Fiction
Mengarak Purnama [1]

28 Sep 2011

Elen

Malam ini malam Minggu. Saat yang bagi orang lain mungkin dianggap tepat untuk bersenang-senang. Tapi, tidak dengan Elen. Ia telah lupa bagaimana rasanya bersenang-senang itu. Apakah seperti perasaan anak-anak yang tertawa lepas saat bermain lumpur dengan babi kesayangannya atau ketika melihat sebuah chopter terbang rendah di langit? Jika memang begitu, berarti benar, ia telah lupa, karena tertawa pun ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir dilakukannya.

Sejak menyandang status sebagai istri di usia 15, beban hidup yang dipikul Elen makin lama makin berat, hingga mendesak keluar semua ceria, harapan, bahkan impiannya. Masalah yang menderanya seolah tak habis-habis hingga tidak menyisakan sedikit pun kesempatan pada bibirnya untuk melengkungkan senyum, apalagi tawa.

Tapi, sudahlah. Elen sadar sekarang bukan lagi masanya melakukan itu. Bersenang-senang hanya milik kaum pria, seperti kata suaminya, Yonas, “Tong laki-laki trapapa senang-senang. Tong su cape kerja cari uang. Kamorang perem urus ko pu paitua dan anak-anak sudah! (Kami laki-laki tidak apa-apa bersenang-senang. Kami sudah capek mencari uang. Kamu perempuan urus saja suami dan anak-anak.)”

Kebenaran kata-kata itu sangat disadari Elen. Sebab, memang begitulah aturan kehidupan berumah tangga yang diwariskan dalam masyarakatnya. Pria dan wanita sama-sama mempunyai tugas penting: bekerja untuk keluarga. Tapi, entah mengapa, ia sendiri tidak paham, pria boleh bersenang-senang dengan hasil kerjanya, sedangkan wanita dilarang.

Hasil kerja wanita, apa pun bentuknya (uang atau hasil kebun), hanya untuk keluarga. Kecuali, yang dalam bentuk uang, harus disisakan sedikit sebagai simpanan, kalau sewaktu-waktu suami yang kehabisan uang meminta. Padahal, jika dipikir-pikir, pekerjaan yang dilakukan Elen jauh lebih banyak dan berat daripada pekerjaan sang suami.

Sebagai seorang buruh bangunan, tugas Yonas memang tidak mudah. Pria itu harus pergi lebih pagi dan pulang jauh malam, sebab tempat kerjanya cukup jauh di pedalaman, daerah transmigran. Jam kerjanya begitu panjang hingga seakan tak ada cukup waktu untuknya beristirahat.

Ketika berangkat kerja, wajah Yonas tampak masih menyimpan tiga perempat mimpi sisa semalam. Ia meninggalkan rumah dengan kaki yang melangkah berat, seolah berusaha menarik paksa separuh jiwanya yang masih melekat di kaki ranjang.

Jika waktu pulang tiba, keadaannya pun tidak jauh lebih baik. Dengan tubuh kotor, ia bagai seekor macan yang berhasil membebaskan diri dari reruntuhan bangunan setelah terperangkap berhari-hari. Kedatangannya ditandai dengan bau cat, abu semen, dan kelelahan yang melimpah. Untuk hari itu, kerja Yonas selesai sudah.

Berbeda dari sang suami yang begitu mudah jatuh terlelap setelah menyantap menu makan malam dengan rakus, Elen justru merasa sebaliknya. Sebagai wanita, tugasnya seolah tidak pernah selesai sejak awal hari hingga waktu tidur tiba.

Sebelum merebahkan diri, ia harus memastikan banyak hal: apakah ketiga anaknya sudah tidur atau belum, apakah semua perabot makan sudah ditumpuk di belakang agar tinggal dicuci subuh nanti, apakah pintu sudah terkunci, dan apakah besok ia harus masak ubi atau sagu, sayurnya daun singkong atau bunga pepaya? Ah, semua itu membuat kantuk enggan singgah.

Namun, bila akhirnya kelelahan yang menumpuk seharian berhasil meredupkan sepasang matanya, ia pun dituntut tetap waspada, jika terdengar tangis bayi Elias, si kecil yang baru berumur satu tahun, yang kerap terbangun di ujung malam karena haus. Jika tidak cepat diatasi, keributan semacam itu bisa mengobarkan amarah sang suami yang kesal karena tidurnya terganggu.

“Dasar wanita tak tahu diri. Tidak tahu mengurus anak. Apakah kau tak lihat saya sedang tidur? Apakah kau mau dipukul?!”

