Fiction
Menemukan Seroja [2]

18 Jan 2013

<<<< Cerita Sebelumnya

Jika gadis itu saudara tiriku, kenapa umur kami hampir sepadan?  Edgar bertanya dalam hati.

Bagian 2
Kisah Sebelumnya:
Sudah sejak usia 17 tahun Verna bercita-cita menulis buku tentang bunga seroja (bunga lotus). Keinginan yang terpicu setelah ia dan saudara kembarnya masing-masing mendapat cincin berukir seroja dari ibundanya. Ia pun pergi ke berbagai negara untuk mengumpulkan data tentang lotus, dan akhirnya sampai di Mesir. Sementara Edgar, seorang jurnalis, juga harus meliput revolusi Mesir 2011.


Kairo, Februari 2011

Kisah Si Elang…..
    Edgar mengedarkan pandangannya pada lautan manusia di Midan Tahrir. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, mahasiswa, profesor, politikus, pengusaha, pengacara, penjual roti isy sampai peminta-minta berkumpul di lapangan yang selalu menjadi episentrum gerakan pembaruan sosial di Mesir sejak dibangun pada abad ke-19.
Pohon-pohon rindang di sekitar lapangan bergoyang perlahan, jalan-jalan lebar yang mengelilinginya membiarkan tubuhnya disentuh oleh aneka rupa alas kaki para pendemo. Dan museum nasional tempat topeng kematian Raja Tutankhamun berada menatap keramaian dari arah utara. Gelombang suara riuh ramai bercampur dengan  semangat kebersamaan dan perjuangan adalah atmosfer yang selalu hadir sejak tanggal 25 Januari.
Melalui sebuah kamera dengan view yang sudah diperbesar, kini Edgar mulai memfokuskan matanya pada orang per orang, objek-objek, gerakan-gerakan, dan percakapan-percakapan untuk menangkap detail kecil tetapi penting yang bisa mendukung laporan eksklusifnya. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang hanya terdiri dari kelompok prodemokrasi yang menuntut presiden untuk mundur, hari ini hadir kelompok pendukung presiden yang meneriakkan kecaman kepada kelompok prodemokrasi.
Edgar memutuskan untuk mengambil objek dari kelompok pendukung presiden terlebih dulu. Kelompok yang baru saja datang secara bergelombang sejak tadi siang. Berbeda dari kelompok prodemokrasi yang berpenampilan rapi juga modis karena sebagian besar adalah mahasiswa, kelompok pendukung presiden berpenampilan lebih sederhana. Komposisi mereka juga berbeda karena selain terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, juga ada anak-anak.
Melihat mereka memenuhi jalanan seperti rombongan keluarga yang sedang berpiknik. Sebagian besar mereka berjalan kaki, tapi ada yang menggunakan mobil juga motor, bahkan naik kuda dan unta. Edgar mulai membidikkan kameranya.
