Fiction
Mimpi Bayang [2]

13 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Jati membuka mata, mengakhiri tidur pulas yang singkat. Tidur yang efektif. Ia kini telah mendapatkan energi baru, sesudah berjaga semalam suntuk. Persis seperti ponsel yang baterainya baru saja diisi ulang, langsung berdering nyaring.

Diedarkannya pandang dan terhenti pada sebuah sudut. Di sudut itu, gadisnya tertidur tenang. Dada gadis itu bergerak naik turun, lambat, seiring alunan napas. Begitu tenang tidur itu. Pastilah sebuah tidur yang sangat pulas. Tanpa mimpi, bagai dalam kehampaan tanpa batas.

Dalam kondisi yang biasa, pastilah Jati tidak berkeberatan dengan tidur itu. Akan ditatapnya gadis itu berlama-lama, hingga dapat diikutinya kedamaian tidur itu. Tapi, ini bukan kondisi biasa. Gadis itu bukannya sedang tidur di kamar birunya yang berhias aneka bunga kering, melainkan di sebuah ruangan ICU dengan aneka peralatan medis di sekujur tubuhnya. Selang infus, selang oksigen, perekam detak jantung, dan entah apa lagi.
“Bangunlah,” pinta Jati, sepenuh hati. Diulurkannya tangan untuk menyentuh jemari gadis itu. Dibelainya lembut punggung jemari itu. Jemari yang lunak dengan aroma bedak bayi.

“Dan, peganglah janjiku, bahwa kita tidak akan pernah bertengkar lagi sesudah ini,” gumamnya, dengan keyakinan penuh. “Akan kulakukan apa pun yang kau mau. Tak akan kulakukan bantahan apa pun juga, untuk hal yang terkecil sekalipun.”

Digenggamnya erat jemari gadis itu. Genggaman penuh emosi yang tanpa sadar membuatnya mengguncang jemari dingin itu dengan keras.

“Tapi, bangunlah. Jangan berdiam diri begini,” seru Jati, dengan emosi tertahan.

Sesaat kemudian, sebuah tangan menghentikan guncangan itu. Dengan ketegasan tak terbantah, dilepaskannya genggaman jemari Jati pada gadis itu.

“Sabar, Pak, tahan emosi,” seorang petugas medis menenangkan. “Bapak terlalu lelah. Semalam berjaga tanpa istirahat.”

“Tidak! Aku tidak lelah,” bantah Jati. “Bahkan, aku baru saja bangun tidur.”

“Tapi, itu tidak cukup. Kalau Bapak memaksakan diri, kondisi Bapak justru tidak akan stabil.”

“Tapi….”

“Beristirahatlah, Pak. Kami akan menjaga pasien dengan baik. Bapak akan kami beri tahu bila ada perkembangan baru.”

Jati menggeleng. Dia tidak ingin pergi. Dia sama sekali tidak ingin meninggalkan gadis itu. Sungguh tidak.

“Baiklah,” petugas medis tak memaksa. “Tapi, kami harap Bapak bisa menahan diri dengan baik.”
Jati mengangguk.

Tak lama kemudian, petugas medis itu keluar, menghilang di balik pintu.

Frangi berdiri di ambang pintu. Sekilas dibacanya tulisan yang tertera di atas pintu masuk. La Barong. Penginapan itu kecil dan sederhana. Lebih mirip sebuah rumah biasa dengan banyak kamar yang mengelilingi kebun kecil di bagian tengah. Berdinding bata merah, pergola kayu, dan aneka dedaunan hijau yang menjuntai di berbagai sudut. Bentuk terasnya memanjang, dilengkapi perabot kayu sederhana, yang berkesan kuno. Nyaman, sangat homy. Frangi tersenyum lega. Keyakinan tersirat di matanya. Tempat itu pasti bisa membuatnya bermalam dengan nyaman.

“Suka?” tanya Bambu, menangkap ekspresi gadis itu.

“Sangat homy,” Frangi mengangguk.

“Hanya ada sepuluh kamar. Setiap kamar didesain dengan gaya berbeda. Kamar itu bertema ranting, yang lain burung, kerang, juga catur.”

“Begitu? Untuk tema catur itu, pasti lantainya keramik kotak-kotak hitam putih,” tebak Frangi.

