Fiction
Mimpi Bayang [3]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Ia merasa berada di tempat yang sangat ia kenal. Namun, ada hal-hal yang terasa tidak lazim. Apakah ia tersesat? Di mana dan mengapa?

Jati menutup bukunya. Sudah diselesaikannya satu bab, tapi tidak sedikit pun dipahaminya. Barisan huruf yang dibacanya lewat begitu saja, bagai semut beriring di dinding, tanpa meninggalkan jejak apa pun. Bukan karena buku itu yang sulit dipahami, melainkan karena tidak bisa berkonsentrasi.

Dihelanya napas panjang. Gadisnya masih tertidur dengan tenang. Napasnya mengalun sempurna dengan gerakan stabil. Cairan bening infus menetes teratur, menjatuhkan titik air tanpa suara.

Jati beranjak mendekat. Lembut dikecupnya kening gadis itu. Lembut punggung tangannya membelai pipi. Dan, mendadak, disadarinya ada kehangatan pada belah pipi itu. Lalu, diraihnya jemari gadis itu, hangat yang serupa menjalarinya.

“Suster, suhu tubuhnya hangat, tidak sedingin tadi,” seru Jati, antusias, pada suster perawat yang muncul membawa tabung infus baru.

“Benarkah? Akan saya periksa segera.” Perawat segera memasang termometer. Lalu, dibalutnya lengan gadis itu dengan alat pengukur tensi.

“Suhu tubuh dan tensi normal,” kata perawat itu, mengamati hasil pemeriksaannya.

“Jadi?” Jati mendesak.

“Akan saya sampaikan pada dokter. Semoga gejala bagus ini akan membawa kesembuhan.”

Jati mengangguk, menyimpan harapan. Dibawanya jemari gadisnya dalam genggaman.

“Lihat, kondisimu membaik,” bisiknya, lembut. “Segeralah bangun. Jangan tidur terlalu lama begini. Ada banyak hal yang harus kau lakukan. Kebun sedang berbunga, bunga-bunga itu menunggumu untuk kau jadikan sebagai potpourri.”

Jati mengusapkan pelembap pada bibir gadisnya. Kering bibir itu. Alangkah berbeda dari yang biasa dilihatnya selama ini. Biasanya, bibir mungil itu membasah, ranum tersaput perona bibir berwarna muda. Dihelanya napas panjang.

“Bangunlah. Bergegaslah sebelum bunga-bunga itu layu.”

Tapi, gadisnya tetap terlelap. Tidur dalam keheningan yang panjang. Sangat panjang bahkan.

Sebuah ide mendadak melintas di benak Jati. Lalu, tangannya terulur, menggelitik pundak dan leher gadis itu. Biasanya, gadis itu akan menjerit spontan, lalu berteriak marah, dan berlanjut dengan omelan panjang yang tidak berkesudahan. Sering kali Jati tak mengerti, bagaimana mungkin seseorang bisa mengomel sepanjang itu hanya karena satu sebab kecil yang berlangsung beberapa detik.

“Tapi, kali ini aku tidak akan memikirkannya,” gumam Jati, melanjutkan gelitikannya. “Berapa pun lamanya kau mengomel, akan tetap kudengarkan dengan senang hati. Ayolah, Sayang, bangunlah. Kau tidak pernah tahan dengan gelitikan ini, ‘kan?”

Ternyata, tidak. Misi itu tetap gagal. Meskipun kulit di seputar leher itu memerah, gadis itu tetap diam. Tidak memunculkan gerakan apa pun juga. Gadis itu tetap tidur dengan tenang, tanpa suara sama sekali.

Sesaat kemudian gerak tangan Jati terhenti. Dengan putus asa disandarkannya diri pada bahu gadis itu. Kesedihan yang sangat mendadak menguasainya, merenggut habis harapan di benaknya. Di ujung mata, air matanya menggenang.