Detik pertama, kameranya membidik kelompok lelaki setengah baya yang semuanya membawa bendera Mesir dalam ukuran kecil yang terbuat dari plastik bertangkai hijau. Detik kedua, kameranya membidik dua orang pemuda berboncengan  membawa poster bagus dengan pencetak digital bergambar sosok presiden yang dielu-elukan. Detik ketiga, kameranya membidik rombongan ibu-ibu menenteng tas plastik besar, dari kantong plastik yang terawang terlihat roti isy, roti tradisional Mesir yang akhir-akhir ini harganya naik berlipat-lipat.
Detik keempat, Edgar memutuskan mengalihkan objeknya pada kelompok prodemokrasi, kameranya membidik seorang pemuda berjenggot tipis dengan lilitan kafiyeh di lehernya. Matanya penuh cahaya dengan bibir tak henti-henti meneriakkan yel-yel yang sarat keinginan akan adanya perubahan.
Detik kelima, kameranya membidik  ayunan tangan penuh semangat seorang laki-laki tua pembawa bendera berwarna merah-putih-hitam dengan sosok Elang Saladin berwarna emas. Detik keenam, kameranya membidik barisan mobil anti huru-hara berjajar di depan gedung-gedung. Satu peleton pasukan anti huru-hara dengan senjata lengkap berdiri menghadang. Detik ketujuh, kameranya membidik kumpulan ibu-ibu berpakaian abaya hitam sedang membawa poster-poster seadanya berisi slogan-slogan pembaruan.
Detik kedelapan, kameranya siap membidik sesosok perempuan muda tapi kemudian terhenti. Edgar kembali memperbesar fokus kameranya dan ia tersentak. Ada sesuatu dalam diri perempuan itu yang membuat Edgar terkesima. Bukan hanya wajah Asia-nya yang bersih dengan pipi bersemu merah, atau matanya yang bulat cemerlang, atau juga bibirnya yang merah muda segar, tapi sesuatu yang dikenakannya.
Wanita itu mungkin berumur sekitar 25 tahunan, tingginya sekitar 165 sampai 170. Ia tampak sama rata dengan gadis-gadis Mesir yang berdiri di sekelilingnya. Tubuhnya kurus dan… yang membuat deburan jantung Edgar nyaris terhenti adalah gadis itu menggunakan jaket dengan motif batik yang tidak biasa.  Motif batik yang mengingatkan Edgar pada sebuah kenangan pahit dalam hidupnya, dan tanpa sadar kameranya pun membidik sosok si gadis.
    Malam  makin larut, suasana di Midan Tahrir makin riuh. Tapi, tidak bagi Edgar, ia merasa segalanya menjadi hening dan  tiap gerakan manusia yang dilihatnya menjadi slow motion. Dalam termangu ia memancang pandangannya pada sosok itu, yang dilihat tanpa  kamera ia bagai setitik buih  di tengah samudra luas.  
Tiba-tiba Edgar merasa tubuhnya menciut, mulutnya menjadi paruh yang saling berkait, kedua tangannya berubah menjadi dua sayap berpelepah bulu yang lebar juga kokoh, dan jari-jarinya berubah menjadi cakar-cakar yang tajam dan kuat. Ia kini menjelma menjadi seekor elang berwarna cokelat emas yang langsung melesat terbang menembus awan, melewati angin, menempuh ribuan kilometer untuk kemudian hinggap di ranting pohon jambu air di depan sebuah rumah bergaya kolonial bercat putih di sebuah kota di pesisir utara Jawa Tengah, Kota Pekalongan.

