Fiction
Menemukan Seroja [3]

18 Jan 2013

<<<< Cerita Sebelumnya

“Pernikahan memang bisa membawamu pada luka yang mendalam, seperti aku dan Darrel, tapi aku tidak pernah menyesal menikah.”

Bagian 3
Kisah Sebelumnya:
Sudah sejak usia 17 tahun Verna bercita-cita menulis buku tentang bunga seroja (bunga lotus). Ia pun pergi ke berbagai negara untuk mengumpulkan data tentang lotus, dan akhirnya sampai di Mesir dan bertemu seorang jurnalis asal Prancis, Edgar, yang meliput Revolusi Mesir 2011. Edgar tertarik pada Verna berkat motif batik pada jaket yang dikenakan Verna.

Kenari Salju Bermata Muram…
    Setelah dua puluh lima menit berjalan melewati jalanan berkelok naik-turun, mereka tiba di sebuah jalan besar dengan jajaran bangunan beton bertingkat yang dihiasi banyak pohon. Di salah satu jajaran bangunan beton itulah apartemen gadis itu berada. Sebuah apartemen dua kamar yang berada di lantai lima.
Gadis itu melangkah menuju kamar tidur untuk mengambil medical kit untuknya, setelah sebelumnya melepaskan jaket batiknya dan meletakkannya pada punggung kursi meja kerja di depan jendela. Dalam balutan sweater hitam model turtle neck, celana jeans biru pudar dan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai, ia tampak memesona, apalagi melihatnya di bawah terang sinar lampu.
Edgar baru menyadari gadis itu lebih cantik dari yang tertangkap oleh kameranya, atau pandangannya pada gadis itu telah berubah karena segala prasangka sudah terjawab? Benar adanya, hati yang dipenuhi prasangka dan cemburu  sering kali membuat mata buta akan keindahan.
    Edgar melangkah mendekat ke punggung kursi, matanya mengamati dengan teliti setiap goresan, setiap lekukan dan kombinasi warna yang ada pada motif batik di jaket itu. Meski ragu, ia memberanikan diri untuk menyentuhnya. Halus, dan nyata itulah yang dirasakannya, warna yang berpadu indah itulah yang dilihatnya. Batik lukis memang memiliki ciri tersendiri. Motifnya melukiskan pemandangan alam atau kehidupan sehari-hari yang bersinar dan berwarna-warni, membuat sentuhan personal dari seniman batiknya lebih terasa. Teknik pewarnaannya adalah hasil perpaduan seni lukis dan seni membatik, sehingga menghasilkan warna-warna yang lebih tajam.
    “Kamu tertarik pada motif batik di jaketku?” tanya Verna, mengejutkan Edgar. Di tangan kirinya ada sebuah  medical kit dan segelas teh hangat di tangan kanan, lalu mengangsurkannya pada Edgar.
     “Hanya penasaran,” jawab Edgar. “Kamu beli di Pekalongan?”
    “Ya, motif batik ini salah satu karya terakhir dari seniman batik asal Pekalongan, namanya Zufar Havizh,” jawab Verna, sambil memotong sehelai perban untuknya.
Edgar mengalihkan pandangannya ke jendela, ribuan jarum seolah menyerang jantungnya secara bersamaan. Rasa perih  tidak hanya dirasakan keningnya yang terluka, tapi juga seluruh sel tubuhnya. Kini tak ada keraguan lagi, batik ini sungguh karya ayahnya.
“Tapi, aku tidak membelinya,” jelas Verna. “Nenekku yang memberikan padaku dan saudara kembarku. Bunga seroja warna merah muda untukku seperti yang kaulihat, dan bunga seroja warna kuning untuk Zaida.”
    “Nenekmu?”
    “Ya, karena hanya aku dan Zaida cucu perempuannya, dan hanya kami berdua yang lahir, besar dan memilih tetap tinggal di luar negeri, aku di Paris dan Zaida di Tokyo, kota-kota di belahan bumi utara. Motif dalam batik ini adalah seekor burung kenari salju, yang berasal dari Kutub Utara, dan bunga seroja, bunga yang dikenal berhubungan erat dengan budaya Asia.
Bagi nenekku, kami si  burung kenari salju itu, dua ekor burung yang terbang bebas di belahan bumi utara, sedangkan bunga seroja menunjukkan asal kami, Indonesia, dan seniman batik yang berasal dari Pekalongan, sama dengan darah yang mengalir dalam diri kami. Ayah dan ibuku asli Pekalongan.