Frangi menjerit tertahan. Sesuatu mendadak menyentuh lehernya. Refleks tangannya bergerak menepis.
“Ada apa?” Bambu terkejut. Dihentikannya suapannya.

“Ada sesuatu di leherku,” teriak Frangi, panik.

Bambu mendekat, diperiksanya leher gadis itu. “Tidak ada apa-apa. Tapi, lehermu memang memerah.”

“Kau yakin, tidak ada binatang atau sesuatu?”

Bambu menggeleng. “Sungguh, tidak ada.”

“Tapi, seperti ada yang menggelitik,” sergah Frangi, tak puas.

“Mungkin, semut atau serangga kecil. Maklum, ada banyak tanaman di sekitar sini.”

“Sangat menjengkelkan,” umpat Frangi, bernada kesal. “Aku sungguh terganggu bila ada sesuatu menyentuh leherku. Bahkan, kalung pun tidak pernah kukenakan. Dan, makhluk itu… entah apa, berani betul. Sungguh kurang ajar. Awas, bila nanti kulihat, pasti akan kubuat perhitungan!”

Bambu meletakkan sendok. Ditatapnya Frangi dengan seksama, keheranan yang nyata merona di wajahnya.
Sadar bahwa Bambu menatapnya dengan aneh, kemarahan Frangi terhenti. “Ada apa?” tanyanya, heran.

“Kau mendadak berubah,” Bambu melanjutkan tatapannya.

“Itu karena makhluk itu. Berani betul menggangguku. Di leherku pula!”

“Kau marah untuk hal semacam itu?”

Frangi mengangguk.

“Apakah itu perlu?”

“Tentu saja, aku berhak untuk marah.”

“Betul, setiap individu, bahkan binatang dan alam sekalipun, berhak untuk marah bila habitatnya terganggu. Tapi, masalahnya, apakah kemarahanmu itu perlu?”

“Mengapa tidak?” sergah Frangi.

“Menurutku, tidak perlu. Kau membuang energi untuk sesuatu yang tidak sepadan.”

“Tapi, aku sungguh terganggu,” Frangi membela diri.

“Betul, tapi, maaf, kurasa, reaksimu berlebihan. Tidak setiap gangguan harus kita respons dengan kemarahan,” kata Bambu lunak, bernada hati-hati. “Apakah kau terbiasa marah begitu?”

Frangi tercenung. Mencoba mengingat sesuatu. Sesaat kemudian, disadarinya bahwa perasaan marah itu terasa bukan sesuatu yang asing. Ia pernah mengalaminya.

“Rasanya, hal itu kulakukan berulang kali,” gumam Frangi. “Tapi, kapan, ya? Mengapa tak kuingat satu pun?”

Bambu tersenyum. “Kemarahan bukan sesuatu yang menyenangkan untuk diingat. Jadi, agaknya, memorimu tidak menyimpannya dengan baik. Tapi, lain kali, ketika kemarahan itu datang lagi, pastikan kau ingat untuk menghilangkan kebiasaan itu.”

Usulan bijaksana, yang disampaikan dengan santun. Sangat layak diterima.

“Pasti akan kuingat,” Frangi tersipu.

“Hmm, kurasa, aku harus pergi sekarang,” kata Bambu, kemudian.

Frangi terkejut, mendadak merasa akan kehilangan sesuatu.

“Kita berpisah sekarang?”

Bambu mengangguk. “Ya, tapi aku akan datang lagi besok, mengantarmu ke stasiun dan memastikan kau mendapat kereta yang tepat.”

“Terima kasih. Kau benar-benar teman yang baik hati,” puji Frangi, tulus.

“Maaf, aku tak bisa berlama-lama menemanimu. Tapi, aku yakin kau tidak akan kesepian. Ada banyak hal menarik di penginapan ini. Perpustakaan, museum mini….”

“Kau tak usah khawatir,” sahut Frangi.

Bambu tersenyum. Lalu, bayangnya menghilang di balik koridor teras.

Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?