“Tepat.”

“Bagaimana kau tahu detail rancangan tempat ini?” Frangi ingin tahu. “Mungkinkah kau pemilik tempat ini?”

Bambu menggeleng. “Aku berteman dengan pemiliknya. Jadi, kami mendesain tempat ini bersama-sama.”

“Ide yang unik. Lalu, nama La Barong, apa artinya?”

“Tak ada alasan apa pun.” Bambu angkat bahu, ringan. “Barong hanya sekadar nama yang mendadak melintas di benak pemiliknya. Ditambahkan La di depan sebagai aksesori daya tarik, supaya terkesan berbahasa asing. Untuk masyarakat kita, segala sesuatu yang berbahasa asing kan dianggap keren.”

“Itu krisis kebudayaan atau identitas?” tanya Frangi, tersenyum.

“Barangkali keduanya. Gagasan semacam ini bisa memunculkan diskusi panjang. Kita duduk di teras atau di kafe?”

“Kafe saja. Aku haus dan lapar,” Frangi memilih.

“Sudah kuduga,” Bambu menunjukkan arah.

“Dari mana kamu bisa menduganya?”

“Wajahmu pucat dan tanganmu dingin.“

Secara refleks Frangi menempelkan tangan pada kedua belah pipinya. Benar, dingin menjalar dari telapak tangannya. “Ha, mengapa dingin begini?”

“Jangan khawatir. Ada kopi atau teh jahe yang bisa menghangatkanmu.”

Bambu menangkap kekhawatiran Frangi. Diulurkannya tangan untuk membantu Frangi menuruni tangga teras.
Sesaat langkah Frangi terhenti. Ditatapnya uluran itu. Uluran tangan yang santun, menyiratkan gerak perlindungan. Itu uluran kebaikan hati yang tidak layak ditolak. Lalu, disambutnya uluran tangan itu. Bambu menggenggam jemarinya. Ah, genggaman itu, mengalirkan sesuatu yang hangat. Bahkan, mungkin lebih hangat dari secangkir teh jahe.

Sesaat kemudian, teh jahe pesanan mereka datang. Dengan sigap Bambu menuangkan gula.

“Manis sedang atau…?”

“Manis saja. Rasanya, tubuhku lemas. Barangkali, gula bisa memberiku tambahan energi,” kata Frangi, sembari mengamati gerakan Bambu, yang sedang mengaduk teh, tanpa suara.

“Minumlah,” kata Bambu, sambil menyodorkan cangkir.

Perlahan Frangi menerima tehnya. Cara Bambu menyiapkan minum untuknya sungguh menyentuh hati. Gerakan santun yang wajar, tanpa kepura-puraan. Tidak banyak pria yang melayani wanita dengan cara seperti itu. Paling tidak, Frangi baru melihatnya kali ini.

Frangi menghirup teh jahe. Cairan manis hangat bercampur pedas itu langsung mengalir ke tubuhnya, menyusupkan efek hangat yang nyaman. Mendadak Frangi merasa nyaman. Disentuhkannya punggung tangan pada kedua belah pipi. Hangat kini terasa, tidak ada aliran dingin lagi.

“Masih dingin?” Bambu bertanya lagi.

“Tidak,” Frangi menyentuhkan jemarinya pada punggung tangan Bambu “Terasa hangat, ‘kan?”

Bambu mengangguk. “Tapi, wajahmu masih pucat.”

“Ah, itu karena kulitku putih,” Frangi mengerling, “dan, bibirku tidak berlipstik.”

“Tapi, sepertinya, aku masih bisa membedakan kulit putih dan putih pucat.”

“Baiklah,” Frangi mengalah, “aku akan makan, kalau perlu yang pedas, supaya wajahku memerah dan tidak pucat lagi. Setuju?”

“Tidak,” Bambu menyimpan senyum. “Karena, sesudah itu kau akan mendapat masalah baru, yaitu sakit perut.”

Frangi tertawa. Tawa yang lepas tanpa beban. Tawa yang mendadak mengalirkan rasa bahagia. Sesuatu yang tidak dirasakannya beberapa hari ini. Mendadak Frangi tercenung. Beberapa hari ini? Kapankah itu?

Penulis: Sanie B Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?