Nenekku membuatnya menjadi dua jaket, karena jaket bisa dibawa kapan saja. Saat matahari bersinar terik bisa dijadikan pelindung agar kulit tidak menjadi gelap, saat hujan bisa dijadikan payung darurat, dan saat dingin bisa dijadikan penghangat tubuh. Di mana pun kami berada, beliau minta agar kami selalu membawanya, untuk mengingatkan bahwa meski lahir, tumbuh besar, dan sesukses apa pun kami di luar negeri, kami tetaplah  orang Indonesia, dan lebih dalam lagi kami orang Pekalongan,” jelas Verna panjang lebar.
“Dan rasanya pendapat nenekku itu terbukti benar. Hari ini kamu menolongku karena aku pakai jaket batik ini, ‘kan? Kamu jadi tahu aku orang Indonesia, bahkan asal batikku.”
“Emh….eh…tidak, yang kulakukan tadi itu spontan,” ujar Edgar, kikuk. Ia betul-betul tidak tahu apa yang mendorongnya masuk dalam kericuhan di Midan Tahrir, lalu menarik tangan Verna.
    “Tapi  tadi di jalan kamu bertanya asal batik ini, sepintas  kamu berkata pernah tinggal di Pekalongan dan aku perhatikan, kamu memiliki ketertarikan pada motif yang ada di jaketku?” tanya Verna, matanya memicing.
     “Sudahlah….yang tadi aku ucapkan di jalan hanya asal ngomong.” Edgar mengibaskan kedua tangannya. “Oya… katanya kamu menulis buku, tentang apa?” tanya Edgar,  mengalihkan rasa penasaran Verna.
    “Tapi, menurutku, motif batik ini punya kisah tersendiri,” kata Verna, mengabaikan pertanyaan Edgar. “Kata orang, setiap batik  memang punya kisah masing-masing. Coba kamu perhatikan sorot mata dari si kenari salju, tampak muram, ‘kan?” tanya Verna, sambil menyentuh permukaan  mata si kenari. “Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan si seniman.”
    Edgar ikut mengamati sorot mata si kenari salju. Ia sependapat dengan Verna, mata kenari itu seolah menerawang jauh, ada sinar kesedihan di sana.
“Apalagi,” lanjut Verna, ”istri si seniman sebenarnya tidak mau menjualnya, tapi setelah nenekku berkata akan memberikannya kepada dua cucunya dengan pesan seperti yang kukatakan tadi, ia bersedia, itu  pun tidak mau dibayar.”
    “Jadi nenekmu mendapatkannya dari istri si seniman?” tanya Edgar, yang kini kembali terseret dalam rasa penasarannya.
    Verna mengangguk. “Karena merasa tidak enak, maka nenekku menghadiahi istri seniman itu lukisan wayang Dewi Sawitri, karya ibuku, karena menurut nenekku, si istri seniman pantas mendapat predikat seperti Dewi Sawitri.
    “Dewi Sawitri? Kenapa?”
    “Dalam kisah pewayangan, Dewi Sawitri itu adalah anak Prabu Aswapati, raja negeri Madra. Ia memiliki paras elok dengan mata seindah bunga seroja dan  dikenal sebagai istri yang setia.”
    Edgar mendengus kesal. Istri baru Ayah tidak pantas mendapat predikat itu, Mom-lah orang yang pantas mendapatkan predikat istri setia!   
    “Kenapa, ada masalah?” tanya Verna, membuyarkan lamunan Edgar.
    “Oh…tidak aku hanya… hanya…,” Edgar gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa. “Kalau kamu penasaran dengan kisah dari batik ini kenapa tidak kamu tanyakan langsung pada si seniman?” tanyanya, mengalihkan Verna dari kecurigaan.
    “Senimannya kan sudah meninggal.”
    “Kapan?” tanya Edgar kaget. Jadi Ayah juga sudah meninggal. Tiba-tiba sebersit rasa sedih meliputinya, tapi kemudian berusaha ia tepis. Sedetik kemudian ia menyesal sudah bersikap kaget. Bagaimana jika Verna tahu siapa dia. Edgar menatap Verna dengan perasaan waswas, tapi tampaknya Verna tidak memperhatikan keterkejutannya.
Verna mengangkat bahu. “Aku tidak tahu.”

Pagi hampir tiba, Edgar dan Verna larut dalam pikiran   masing-masing. Keduanya menatap ke luar jendela, tampak di kejauhan kepulan asap hitam membubung di langit Midan Tahrir.
    “Kamu menulis buku tentang apa?” tanya Edgar memecah keheningan.
    “Bunga seroja,” jawab Verna singkat.
    “Kamu sangat memuja bunga seroja, ya?”
    “Ya… karena ini.” Verna memperlihatkan cincin di tangan kanannya.
