Travel
Menyapa Kuliner Sekitar Melbourne

10 Aug 2013

Aura dinamis dan stylish langsung tertangkap ketika saya tiba di Melbourne. Pantas,   banyak yang bilang, ibu kota negara bagian Victoria ini seolah menjadi magnet bagi wisatawan maupun kaum migran. Selain sebagai destinasi shopping dan wisata sejarah, kota dengan julukan The Heart of Australia’s Food Capital, itu juga kerap menjadi tujuan pencinta makan dari berbagai negeri. Beruntung, saya bisa menjadi satu di antaranya. Hasrat untuk menemukan the real taste of Melbourne yang memenuhi zona pikiran saya pun terjawab.

Wolrd Longest Lunch

Panasnya matahari musim panas, tak menyurutkan langkah saya bersama lima orang rekan media dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, singgah di Fitzroy Gardens, Clarendon Street, Melbourne Timur. Di taman seluas 26 hektare, yang dibangun pada tahun 1848 oleh Sir Charles Augustus FitzRoy, inilah petualangan rasa kami dimulai lewat Bank of Melbourne World’s Longest Lunch.

Acara makan siang yang dihadiri sekitar 1.200 tamu ini sekaligus menjadi pembuka Melbourne Food And Wine Festival (MFWF) 2013. Unik dan mencengangkan!  Meja sepanjang 500 m lengkap dengan table setting sekelas resto fine dining ditata rapi di bawah rimbunnya pepohonan. Sekitar 200 orang personel (65 orang tim dapur dan 135 orang waiter), 3.690 peralatan saji, dan 6.150 cutleries dikerahkan oleh jasa katering Peter Rowland Catering, yang sudah malang- melintang di bidang jasa katering sejak tahun 1962.

Terbayang kan  bagaimana repotnya? Apalagi jika mengingat lokasi outdoor dengan kondisi angin yang berembus cukup kencang. Risiko gelas pecah, botol wine yang roboh, atau topi tamu yang terbawa angin pun bukan hal aneh. Heboh, namun tetap seru dan menyenangkan! Apalagi ketika duo celebrity chef Stephanie Alexander dan Maggie Beer hadir dan menyapa hampir  tiap tamu yang datang. Terasa sekali betapa kuliner menjadi bagian penting bagi masyarakat di kota ini.

“Melihat tamu sumringah setelah bersantap, sudah merupakan kepuasan tersendiri bagi kami,” ungkap Stephanie. Karena harus diakui, tak mudah menjaga konsistensi rasa yang sama untuk ribuan piring yang berbeda.

Turkey ‘Prosciutto’ with Slices of Sweet Figs (daging kalkun yang diasap lengkap dengan buah ara yang bercita rasa manis) dan Saffron Marinated Roasted Lamb Rump with Farro, Spinach and Mint (daging kambing panggang dengan aroma daun mint yang menyegarkan) menjadi highlight di acara ini. Kedua sajian tersebut menggunakan bahan baku lokal: tomat ceri, daging domba, dan buah fig. Supaya lebih pas, keduanya dipadankan dengan Yering Station Village Chardonnay dan Yering Station Village Shiraz Viognier, red wine lokal keluaran tahun 2010 dari perkebunan anggur di Victoria, Yering Station. 

“Meski berbahan baku lokal, karena ragam budaya dari berbagai negara masuk di negeri ini, cukup memengaruhi cita rasa hidangan kami hingga tampak internasional,” ujar wanita yang sudah lebih dari 40 tahun terjun di ranah kuliner itu. Hal ini diamini pula oleh Maggie, yang kala itu didaulat menyiapkan Wobbly Baked Verjuice Custard Crowned with Glace Cumquats (custard vanilla yang lembut dengan siraman saus kecut khas jeruk cumquats) sebagai dessert.
Menurut Maggie, populasi yang beragam membuat wawasan tentang kuliner terbuka lebar. “Selalu saja ada orang baru yang bersedia mengajarkan Anda bagaimana memasak hidangan yang mereka bawa dengan benar,” tutupnya.