      ******

    Kota Pekalongan adalah kota asal ayah Edgar. Ayahnya adalah seorang seniman batik lukis, bertemu dengan ibu Edgar, seorang gadis Prancis ketika menempuh pendidikan di sebuah sekolah seni di Paris. Jalinan persahabatan yang kemudian menjadi cinta membuat mereka memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, ayah Edgar mengajak istri Prancis-nya kembali ke Indonesia. Mereka tinggal di Pekalongan untuk meneruskan mengelola pabrik pembuatan batik yang diwariskan secara turun-temurun. Danica dan Edgar lahir dan tumbuh besar di kota itu, sampai Danica berumur 16 tahun dan Edgar 14 tahun.
    Edgar menekan dadanya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul seiring dengan hadirnya kembali kenangan pahit dalam keluarganya.  
 Mom, Danica, dan Edgar pergi ke Paris untuk menengok Grandpère (baca: Grangper=Kakek) yang didiagnosis terkena kanker pankreas. Sedangkan Ayah akan menyusul seminggu kemudian. Tapi, siapa yang menyangka, itu akan menjadi awal kehidupan baru yang menyedihkan bagi mereka.
Ayah tidak pernah datang, malahan sebulan kemudian Mom dan Ayah bercerai. Sekitar enam bulan berikutnya, Danica memberi tahu Edgar sebab perceraian Mom dan Ayah karena Ayah menikah lagi dengan seorang gadis muda. Edgar meringis, kegetiran kini membuat lambungnya perih.
    Sejak saat itu mereka bertiga tinggal di Prancis, tepatnya di Le Havre. Mom bilang,  alasan mereka tinggal di sana, karena seperti Pekalongan, Le Havre juga kota pelabuhan. Pekalongan terletak di sebelah utara Jawa, dan Le Havre di sebelah utara Prancis. Jika Pekalongan menghubungkan dua kota besar di Indonesia: Jakarta dan Surabaya, Le Havre menghubungkan dua negara besar di dunia: Inggris dan Prancis.
Tiga alasan yang membuat baik Danica maupun Edgar kesal pada Mom. Bagaimana mungkin Mom sengaja memilih tinggal di kota yang mempunyai ciri hampir sama dengan kota tempat kelahiran dan tempat tinggal laki-laki yang telah mengkhianatinya? Dan, apa yang dilakukan Mom itu  belum seberapa jika dibandingkan dengan hal khusus yang dilakukannya untuk mengenang cintanya kepada Ayah.
Tiap tanggal ulang tahun Ayah, Mom selalu memaksa mereka merayakannya, dan di hari itu Mom selalu menggunakan gaun batik bermotif seekor burung kenari salju yang sedang hinggap di bunga seroja, salah satu motif batik kreasi Ayah dari seri motif batik yang menggunakan keindahan sosok burung sebagai inspirasi utama.
Cinta memang buta dan naïf, itulah pendapat Edgar dan Danica tentang Mom. Mereka hanya bisa diam, tidak berani protes, karena suatu saat ketika Danica menolak merayakan ulang tahun Ayah, di luar dugaan Mom tidak marah, tapi malahan mengurung diri selama berhari-hari dan mengalami dehidrasi. Takut terjadi sesuatu pada Mom, akhirnya tahun-tahun berikutnya mereka memilih menuruti saja permintaannya.     
Dan gadis berwajah Asia yang berdiri di antara massa prodemokrasi itu menggunakan motif batik yang sama dengan motif batik di gaun yang selalu digunakan Mom saat ulang tahun Ayah. Batik lukis yang disimpan sebagai koleksi pribadi Ayah, tidak untuk di jual. Maka, gadis itu pastilah seseorang yang spesial buat Ayah.
Ada 3 lembar batik dengan warna bunga seroja yang berbeda: putih, merah muda, dan kuning. Jika Mom memiliki motif dengan bunga seroja berwarna putih, dan gadis itu menggunakan motif bunga seroja berwarna merah muda, lalu siapa pemilik motif bunga seroja berwarna kuning? Ibunyakah? Apakah gadis itu saudara tirinya?
Tiba-tiba Edgar merasa kepalanya mulai berputar, rasa  marah dan cemburu  menelusup bagaikan kabut,  menggelapkan hatinya.
    Jika gadis itu saudara tiriku, kenapa umur kami hampir sepadan?  Edgar bertanya  dalam hati. Atau dia adalah anak bawaan dari istri baru Ayah? Tapi, bukankah Danica bilang Ayah menikahi seorang gadis muda? Kalaupun aku punya adik, seharusnya  berumur 17 tahun dan tidak mungkin istri baru Ayah punya anak bawaan yang berumur sekitar 3 sampai lima tahun di bawahku. Satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaanku hanya Ayah…,
    “Ayah,” bisiknya. Genap delapan belas tahun Edgar tidak pernah bicara, apalagi bertemu dengannya. Bagaimana kabar Ayah sekarang? Apakah Ayah tahu, Mom -- perempuan yang mencintainya begitu dalam-- sudah meninggal 5 tahun yang lalu?  Tanpa bisa ditahan, Edgar merasa pelupuk matanya menghangat, dan pandangannya mulai berkaca-kaca.

