Travel
Mencari Damai Di Tengah Keramaian

17 Oct 2014

Bertandang ke Nepal, negara mungil yang secara geografis bagai seekor semut diapit Tiongkok serta India, pantang melewatkan kunjungan ke durbar square, istilah untuk plaza atau alun-alun di sana. Yang menjadi sasaran utama wisatawan berkunjung biasanya adalah Kathmandu atau Kantipur, Patan atau Lalitpur, dan Bhaktapur atau Bhadgaon. Jarak Bhaktapur yang hanya sejauh 12-14 kilometer di timur Kathmandu, dan Patan yang terletak sekitar 5-7 kilometer di selatan Kathmandu, membuat keduanya sangat mungkin untuk dikunjungi sekali jalan.  Memasuki area durbar square ini membuat angan saya, Lucy Liestiyo, melambung jauh ke masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno di masa lampau itu.


Penduduk yang Ramah
Di Patan dan Bhaktapur, saya harus membayar tiket masuk masing-masing sekitar 9 dolar AS. Padahal, saat di Kathmandu saya tidak dipungut biaya. Jangan-jangan karena petugasnya tidak melihat, lantaran pengunjung berjubel?
Banyak pemuda lokal berbekal bahasa Inggris yang fasih dan wawasan luas tentang seluk-beluk kota ini yang menghampiri dan menawarkan jasa pemandu, dengan tarif  tergantung kemampuan kita bernegosiasi. Mereka akan membawa kita dari satu bangunan ke bangunan lain sambil menuturkan sejarah yang mengundang decak kagum. 
Yang tak luput dari penjelasan adalah arti posisi patung penjaga. Semua bangunan yang ditunjukkan punya ‘penjaga’ di bagian luarnya, umumnya berupa hewan. Ada yang menghadap arah luar untuk menjaga dari gempuran musuh, ada pula yang menghadap ke dalam sebagai pelindung penghuninya.
Melewatkan waktu di antara sekumpulan peninggalan sejarah, mendengar budayanya dan memperhatikan serta larut dalam keseharian penduduk lokalnya membuat hati terasa nyaman. Tambahan lagi, sesaat paru-paru ini dapat terlepas dari bahaya polusi asap kendaraan yang rata-rata sudah terlalu tua usianya. Karena itu, kendaraan tidak boleh memasuki wilayah durbar square. 
Baru sekejap memasuki area plaza kota seni yang sangat terkenal pada abad pertengahan ini melalui Lion Gate, saya langsung tercengang. Bersih, luas, tenang, megah dan indah adalah kesan yang menyelubunginya. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan kesemrawutan di daerah Thamel, Kota Kathmandu, tempat saya menginap.
Seorang anak muda menghampiri, menyapa dengan sopan, menawarkan diri untuk memandu kami. Sejujurnya, hanya selintas saja keterangannya yang masuk telinga saya. Saya keburu terhipnotis oleh aneka bentuk kuil yang menarik di sekitar tempat saya berdiri. Bertingkat-tingkat dan mengerucut, menyiratkan keagungan dalam kecantikan desainnya yang luar biasa.
Pariwisata di Bhaktapur berkontribusi lebih dari 60 persen pada pendapatan penduduknya. Dengan masyarakat yang 90 persennya beragama Hindu, keramahtamahan warga lokalnya juga sangat terasa. Meskipun terbiasa bekerja keras (saya sering melihat wanita dan pria membawa beban di kepala), terlihat ada rasa penerimaan dalam diri mereka. Di sana ada aura damai dan tenteram dan begitu mudah mengawali sebuah percakapan yang menarik dengan orang asing. Ah, memang benar kepanjangan Nepal itu: Never Ending Peace and Love.
Keindahan dan keragaman pagoda, kuil, juga monumen yang hanyalah sepersekian persen dari yang dapat saya saksikan. Istana yang konon berjendela sebanyak 55 buah masih terpelihara dan terjaga dengan baik kondisinya. Saya tertarik mengamati sekumpulan wanita berpakaian tradisional dan para pelajar yang bergegas menuju sekolah.
Meskipun hari itu mendung, panorama menyejukkan mata khas Pegunungan Himalaya yang mengelilingi kota ini terpampang jelas di depan mata. Saya alihkan perhatian pada atraksi yang tak jauh dari saya. Seseorang berpakaian ala masa lalu tengah meloncati sebuah benteng sampai ke puncaknya. Meski kakinya memijak di tanah licin, ia melakukannya dengan sempurna  tiap kali melompat. Seperti di Nias.
Saya menengok ke dalam Museum Nasional, tapi justru terpukau pada detail ukiran yang sangat rumit pada bangunan di sekitarnya. Bentuk jendela dan pintu di tiap bangunan juga bermacam-macam. Sebagian terdiri dari jalinan kotak-kotak kecil, sebagian lainnya penuh pahatan bernilai seni tinggi.
Lewat tengah hari, rasa lapar mengantarkan kami ke sebuah restoran yang atapnya unik. Sementara rekan saya semangat memesan Nepali set yang isinya sangat komplet, saya menikmati chow mien yang direkomendasikan oleh driver kami. Tampilannya selintas mirip mi goreng, namun ternyata ada rasa rempah unik yang tertinggal di lidah. Nikmat!


