Entahlah,” Jati angkat bahu, lesu kehilangan harapan.

“Harus selalu ada harapan di sini,” Jasmine menepuk dada Jati, berusaha menumbuhkan semangat baru. “Sekarang, sarapan dulu. Itu bekal penting untuk mencari harapan baru. Kubawakan nasi goreng dan jus wortel.”

“Tidak ada selera,” tolak Jati. “Aku bahkan tidak merasa lapar.”

“Di rumah sakit mana pun, yang termewah sekali pun, tidak akan pernah ada makanan yang mampu menggugah selera,” Jasmine mengulurkan kotak bekal. “Tapi, makan tidak selalu dilakukan untuk memenuhi selera atau menghilangkan lapar, melainkan untuk menjaga kesehatan. Jadi, makanlah.”

Jati menerima kotak itu, lalu meletakkkannya di meja. Dia tahu, Jasmine selalu mampu menyuruh seseorang dengan cara yang manis. Tapi, kali ini dia sungguh tak tergerak.

Jasmine tak memaksa. Dia beranjak mendekati gadis yang terbaring.

“Hei, masih nyenyak tidurmu, ya?” katanya, sambil menepuk jemari gadis itu. “Lihat, Jati sudah kelelahan menunggumu. Segeralah bangun. Jangan membuatnya kehilangan harapan. Kau tahu, hanya kau yang memiliki persediaan harapan tak terbatas untuknya.”

Jati berpaling, menyembunyikan mata yang mendadak membasah. Jasmine benar, sisa harapan yang mengendap di benaknya tak banyak lagi.

“Ada anyelir merah magenta untukmu. Semoga kau suka,” kata Jasmine.

Lalu, hening. Tidur gadis itu tetap berlanjut, tak terhenti.

Tidur Frangi terhenti oleh ketukan di pintu. Gadis itu terbangun dan terkejut oleh sinar matahari yang menerobos tirai. Sudah siang rupanya. Segera dibukanya pintu.

“Baru bangun?” Bambu berdiri di ambang pintu.

“Apakah aku terlambat?” Frangi panik. “Kereta sudah datang?”

“Itulah. Ada kabar buruk,” jawab Bambu, dengan nada sesal. “Ada tanah longsor di perbatasan, jalur kereta tertimbun sebagian. Jadi, kereta akan datang terlambat. Entah untuk berapa lama. Apa boleh buat, kau harus menunggu. Mungkin, sampai sore atau lebih parah lagi, besok. Tak ada pilihan lain, jalur kendaraan lain sama saja.”

Frangi terduduk. Tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya ingin pulang segera. Itu saja.

“Jangan sedih begitu. Kereta itu pasti datang. Tidak mungkin tidak,” Bambu menenangkan. “Tentu, tidak akan kubiarkan kau sendirian menunggu.”


Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?