Fiction
Mengarak Purnama [3]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Jakarta, 5 hari sebelum keberangkatan


“Kata mamimu, kau dikirim tugas ke luar kota lagi, ya? Ke mana?”

Virlie menghentikan gerak tangannya yang sibuk mengisi sebuah pot dengan tanah. Spontan, matanya melirik ke sosok wanita paruh baya yang sedang disibukkan oleh kegiatan yang sama di sebelahnya. Tanpa sengaja keduanya bertatapan.

Selintas Virlie sempat membaca sebuah isyarat samar di sana, sebelum kemudan bibirnya bergerak ragu menjawab, “Ke Papua, Pi.”

Sehela napas yang panjang dan berat sontak menghampiri ruang dengar Virlie. Dengan caranya tersendiri, Virlie tahu bahwa pria yang sedang duduk di kursi teras tepat di belakangnya keberatan. Benar saja.

“Vir, menurut Papi, kalau bisa, tugas itu kau alihkan saja ke temanmu yang lain. Kau kan tahu di sana tidak aman. Daerahnya masih rawan. Apalagi, dengar-dengar banyak penyakit berbahaya. Apakah kau tega membuat mamimu terus-menerus khawatir selama kau pergi? Sekarang saja dia suka sulit tidur memikirkan kamu. Kasihan, ‘kan?”

Benarkah? Virlie mencoba mencari jawab di wajah maminya. Tapi, kali ini wanita itu sudah kembali membenamkan pandangannya ke sejumlah pot kosong yang siap diisi tanah, seolah pekerjaan itu sangat menyita perhatian. Virlie mendelik kesal sendiri. Seperti yang sudah-sudah, Virlie kembali merasa terkucil.

“Tapi, kalau kantormu ternyata tidak mengizinkan, ya, sudah,” Papi kembali terdengar berkomentar. “Kau keluar saja dari sana. Toh, masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik. Kau kan seorang sarjana ekonomi yang lulus cum laude. Tentunya gampang sekali mencari pekerjaan yang menjanjikan masa depan bagus. Betul, ‘kan?”

Virlie membiarkan hening menyela tanpa sedikit pun niat untuk menjawab. Ia sudah tahu ke arah mana percakapan Papi akan bermuara. Ia akan disuruh mengelola salah satu cabang usaha Papi yang baru dibuka di Surabaya. Sama seperti ketiga saudaranya yang lain, Virlie pun akan dilibatkan dalam bisnis keluarga. Sebuah posisi yang terkadang membuat Virlie selintas berpikir bahwa tujuan dirinya dilahirkan mungkin hanya untuk menjadi bidak catur kerajaan bisnis papinya.

Sebenarnya, pembicaraan sore itu bukanlah pembicaraan pertama yang menyinggung tentang pekerjaan Virlie di bidang sosial kemasyarakatan. Di tahun pertama bekerja pun ia sudah mulai diteror kalimat sindiran dari kakak-kakaknya.

“Daripada capek-capek mengurusi masalah orang lain, lebih baik urus masalah keluarga sendiri sajalah. Toh, kebaikan dan kesuksesannya nanti untuk kita juga,” ucap Alec, kakaknya yang paling tua, saat mereka bertemu di meja makan untuk sarapan.

“Tapi, kalau gajinya besar, aku juga mau, kok, kerja di tempat Virlie,” celetuk Antoni, kakaknya yang nomor tiga dan hanya terpaut setahun lebih tua. “Apalagi, kerjanya asyik. Banyak bepergian. Gratis transportasi dan akomodasi lagi. Benar kan, Vir?”

Sebagai jawaban, Virlie hanya tersenyum masam. Ia tahu Antoni berusaha membelanya, tapi tidak berhasil. Meski dulu mereka cukup dekat dan sering berbagi rahasia, Virlie tahu bahwa kakaknya itu sama saja dengan yang lain. Tidak tahu dan tidak akan pernah bisa mengerti bahwa yang ia cari dari pekerjaannya bukanlah uang, pun kesuksesan.

“Lalu, apa kalau begitu? Popularitas? Ah, Mei-mei (adik kecil). Tidak mungkinlah kau langsung bisa menyaingi Bunda Teresa dan menerima nobel perdamaian hanya gara-gara sekali-dua mengunjungi pengungsi gempa dan tsunami. Koran pun tidak akan memuat namamu. Memangnya kau ini siapa?” sindir tajam kakak keduanya, Alvin, pada sebuah kesempatan lain saat ia ditanya tentang tujuannya bekerja di LSM.