*****
Dua Sisi Mata Pedang…
“Apa yang Anda lakukan di sini? Anda tidak punya kepentingan sama sekali. Anda tidak terlibat dalam perjuangan ini? Pulanglah atau Anda akan....” adalah pertanyaan dan komentar yang pantas ditujukan kepadanya, seorang perempuan Indonesia tulen yang sungguh tidak punya kepentingan sama sekali.
Berada di antara mereka hanya untuk mengikuti hasrat keingintahuan, namun tidak ada seorang pun yang bertanya atau berkomentar padanya. Mereka yang terdiri dari ribuan laki-laki dengan kafiyeh di leher, perempuan berabaya dan berkerudung hitam atau jaket modis dengan rambut berwarna cokelat mahogany yang dibiarkan tergerai bebas, yang berasal dari berbagai umur, berbagai status, berbagai profesi terlalu sibuk dengan harapan pembaruan, tidak menyadari atau tidak peduli dengan kehadirannya yang ikut berdiri di Midan Tahrir.
Mereka berteriak, menyerukan yel-yel menuntut presiden yang sudah berkuasa  selama 30 tahun untuk segera mundur. Mereka sudah lelah dengan kenaikan harga isy, dengan pengangguran di mana-mana, mereka ingin perubahan, mereka ingin demokrasi, bukan otokrasi.
     Verna menyadari kehadirannya di tengah gerakan prodemokrasi rakyat Mesir mempunyai alasan paling dangkal. Hanya ingin tahu. Ingin merasakan bagaimana demonstrasi yang mengerahkan begitu banyak orang berlangsung, karena ia tidak pernah ikut dalam gerakan semacam ini. Hidupnya adalah hidup untuk memperjuangkan ambisi diri sendiri, cita-cita sendiri, berkutat dalam buku-buku tebal, tenggelam dalam penelitian-penelitian, atau berada ribuan kilometer dari rumahnya untuk terlibat dalam penggalian situs-situs.
Dan hari ini ia menyadari satu hal, berada di antara orang-orang berwajah penuh semangat dan harapan ternyata sanggup menghidupkan hati. Ia merasa hidup…!
    Di antara gadis-gadis muda berjaket modis,  Verna ikut berteriak, ikut ber-yel-yel, ikut larut dalam semangat perjuangan yang kini memenuhi udara, menghangatkan tubuhnya dalam kepungan udara bersuhu 11 derajat Celsius.  Hingga hawa dingin kini menjadi  panas oleh semangat yang membara, hingga  tiba-tiba sebuah batu mengenai pelipis seorang gadis di sampingnya.
    Sesaat kemudian batu-batu  makin banyak beterbangan mengenai orang-orang di sekitarnya berlanjut dengan aksi saling dorong, dan tak lama kemudian  terdengar suara letusan bertubi-tubi seperti bunyi petasan di tahun baru Cina, menambah keributan dan kepanikan, membuat  tiap orang berlari ke berbagai arah untuk menyelamatkan diri. Dan sebuah tangan menariknya, tubuhnya terdorong, terjengkang, tapi tubuh laki-laki pemilik tangan itu terus memaksanya berdiri, berlari menembus kerumunan massa yang  makin cheos di antara bunyi senjata api dan molotov yang meletus dan teriakan di sana-sini.
    Verna dan laki-laki itu terus berlari, sampai napas mereka tersengal-sengal, sampai rasanya Verna ingin berhenti dan menyerah saja, sampai pikirannya menjadi benar-benar blank. Lalu tiba-tiba segalanya menjadi sunyi. Verna terenyak, ia dan laki-laki itu sudah tiba di sebuah jalan kecil yang gelap. Mereka berhenti berlari, dan laki-laki itu terduduk di sampingnya,  uap napasnya menggelantung di udara.
“What have you done?! You can be killed..! Don’t you know  bullets are “blind” in situation like that?” Laki-laki itu membentaknya dalam napas yang masih tersengal-sengal.
 “Sorry….I.. was…,” Verna tidak melanjutkan kalimatnya, napasnya seperti mau putus. Ia tidak pernah berlari sekencang dan sepanik ini.
“You are not Egyptian, you must be Indonesian!”  
Apa maksud orang ini, kenapa tiba-tiba ia menyinggung Indonesia, pikir Verna panik. Dia bukan polisi yang akan menangkapnya karena berada di tempat yang tidak semestinya ia berada, ‘kan?
 “How do you know I’m from Indonesia?” Verna balik bertanya.  
“Karena kamu pakai batik. Ini batik Pekalongan, ‘kan ?!”
 “Siapa pun sekarang bisa pakai batik….”
 “Karena kamu berambut hitam dan berwajah Asia…!”
 “Orang Thailand, Filipina, juga berambut hitam dan berwajah Asia…!” protes Verna. Bukannya tidak senang orang tahu dia dari Indonesia, tapi ia agak jengkel dengan sikap lelaki asing yang sok tahu ini.
 “Iya, tapi tidak semua orang bisa bahasa Indonesia…!”
    Verna jadi malu, karena emosi, tanpa sadar dari tadi ia telah menjawab dengan bahasa Indonesia.
 “Hei… kamu juga bisa bahasa Indonesia? Dan tadi kamu bilang Pe..ka..long..an dengan jelas, bukannya  “Pe…kè…long…an?”
 “Ayahku orang Indonesia. Aku tinggal di Pekalongan sampai umur…,” laki-laki itu tiba-tiba berhenti berbicara, seolah menyadari sudah keceplosan.