“Ya, Tuhan. Selamatkan aku.”

Hanya sepenggal doa itulah yang berulang-ulang dirapal bibir Elen setiap kali Yonas mencaci-makinya. Karena, sering kali cacian itu disusul hantaman di kepala atau wajah. Doa sederhana yang cukup ampuh menenangkan hatinya yang teraniaya.

Pria itu tidak tahu bahwa apa pun yang ia lakukan seharian, ketiga anak mereka tak pernah lepas dari pengawasannya. Baik saat bekerja di rumah atau di kebun kecil di halaman belakang. Bahkan, di saat harus pergi ke pasar pun anak-anak itu dibawanya serta.

Si sulung, Lius, yang sudah enam tahun disuruhnya berjalan dekat di sebelahnya. Eva yang masih balita digendongnya di sisi tubuh. Sedangkan bayi Elias dibawanya dalam noken (tas rajut khas Papua) yang tergantung di atas kepala bersama barang bawaan. Sementara itu, si bungsu yang belum lahir terus membonceng di perutnya.
Tidakkah ia patut mendapat sedikit penghargaan berupa kesempatan tidur di malam hari, atau setidaknya sejumput pengertian atas ketidaksigapannya saat melakukan salah satu tugas sebagai istri atau ibu pada suatu kesempatan?

Tentu saja tidak!

Elen sangat tahu suaminya bukan tipe pria yang pengertian. Elen juga sangat mengenal sifat pria itu yang begitu egois dan ringan tangan. Tak jarang, Elen bahkan mulai yakin bahwa Yonas sering lupa bahwa dirinya sudah menikah dan menjadi bapak dari enam orang anak. Meninggal tiga, tapi akan bertambah satu tak lama lagi. Salah satu bukti, pria itu kerap membuatnya menunggu dalam cemas di setiap malam Minggu seperti sekarang, saat upah mingguan dibayarkan.

“Oh, Kakak. Kau ada di mana? Jangan habiskan semua uang itu, Kakak. Ingat anak-anakmu.“

Tanpa henti, pesan itu berusaha ditumpangkan Elen bersama angin yang berhembus sunyi. Berharap semoga sang suami yang sedang bersenang-senang entah di mana bisa mendengarkan.

Di luar malam menggelap pekat.

Virlie

Masih ada beberapa tumpuk berkas yang menunggu untuk disentuh di ujung meja. Padahal, setumpuk lain di depannya masih jauh dari selesai untuk dikerjakan. Virlie meluruskan punggung dengan setengah putus asa. Ia tidak bisa memastikan apakah semua berkas itu bisa selesai ia baca dalam semalam, dan apakah setelahnya ia masih bisa membuat laporan tentang semua itu. Sungguh ia tidak yakin.

Wanita itu memaksa matanya tetap terbuka dengan kembali meneguk sisa kopi dan mengudap camilan jagung bakar. Makanan yang cukup mengenyangkan dan katanya banyak tersedia pada jam-jam selarut ini di kota kecil tersebut.

Kota kecil di ujung paling timur negeri ini. Kota yang mengaduk-aduk perasa¬annya, ketika pertama kali tiba beberapa hari lalu, setelah perjalanan kurang-lebih 10 jam dari Jakarta, yang diselingi transit di bandara Makassar dan Biak, lalu ganti pesawat di Jayapura.

“Oh, yang ini namanya Merauke?”

Virlie masih ingat komentar spontan yang terlontar dari mulutnya, saat melihat pemandangan yang menyambut di bandara. Ruangan yang dijejali sosok tubuh berkulit sekelam malam dan berambut serimbun semak. Udara yang dipadati aroma tubuh yang menyengat tajam. Wajah-wajah beraut keras yang tampak hampir serupa, dengan sorot mata yang dingin dan mengawasi. Semua itu bak sebingkai lukisan realis yang baru pertama kali dilihat Virlie. Menyadarkannya tentang besar tantangan yang menunggu dalam tugas kali ini.

Untunglah Virlie akhirnya menemukan sambutan hangat itu. Di antara kerumunan orang-orang di depan ruang kedatangan, seorang pemuda Komen (orang asli Papua) memberinya senyum lebar yang ramah. Di tangannya, tergenggam selembar karton putih bertuliskan: Virlie dan Anggi.

“Halo. Selamat datang di Merauke. Kenalkan saya Andreas.”


Penulis: Anindita Siswanto T.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?