Berbeda dari ketiga kakaknya, Virlie, si bungsu dan satu-satunya anak perempuan, sadar dirinya berbeda. Sejak kecil, ia tidak pernah bercita-cita menjadi orang kaya seperti harapan Alec, atau profesor serupa keinginan Alvin, atau menjadi idola seperti impian Antoni.

Virlie kecil hanya ingin menjadi perawat, lalu berubah ingin menjadi guru saat duduk di bangku SMP, dan akhirnya memilih menjadi aktivis sebuah organisasi saat masih kuliah. Virlie juga tidak seperti Alec yang terobsesi kekayaan, atau Alvin yang selalu ingin menjadi yang terbaik dalam hal apa pun, atau Antoni yang selalu menjaga penampilan dan citra diri. Virlie lebih suka kesederhanaan, menikmati proses bersusah payah demi memperoleh hasil yang diinginkannya, dan bisa merasa bahagia sepanjang hari, hanya karena menerima senyum terima kasih dari seseorang yang ditolongnya di jalanan.

Sejumlah sifat yang ditebaknya sebagai warisan dari Mami, yang malah sering dijadikan olok-olokan oleh Alec dan Alvin sebagai sifat ‘wanita kolot yang tidak mau maju’. Sama sekali bukan ciri khas Papi, kecuali satu: keras kepala.

Mungkin itulah yang membuat Virlie sering merasa terasing dan terkucil di rumah sendiri. Salah satu alasan yang membuatnya lebih sering bergaul di kampus atau di sekretariat bersama teman-teman seorganisasi, dan yang kemudian membuatnya memilih bekerja seperti sekarang.

Batuk-batuk Papi yang cukup keras menyela lamunan Virlie. Belum sempat ia mengingat pertanyaan terakhir Papi yang sengaja digantungnya, kembali sebuah tanya baru terdengar lagi.

“Virlie, Papi hanya ingin kau pikirkan baik-baik perkataan Papi tadi. Tentang kekhawatiran mamimu dan pekerjaanmu. Kau mau, ‘kan?”

Sedetik Virlie sempat terdiam sebelum menjawab, “Yah, kalau cuma memikirkan, sih, tidak masalah, Pi. Aku....”

“Yang Papi minta bukan sekadar memikirkan, Virlie,” sela Papi, cepat. “Tapi, juga menimbang dan memutuskan. Menimbang tentang kemungkinan pekerjaan lain yang lebih baik dan memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri dan masa depanmu. Bagaimana?”

Ah, omong kosong apa lagi itu?

Ingin rasanya Virlie berteriak begitu karena baginya kalimat Papi sangat terasa palsunya.

Seingat Virlie, tak pernah sekali pun Papi membiarkan anak-anaknya memilih yang terbaik untuk diri mereka. Papi bukanlah seorang yang demokratis, meski ia selalu menawarkan kebijakan dalam bentuk kata-kata. Ia seolah memberikan pilihan, tapi pada akhirnya ia sendiri yang akan memilihkan. Ia seolah teman yang memberikan dukungan, tapi bisa langsung berbalik menjadi lawan yang menjatuhkan jika segala sesuatu tak sesuai keinginannya. Virlie yang sudah muak menjadi boneka Papi, mulai menunjukkan perlawanan. Egonya tertantang.

“Baiklah jika itu keinginan Papi. Aku akan memikirkan, menimbang, dan memutuskan yang terbaik untukku,” jawab Virlie, dengan nada sedatar mungkin, mencoba menyembunyikan maksudnya. Ia sedang tak ingin berdebat dengan Papi di sore yang cerah itu. Namun, ketika layar gelap mulai turun menutup senja dan Papi telah menyeret langkah masuk ke dalam rumah, Virlie mendapatinya egonya luruh di depan tatap layu Mami.

“Vir, jangan lupa, semua yang Papi lakukan itu untuk kebaikan kamu juga, Nak. Asal kamu tahu, Mami selalu ada di belakang Virlie. Mendukung apa pun pilihan Virlie dalam doa. Tolong kamu mengerti Mami, ya?”

Duh, Mami. Kenapa kau begitu lemah? Atau, apakah memang harus seperti itu takdir setiap wanita dalam keluarga ini?


Penulis: Anindita Siswanto T.






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?