Secercah cahaya matahari pagi yang mulai hadir menyapa kelopak-kelopak berlian putih mahkota cincin, membuatnya berkilauan memesona. Mereka menari-nari dalam gemulai sinar mejikuhibiniu. Edgar menatap tertegun, dan terus tertegun.
    “Kisah tentang bunga seroja yang akan membuka pintu keajaiban dunia arkeologi,” tambah Verna, dengan mata berkilau cahaya.
     Setengah mati Edgar menahan senyum geli yang spontan menghiasi bibirnya. Bagaimana mungkin Verna masih percaya di dunia yang  makin egoistis ini  ada yang namanya keajaiban?
    Verna menatapnya. “Hanya orang apatis yang memandang remeh cita-cita orang lain!” gumannya pedas.
     “Maksudmu aku orang apatis?” Edgar balas menatap Verna.
    Bola mata hitam Verna beradu dengan bola mata biru langit Edgar. Keheningan memuai di udara. Angin musim dingin yang bertiup semilir ikut mendinginkan hati mereka.
    “Tidak…,” bantah Verna sambil memalingkan wajah. ”Aku hanya mengatakan hanya orang apatis…”    
    “Ok…ok…,” potong Edgar. “Sudah berapa halaman yang kau hasilkan?” Matanya beralih pada tumpukan kertas  di meja.
    Hening. Edgar menunggu jawaban Verna, yang tengah menatap ke arah langit pagi yang dipenuhi formasi puluhan burung kicuit putih.
“Tiga puluh halaman yang sia-sia,” jawab Verna lirih. “Aku sedang mencari co-writer. Aku tidak pandai menulis cerita.”
Edgar tersenyum lebar. “Kalau begitu aku melamar jadi co-writer-mu,” katanya, penuh keyakinan.
Verna kembali menatapnya. Alis kanannya terangkat, “Kamu penulis?”
    “Ya,” jawab Edgar, sambil membalas tatapan Verna. “Aku penulis sekaligus wartawan majalah berita.”
    “Apakah kamu sanggup menulis cerita untuk anak-anak dengan gaya  santai dan mudah dimengerti sekaligus mengandung referensi ilmiah?” tanya Verna, masih dengan alis kanan terangkat, ada segores keraguan di bibirnya.
    “Bukannya… tadi kamu bilang hanya orang apatis yang memandang remeh orang lain?” Edgar balik bertanya. Ia tersenyum penuh kemenangan.
    “Ya… tapi tidak pada konteks ini. Aku kan belum pernah membaca tulisanmu!” bantah Verna sengit.   
    Tiba-tiba ponsel Edgar berbunyi. Ia memberikan isyarat pada Verna akan menerima panggilan itu di luar. Lima menit kemudian ia kembali.
“Sorry aku harus segera pergi. Terima kasih untuk obat dan perbannya,” Edgar menunjuk dahinya, “dan teh hangat,” ia menunjuk ke gelas kosong di meja. “Have a nice day…,” katanya, sebelum beranjak pergi. Tapi kemudian, ia berbalik lagi sambil menyerahkan sebuah majalah berita ke Verna.
“Di halaman 79 ada laporanku tentang Jasmine Revolution, bacalah.” Ia menuliskan sesuatu di secarik kertas.  ”Ini nomor ponsel dan alamat e-mail-ku,” ujarnya, sambil mengangsurkan kertas itu. “Dan….” Edgar menatap Verna, tidak tahu harus berkata apa, tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Ada semacam dorongan dalam hatinya untuk tetap tinggal sejenak, agar bisa menatap bola mata hitam yang meski kadang berisi semburat kemarahan,  ada sesuatu yang damai di dalam sana. Bola mata seperti itukah yang dimaksud dengan bola mata seindah bunga seroja? Hati Edgar berdesir.
“Have a nice day…,” itulah kalimat yang akhirnya terucap dari bibirnya.
“Have a nice day…,” terdengar Verna membalasnya dengan suara lirih.

*****
Literary Journalism….
Mata Verna berkilauan karena air mata yang menggenang. Berkali-kali ia mengerjapkan mata, agar air bening itu tak luruh, tapi akhirnya pipinya tetap saja basah. Membaca kisah Mohammad Bouazizi yang ditulis Edgar membuat hatinya betul-betul tersentuh. Ia bahkan bisa ikut merasakan rasa putus asa pemuda Tunisia berumur 26 tahun itu ketika gerobak buahnya seharga US$ 200 disita petugas.