Ngopi Sepanjang Hari

Serupa dengan yang dikatakan Maggie soal makanannya, budaya minum kopi di kota terpadat di Victoria  ini juga disadur dari gelombang imigran asal Italia. “Warung kopi pinggir jalan muncul di Melbourne sekitar tahun 1850-an,” cerita Maria Paoli, ‘guru’ kopi ternama di Melbourne yang saya temui di hari kedua festival. Espresso menjadi minuman pertama yang dikenalkan di warung tersebut, selain penganan murah untuk makan pagi atau makan malam bagi
para pekerja kota.

“Sejak itulah, masyarakat Melbourne seperti kecanduan kopi, sampai-sampai tak ada waktu khusus untuk minum kopi,” tambah Maria. Sepanjang hari, ada saja orang yang duduk sambil ngopi bareng di puluhan coffee house –dari yang tradisional hingga modern-- yang mulai bertebaran sejak tahun 1930-an.

Beberapa di antaranya adalah Pellegrini  Bar, di Bourke Street. Konon, kafe inilah yang mengimpor mesin kopi espresso pertama ke negeri ini pada tahun 1950-an. Ada pula Sensory Lab, yang terletak di kawasan David Jones. Kafe modern yang mulai mengadaptasi syphon coffee maker, yakni menyeduh kopi   menggunakan teknik suction yang dihasilkan oleh tekanan uap panas dari burner (pemanas). Saya yang tak terlalu suka kopi, cocok dengan rasa kopi yang terasa ringan di lidah ini.

Menjamurnya rumah kopi tersebut rupanya membawa angin segar di bidang agraris. Selain mengimpor biji kopi dari negara lain, Australia --terutama di negara bagian New South Wales--  mulai menanam sendiri tanaman kopi. Bahkan, lebih dari 125 tanaman kopi dan 2.000 tanaman tropis dalam pot diboyong ke Melbourne untuk memeriahkan The Urban Coffee Farm & Brew Bar yang didirikan di Queensbridge Square, Southbank.

Dirancang khusus oleh HASSEL Young Designer Group khusus untuk MFWF 2013, perkebunan kecil bertingkat ini menciptakan pemandangan yang menyejukkan mata. Ide membawa hutan pohon kopi di tepi pusat bisnis patut diacungi jempol. Bersamaan dengan pohon kopi, hadir pula koleksi container pengiriman, palet kayu dan kemasan peti kayu yang tampak alami. Ini seolah ingin menunjukkan perjalanan biji kopi dari tempat tumbuh sampai ke tangan penikmat.

“Inspirasi mendirikan proyek ini tak lain adalah keinginan kami untuk membangkitkan eksotisme perkebunan kopi yang rimbun di tengah kota,” papar Slavica Habjanovic, External Communications Advisor HASSEL. “Dengan mengerti akan asal-usul, proses produksi, hingga transportasi yang sulit, masyarakat tentu akan lebih menghargai kopi,” tambahnya.

Selain hanya duduk santai, dari tempat ini pengunjung juga mendapat oleh-oleh berupa ilmu seputar kopi lokal.  Mulai dari bagaimana meraciknya menjadi minuman nikmat, hingga racikan kopi  seperti espresso, latte, hingga machiato dari puluhan barista andal dari sekitar 20 coffee house lokal yang terlibat.

 
Sensasi Rasa Wine Lokal
Puas menikmati kopi yang hangat, giliran lidah saya diajak menyelami sensasi rasa wine Australia keesokannya dalam rangkaian MFWF 2013 berikutnya. Mimpi saya untuk mencicipi ragam wine  khas negeri ini akhirnya tercapai ketika saya menginjakkan kaki di Como House, taman di Como Avenue, South Yarra. Di sini,  puluhan produsen wine dan bahan pangan lokal, seperti bir, buah, keju, roti, cokelat, nougat, kaviar, salmon, hingga zaitun berkumpul dan memamerkan produknya dalam acara  Cellar Door & Artisan Market. Wah, senangnya!
Tampak sekali bahwa produsen wine mendominasi acara yang berlangsung di taman dengan arsitektur Inggris-Italia yang dibangun tahun 1847 oleh Edward Williams ini. Tak bisa dipungkiri, minuman bercita rasa tinggi ini memang telah lama akrab bagi sebagian bangsa di dunia, termasuk Australia.