Dipenuhi Bangunan Kuno

Bangunan durbar square di Patan jauh lebih banyak dibandingkan di Bhaktapur. Mungkin karena jarak antarbangunan sangat rapat dan alun-alun yang berjarak ratusan meter dari gerbang masuk, areanya jadi terasa lebih sempit. Bila di Bhaktapur tadi mengambil gambar hanya perlu sedikit usaha, di Patan rupanya harus ekstra sabar. Di sini, rasanya seluruh penduduk dan wisatawan tumpah ruah di saat bersamaan. Walau kontak dengan masyarakat lokal hanya sebatas senyum dan kalimat sederhana, rasanya melebihi sejuta rangkaian kata.
    Pemandu kami menunjuk pada sebuah pilar di mana terdapat patung Raja Narendra Malla duduk. Di dekatnya, ada pemandian dan kuil yang tampak terjepit gedung. Di salah satu pemandian, terlihat air mengalir dari kepala naga. Baik dewasa maupun anak kecil memanfaatkan air tersebut untuk mandi, berenang, dan bersukaria dengan teman mainnya. Yang menggelikan, saya melihat juga seorang bapak yang mencuci pakaian dan sepatunya di tempat yang sama.
Jika di Bhaktapur tadi yang menonjol adalah ukiran serba kayu, di Patan ini lebih beragam. Pilar dari batu tampak tegar tak gentar oleh berjalannya waktu. Kabarnya, Kuil Khrisna Mandir yang tersohor itu dibangun pada zaman batu.
    Di Patan banyak kuil Buddha yang masih terpelihara dan terawat dengan baik. Pasalnya, sebagian besar masyarakat sana penganut agama Buddha. Menilik peninggalannya yang semegah ini, sulit saya bayangkan   kejayaannya pada masa lampau. Meskipun kuno, peradaban serta budaya mereka bertahan dalam kurun waktu yang panjang. Saya terkejut saat mengulik di internet dan menemui fakta bahwa sebagian besar bangunannya sudah ada sejak zaman prasejarah. Yang terlihat hanya retak-retak kecil karena daerah tersebut pernah dilanda gempa.
    Sesuai dengan namanya, di Lalitpur (artinya kota seni rupa) atau Patan terdapat banyak sekali perajin. Hasil karya seni para perajin ini berupa lukisan, perhiasan dari perak, perunggu dan kuningan, patung, hingga ukiran kayu yang menawan. Kebanyakan berbentuk patung Sang Buddha dan dewa-dewinya. Hasil produksi kerajinan tangan warga Patan ini kabarnya juga merajai penjualan di lembah Kathmandu.
    Senja mulai menghampiri, saya melihat seorang wanita mengenakan korta (pakaian tradisional mereka) yang manis dan seorang gadis berpakaian corak batik setempat melintas. Saya pun bertekad untuk mencari-cari di tumpukan kain di sebuah toko suvenir, adakah corak yang tadi saya lihat itu. Ternyata nihil.
Tapi, begitu akan beranjak pulang, mata saya menangkap cahaya dari sebuah gang. Rupanya di depan itu sederet toko masih ramai. Salah satu tokonya sudah tutup setengah, tapi begitu kami datang, pelayannya menyambut dengan sangat ramah dan sabar melayani kami. Meski harus mengandalkan sinar lilin karena listrik padam, puas rasanya saya mendapatkan korta idaman.
Di pengujung tur, bapak tua yang memandu kami mengucap terima kasih berulang kali karena seharian itu pendapatannya hanya dari rombongan kami. “Istri dan ketiga anak saya pasti akan senang sebab mereka bisa makan dengan layak malam ini dan esok hari,” ujarnya, dengan mata berbinar.
Bukan sekadar basa-basi saat dia mengundang bertandang ke rumahnya yang sangat sederhana dan menawari makan. Sungguh, rasanya saya menyesal tadi pakai menawar segala. Sebab, meskipun hidup kekurangan, orang Nepal memiliki harga diri dan tak mau menerima pemberian yang bukan imbalan kerja.


TIP
Beberapa pilihan penerbangan ke Kathmandu ada yang melalui Kuala Lumpur, ada yang melalui Singapura, dengan berganti maskapai.
Diperlukan Visa On Arrival untuk memasuki negara Nepal dengan membayar 25 dolar AS.
Mata uang Nepal: Rs1 (Nepalese Rupees) setara dengan Rp117.
Jarak antara Kathmandu ke Bhaktapur sekitar 13 kilometer ke arah timur, sedangkan jarak Kathmandu ke Patan kurang lebih 5 kilometer ke arah selatan.
Kisaran biaya transportasi dengan taksi:
Kathmandu – Patan, sekitar Rs200 (Rp23.400)
Patan – Bhaktapur,  sekitar Rs700 (Rp81.900)
Thamel adalah kawasan turis di Kathmandu yang menyediakan berbagai hotel dan restoran berbintang dengan harga yang sangat terjangkau. Bila ingin lebih menikmati suasana masa lalu, menginaplah di sekitar Bhaktapur atau Patan Durbar Square.
Jangan ragu memakai jasa pemandu lokal yang bertebaran di tiap durbar square. Mereka akan bercerita dengan begitu terperinci, santun, dan tulus.(f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?