Bouazizi  sudah menjadi yatim ketika berumur 3 tahun, mulai bekerja serabutan sejak umur 10 tahun. Membuatnya tidak pernah lulus sekolah menengah, padahal ia begitu ingin bisa kuliah karena harus menghidupi keluarganya dan membiayai seorang adik perempuannya untuk kuliah. Meski dalam sebulan penghasilannya hanya US$ 140, ia dikenal sebagai pemuda yang murah hati karena sering memberikan buah dan sayuran gratis untuk keluarga lain yang juga miskin.
Verna juga seolah merasakan rasa panas yang mendera sekujur tubuh Bouazizi setelah ia membakar diri di depan kantor gubernur Kota Sidi Bouzid sebagai bentuk protes gerobak buahnya disita petugas, tapi tak ada yang mengindahkannya. Bagi pemimpin tertinggi negeri dengan bunga melati sebagai bunga nasionalnya itu, aksi Bouazizi di salah satu provinsinya hanya sepercik api tak berarti. Tapi, siapa yang menyangka sepercik api itu sanggup membakar habis kursi kekuasaan kepresidenan yang sudah didudukinya selama 23 tahun dan membuat dirinya terusir dari negerinya. Sepercik api itu pula yang dalam waktu singkat kini telah menyebar begitu cepat bagai virus ganas ke negara-negara tetangga, mengancam satu per satu kedudukan pemimpin pemerintahan otokrasi, tumbang seperti permainan kartu domino.
    Literary Journalism atau jurnalisme sastra adalah gaya penulisan Edgar. Ia menulis berita dalam gaya fiksi dengan memberikan detail-detail potret subjek, dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana, sehingga membuat pembaca dapat terseret masuk dalam sebuah kisah kehidupan. Menyajikan berita dalam cara yang lebih mengena di hati jauh dari kesan membosankan.
    Verna tercenung, lalu senyum lebar menghiasi bibirnya. Tanpa direncanakan, ia sudah menemukan seorang penulis yang sanggup membantunya untuk menghidupkan jiwa dari novel anak-anaknya: Finding Lotus (Menemukan Seroja).
*****
Paris,  Februari 2012
Emberiza Berkepala Hitam…
    Tiap kali mendengar suara burung berkicau, telinganya selalu tegak berdiri, seperti seekor kelinci yang waspada, seolah kehadiran si burung bersama kicauannya membawa sebuah pesan alam untuknya. Dengan sigap ia akan meraih kameranya, kemudian mencari asal suara nyanyian itu berada, siap mengabadikan sosok si pembawa pesan.
 Di pagar balkon kamarnya, tampak hinggap seekor burung berukuran sekitar lima belas sentimeter, paruhnya pendek, runcing, berbentuk kerucut. Bulu di kepalanya berwarna hitam seperti rambut, tubuhnya perpaduan warna kuning cerah dari leher hingga perut, sedangkan di punggungnya berwarna cokelat kemerahan, dan garis-garis pada sayapnya berwarna cokelat tua dan abu-abu gelap. Mata burung itu bulat dan hitam. Emberiza berkepala hitam, adalah nama si burung. Apa yang dilakukannya di Paris di awal musim semi ini? Bukankah burung ini hanya ada di Spanyol dan Italia? Pesan apakah yang ingin disampaikannya? Berbagai pertanyaan memenuhi benaknya, sebelum akhirnya ia membidikkan kameranya pada sosok burung yang cantik itu.
    “Hasil yang bagus,” ujar Edgar pada diri sendiri, sambil mengamati sosok si emberiza berkepala hitam. Melihat kecantikannya, membuatnya teringat pada sosok gadis yang selama lebih dari sepuluh bulan ini diam-diam mengisi relung hatinya. Gadis itu juga berambut hitam, dengan mata bulat hitam yang cemerlang. Seperti emberiza kepala hitam yang seolah menggunakan jaket batik, gadis itu juga senang menggunakan jaket batik. Edgar membuka sebuah file foto yang ada di laptop-nya. Matanya yang biru kini mengamati foto Verna yang tengah berdiri di antara massa prodemokrasi di Midan Tahrir. Ia tersenyum, setangkup harapan mengisi benaknya, semoga Verna juga merasakan hal yang sama dengan dirinya.
    “Elle a du chien!” {baca: el a du syiang/dia cantik!} kata Danica, sambil menyentuh pundak Edgar.
    Edgar tersenyum pada kakaknya itu, lalu mengangguk.
     “Jika kau betul-betul mencintainya, kenapa kau tidak melamarnya di hari ulang tahunnya. Bukankah kamu pernah bilang dia ulang tahun di bulan Maret?” tanya Danica.
    “Hubungan kami cuma hubungan kerja,” sahut Edgar, lirih.