Negeri tetangga Indonesia  ini adalah penghasil wine ke-7 terbesar di dunia. Posisi tersebut tidak datang sekejap mata. Sekali lagi bahan ini dibawa oleh imigran yang datang dari Inggris sekitar tahun 1788.  Adalah Kapten Arthur Philip yang berlayar dari Inggris membawa bibit anggur asal Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan bibit tersebut ditanam di Parramatta, Australia.

Selanjutnya, wine di Australia menjadi  makin berkembang dengan hadirnya James Busby, yang dikenal sebagai bapak wine-nya Australia. James mempunyai andil besar dalam perkembangan wine di Australia, khususnya pada tahun 1820-an, dengan memberikan pengetahuan tentang viticulture. Sejak saat itu, perkebunan anggur menjamur. Hingga kini, lebih dari 1.800 kebun anggur berkembang di sini.

“Di negeri ini, wine menjadi salah satu minuman wajib yang ditawarkan di  tiap kafe dan resto,” jelas Jane Gordon, Wine Ambassador  Domain Chandon, salah satu produsen wine  bagian dari produsen Moët & Chandon asal Prancis yang sudah berdiri di Coldstream, Victoria, sejak 1985.

“Jenisnya antara lain white wine, red wine, dan sparkling wine. Dari warnanya bisa dibedakan apakah wine tersebut berkualitas baik atau tidak,” tambah Jane. Untuk white wine yang biasanya berkadar alkohol 8%-12%, warna cairannya harus bening kuning kehijauan. Kadangkala, ada white wine berwarna bening kuning keemasan. Itu artinya, anggur yang dibuat menjadi wine ini sudah cukup tua. White wine yang bening kecokelatan menandakan perubahan yang kurang baik pada kualitas anggur.

Jenis white wine yang populer adalah Chardonnay, umumnya beraroma buah, vanilla, kacang, atau cengkih. Paling pas jika diminum dalam keadaan dingin. Maka, sewaktu white wine dingin ini mengalir membasahi tenggorokan, saya cuma bisa bergumam, “Nikmat….”

Warna juga menjadi indikator umur pada red wine.  Dengan kadar alkohol 13%-15%, umumnya red wine berwarna merah gelap.  Warna merah keunguan menandakan usia wine masih muda, sedangkan warna merah kecokelatan menunjukkan bahwa wine berumur cukup tua. Berbeda dengan white wine, red wine lebih enak diminum tanpa harus didinginkan.  
   
Sparkling wine, lain lagi. Warnanya bening kuning kehijauan hingga bening kuning keemasan. Rasanya lebih ringan daripada white wine dan red wine. Sewaktu saya menyesap sparkling wine ini,  gelembung udara memberikan sensasi meletup-letup yang menggelitik lidah. Saya juga mencicipi  Green Point Chardonnay dan Pinot Noir yang cita rasanya sangat ringan layaknya sedang menikmati sparkling juice saja. Nikmatnya wine memang menakjubkan, seperti karya seni yang menghibur jiwa.


Makan Malam Istimewa
Akhir kunjungan di Melbourne  makin berkesan saat saya berkesempatan bertemu Massimo Spigaroli sebagai bagian dari MFWF 2013. Chef ternama dari resto peraih 1 Michelin Star, Antica Corte Pallavicina, Parma, Italia, ini memberi pengalaman tersendiri bagi saya dan pengunjung lain di resto Mama Baba, South Yarra, Victoria. Mama Baba merupakan resto terbaru yang didirikan oleh George Calombaris, celebrity chef sekaligus juri utama MasterChef Australia yang menyediakan masakan Yunani dan Italia (Sisilia).   

Tak tanggung-tanggung, chef yang lebih suka disebut sebagai petani  kelahiran Polesine Parmense, Italia, tahun 1958, ini ‘membawa’ hasil pertanian keluarga di Italia ke meja tamu di Mama Baba. Selain buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian, pertanian yang terletak di belakang restonya di Italia itu juga menghasilkan sapi, ayam, bebek, hingga babi. Salah satu produk kebanggaan yang dibawanya adalah Pork liver wrapped in natural pork netting Spigaroli.