 “Ayo, kita pergi dari sini…!” katanya, sambil menekan dada, mencoba mengurangi napasnya yang masih tersengal-sengal. Beberapa lelaki Mesir tampak berlari di jalan besar diikuti dengan suara sirene.
 “Kamu terluka. Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit,  pakai ini,” Verna mengeluarkan saputangan batik bermotif bunga seroja dari tasnya.  “Sementara bisa menahan darah yang keluar.”
Laki-laki itu menerima saputangan dari Verna. Sejenak ia tampak tertegun ketika melihat motif bunga seroja, tapi lalu menaruh di pelipisnya yang terluka terkena lemparan batu.
 “Jalan-jalan sekarang dipenuhi kerusuhan, kita tidak mungkin bisa pergi ke sana!” kata laki-laki itu, meringis menahan sakit.
”Oke… kalau begitu, kita ke apartemenku saja, sepertinya jaraknya dekat dari sini,” kata Verna, sambil mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku jaketnya.
    “Untuk apa buku kecil itu ?” tanya si lelaki asing sambil berjalan.
    “Sebagai penunjuk jalan,” jawab Verna singkat
    “Kenapa tidak pakai GPS?” tanyanya lagi.
    “Karena GPS tidak selalu mencakup banyak tempat.”
    “Memangnya buku kecilmu bisa mencakup banyak tempat?”
Ya Tuhan, cerewet sekali laki-laki ini, gerutu Verna dalam hati. Jika saja dia bukan penolongnya, sudah dari tadi Verna akan meninggalkannya.
    “Mungkin tidak bagimu, tapi iya bagiku.” Verna mencoba sabar. “Ayahku mengajarkan, jika kita ingin mengenal suatu kota, maka cara yang paling tepat adalah berjalan kaki, dan jangan lupa membawa buku kecil untuk mencatat  tiap penanda untuk mencapai suatu tempat, terutama jika harus melewati ‘jalan tikus’, karena jalan di suatu kota bisa tampak sama tapi hampir pasti selalu ada penanda khusus.”
    “Ayahmu seorang backpacker?”
    “Bukan, dia seorang chef di Paris, dua kali dalam setahun ia selalu melakukan traveling ke sebuah kota di berbagai belahan dunia, mencari ide baru untuk menu restorannya,” jelas Verna
    “Oya, aku Edgar Havizh.” Ia memperkenalkan diri dan berbalik untuk menyalami Verna.
    “Aku… Verna. Verna Wibowo, and thank’s for your help,” balas Verna menyalami.
    “Jadi… ke mana Wibowo? Kenapa dia tidak di sini untuk melindungi istrinya?” tanya laki-laki itu dengan nada sinis.
    Verna berhenti. Ia memandang laki-laki yang kini berjalan di depannya. Kenapa penolongnya haruslah orang yang menjengkelkan ini?
     “Hei, kenapa berhenti?”  Tampaknya ia sadar Verna sudah tertinggal di belakangnya.
    Dengan wajah gusar, Verna kembali melangkah. “Wibowo itu nama ayahku, aku belum menikah,” jawab Verna kesal.
    “Sorry. Lalu  apakah ayahmu masih bersama ibumu?” tanyanya lagi.
    Pertanyaan macam apa ini, gerutu Verna dalam hati.”Apa maksudmu ayahku masih bersama ibuku?” Verna balas bertanya dengan nada sengit.
    “Hanya ingin tahu. Mungkin, karena sudah bercerai, jadi kau tinggal di Kairo bersama ibumu,” jawab laki-laki itu santai.
    Verna menarik napas, lalu mengembuskannya, diikuti gerakan tangan  dalam rangkaian yoga untuk menenangkan diri. Sabar Verna, dua belokan lagi setelah rumah makan Mustafa kamu tiba di apartemenmu, berikan lelaki itu obat, perban dan segelas teh hangat, lalu kamu tidak akan berhubungan lagi dengannya, se…la…ma…nya…!
    “Kenapa tidak dijawab?”
    Verna menghela napas. “Ayah ibuku tidak bercerai. Kini mereka sudah tidak tinggal di Paris, tapi  di Pekalongan untuk menemani nenekku yang makin sering sakit. Ayahku saat ini memandu acara traveling chef di sebuah teve swasta, ibuku adalah seorang pelukis, nenekku adalah pemilik pabrik batik di Pekalongan, dan aku adalah arkeolog. Aku punya saudara kembar bernama Zaida, ia seorang pastry chef yang tinggal di Tokyo bersama suami dan dua anaknya. Hmm… aku ke Kairo untuk menulis buku. Ada pertanyaan lagi ?!” tantang Verna, napasnya naik turun menahan kesal. Tapi, tiba-tiba Verna merasa menyesal, ia teringat ucapan ayahnya, jangan pernah berbicara mengenai keluargamu pada orang yang tidak dikenal!
    Lelaki itu tersenyum, ia tampak lega.  Matanya yang biru menelusuri seluruh wajah Verna, lalu berhenti di bola mata Verna yang hitam cemerlang. “Maaf, terkadang aku bisa begitu menjengkelkan,” katanya penuh penyesalan.
    Verna balas menatap mata biru itu,  mata  yang berwarna sebiru langit.  Ia mengangguk, tapi rasa kesal di hatinya belum juga mau pergi. (Bersambung) 


Deasy Wirastuti




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?