    “Bukan berarti tidak ada cinta, ‘kan?” kejar Danica. “Melihat kalian ketika sedang bersama seperti sedang menonton film drama romantis. Penonton bisa menangkap sinyal cinta di antara dua tokohnya, tapi sepasang tokoh itu seolah berusaha menutupi perasaan masing-masing,” katanya lagi sok tahu.
     “Buat apa menikah. Lebih baik seperti ini. Menikah hanya akan membuat dua orang yang saling mencintai menjadi dua orang yang saling membenci, seperti kamu dan Darrel, atau membawa luka, seperti Mom dan Ayah!” sahut Edgar pedas.
    “Pernikahan memang bisa membawamu pada luka yang mendalam, seperti aku dan Darrel. Tapi, aku tidak pernah menyesal menikah, karena yang salah bukan pernikahan itu, kamilah yang salah, dua orang yang tidak sanggup berbaik hati menerima kekurangan pasangan semudah kami menerima kelebihan pasangan,” kata Danica, bijak. “Pernikahan juga bisa membawamu pada penemuan cinta sejati, seperti Mom dan Ayah, dan kamu tidak akan tahu sebelum menjalaninya.”
    Edgar membalikkan tubuhnya, memandang Danica dengan mata sinis. Ada sorot kebingungan dan kejengkelan di sana.  “Apa ditinggal menikah lagi dengan gadis muda disebut cinta sejati?” bantahnya, sengit.
    Danica menghela napas. Matanya menatap emberiza berkepala hitam yang kini tengah mematuk-matuk. “Sepertinya sudah saatnya kamu tahu kisah sebenarnya,” kata Danica, matanya berkaca-kaca.
    “Maksudmu, kisah apa?”
    “Bahwa Mom dan Ayah tidak pernah bercerai. Bahwa Ayah tidak pernah menikahi gadis muda.” Danica kini menangis.
    “Tapi kamu sendiri yang bilang, ketika Ayah tidak pernah datang.”
    Danica mengangguk-angguk, tubuhnya bergetar. ”Iya…iya…semua aku yang bilang, aku yang salah. Aku yang berkata tanpa bertanya pada Mom, hanya menduga-duga. Karena hari itu Mom pergi ke Pekalongan tanpa penjelasan, lalu ketika kembali langsung mengajak kita tinggal di Le Havre dan menjalani hidupnya dengan mata sembap hampir  tiap hari!” jelas Danica, dengan air mata yang membanjiri pipinya.
Edgar menunggu hingga Danica tenang. Bisa dirasakannya sesuatu mengaduk-aduk perutnya dan mulutnya mulai terasa pahit.
    “Sebulan sebelum Mom meninggal,” Danica memulai ceritanya sambil menyusut sisa tangisan di ujung matanya, “Mom meminta aku untuk menikah dengan Darrel. Hari itu aku mengatakan hal yang sama dengan yang kau katakan tadi soal menikah. Lalu Mom menceritakan semuanya….” Danica terdiam.
    “Cerita apa?” kejar Edgar penasaran
    “Bahwa… enam hari setelah kita berangkat ke Paris, rumah kita di Pekalongan dirampok orang. Ayah, Eyang Putri, dan....”
    “Dan apa….?!” tanya Edgar mulai tidak sabar
    “Mbok Sum, Tante Mirna serta suaminya, Om Yudo… semua tewas dibunuh kawanan rampok itu,” lanjut Danica, dengan suara bergetar. “Meski perampoknya akhirnya tertangkap dan dihukum mati,   itu tidak mengembalikan keluarga kita.” Danica kembali menangis.
    Mendengar akhir cerita Danica membuat mata Edgar berkunang-kunang, dan ia benar-benar ingin muntah. “Lalu kenapa Mom, tidak pernah menceritakan yang sebenarnya pada kita?” tanya Edgar tergugu. “Membuat kita menduga-duga, membuat kita membenci Ayah, dan menuduhnya dengan jahat, membuat kita….”
    “Karena Mom ingin hanya dirinya sajalah yang merasakan kepedihan itu. Ia tidak ingin kita hidup dalam trauma, dendam dalam hati, dan menyalahkan takdir,” jawab Danica.
    “Tapi membiarkan kita hidup dalam tuduhan jahat pada mereka berdua? Membuat kita apatis dengan pernikahan?” tanya Edgar, kesal.
    “Mom hanya mencoba melakukan yang terbaik menurutnya. Bagaimanapun juga,  tidak ada manusia yang sempurna,” bela Danica.
    “Lalu, bagaimana  kau bisa bilang Ayah menikahi gadis muda?” (Bersambung)

Deasy Wirastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?