Meski saya tidak bisa mencobanya, menurut seorang rekan, bahan makanan yang diolah menjadi Lasagna Con Ragout Di Maiale, Zabaione Al Parmiggiano (lasagna berlapis daging dan hati babi salut keju parmiggiano) ini begitu lezat. Terbukti, piringnya bersih tanpa sisa.

Saya pun segera mencicipi hidangan lain koki peraih International Golden Chef pada usia 17 tahun ini, yaitu Battuto di Bue Con Verdure In Agrodolce. Hidangan berupa tartar daging sapi dengan acar dan sayuran segar  ini terasa gurih, asam, dan segar di lidah. Lezatnya luar biasa! Begitu menggelitik lidah untuk segera mencicipi hidangan utama, yaitu Risotto Alla Zucca E Riduzione Al Lambrusco, Polvere Di Amaretti E Germogli Di Spinachi (risotto labu dengan campuran keju parmiggiano dan red wine). Lezatnya tak terbantahkan!

Untuk wine-nya, Massimo mengeluarkan wine lokal yang langsung diterbangkan dari Italia, yakni Primosic Malvasia, white wine keluaran tahun 2010 dan Cantina Lanzavecchia ‘Cren Del Riccio’ , red wine berwarna keunguan dengan rasa buah-buahan segar, seperti stroberi, plum, dan delima (pomegranate). Sebagai penutup, chef penyuka keju parmiggiano ini menyiapkan Cannoli Al Caramello Salato, Sorbetto Allo Yoghurt. Sajian manis dari karamel dan sorbet yoghurt ini sungguh sempurna untuk menutup petualangan santap di Melbourne.


Seputar MFWF
Diluncurkan pada tahun 1993, Melbourne Food and Wine Festival merupakan perhelatan tahunan yang menjadi kebanggaan masyarakat Victoria. Tiap bulan Maret, mereka sibuk menyiapkan festival kuliner akbar  yang sudah diadakan 21 kali ini.  Melibatkan pemerintah, manajemen, serta tim yang andal.
“Di sini, kami bukan semata mencari keuntungan, melainkan untuk mempromosikan beragam produk pangan lokal yang berkualitas dan gaya hidup, khususnya kuliner Melbourne, ke dunia internasional,” ujar Natalie O’Brien, CEO Melbourne Food And Wine Festival (MFWF) 2013 yang sudah 7 tahun dipercaya untuk memegang kendali MFWF.

Lebih dari 200 event yang melibatkan resto, kafe, dan pertanian lokal terangkum di dalamnya. Dari kelas masak bersama chef ternama hingga belajar tentang wine atau kopi langsung dari ahlinya. Lengkap dengan wine testing atau coffee testing yang tak berujung. Ditambah lagi bonus mencicipi aneka makanan lezat dalam world’s longest lunch dan pameran produk lokal dan wine serta bir. Tak mengherankan,  selama festival, kota ini selalu dibanjiri wisatawan lokal dan asing.


Tak Sekadar Transit
Pengalaman perdana mengunjungi Melbourne bersama Singapore Airlines terasa begitu menyenangkan. Selain   penerbangan nonstop dari Singapura dengan Airbus A380-800 yang nyaman dan eksklusif, saya juga mendapatkan fasilitas Changi Dollar Voucher (CDV) senilai   40 dolar Singapura (Rp319.000). Berkat fasilitas ini, saya bisa belanja dan makan enak ketika transit di Bandara Changi, Singapura.
CDV ini berlaku untuk satu kali penggunaan di lebih dari 450 outlet retail, makanan, dan layanan di area transit dan area umum terminal 1,2, dan 3. Namun, tidak termasuk outlet di area pengambilan bagasi di terminal kedatangan.
Untuk mendapatkannya, seluruh penumpang Singapore Airlines atau SilkAir wajib menunjukkan e-ticket dan boarding pass penerbangan di 7 counter informasi di terminal 2 dan 3. Yuk, segera rasakan pengalaman seru seperti saya sebelum akhir Juni 2013.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?