Trending Topic
Memilah Sampah

14 Jan 2015

Berapa banyak kantong plastik yang Anda bawa pulang saat berbelanja bulanan? Apabila Anda membeli kebutuhan sabun, kosmetik, bahan makanan kering dan basah, maka setidaknya petugas kasir akan memisahkannya dalam empat kantong plastik besar. Beberapa konsumen bahkan akan meminta lebih, sebagai  pelapis agar kantong belanjaan lebih kuat saat ditenteng.
   
Padahal, usia pemakaian kantong plastik ini biasanya hanya beberapa waktu saja, karena begitu sampai di rumah akan langsung dibuang. Ada, sih, beberapa orang yang melipat dan menyimpannya untuk dipakai ulang. Tapi, berapa banyak juga yang kemudian selalu lupa untuk membawanya serta saat kembali berbelanja?

Perubahan gaya hidup yang  makin mobile menciptakan tren konsumsi produk ‘sekali buang’. Produk minuman misalnya, nyaris semuanya kini dijual dalam botol plastik yang langsung dibuang setelah habis. Padahal, dulu produsen menggunakan botol beling yang harus dikembalikan agar bisa dipakai ulang. Mengapa plastik? Alasannya tentu untuk kepraktisan. Bahan plastik yang ringan mudah dibawa-bawa, cocok dengan gaya hidup mobile konsumen Indonesia. Sifat plastik yang gampang dibentuk, serta harga bahan bakunya yang murah juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para produsen.

Sayangnya, perubahan gaya konsumsi yang terjadi secara cepat ini tidak dibarengi dengan edukasi yang cukup terhadap bagaimana masyarakat harus memperlakukan sampah kemasannya. “Masyarakat mengalami semacam culture shock. Akibatnya, secara mental mereka masih memperlakukan sampah plastik seperti sampah daun yang mudah membusuk sendiri,” ujar Harry Surjadi, penggiat lingkungan dan Direktur Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ).
Indonesia Solid Waste Association (InSWA) mencatat bahwa dalam setahun negara kita memproduksi 5,4 juta ton sampah plastik. Jumlah ini sekaligus mendudukkan sampah plastik di urutan kedua penghasil sampah domestik terbesar, menggeser sampah kertas yang turun di urutan ke-3 (3,6 juta ton/tahun).

Tentu ini menjadi masalah besar, terutama mengingat masih terbatasnya teknologi daur ulang plastik di Indonesia. Masih banyak perusahaan pengguna kemasan plastik yang belum dilengkapi dengan infrastruktur pengolahan plastik yang membutuhkan   dana   cukup besar dan teknologi yang rumit.

Namun, masalah sampah tidak berhenti di sini. Rentetan culture shock ini terbawa dalam kehidupan sehari-hari konsumen saat di rumah. Seperti yang juga diamati oleh Tim Leader Proyek Sustainable Consumption & Production (SCP), Edzard Ruehe, yang dalam tiga tahun terakhir bekerja bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk membangun budaya konsumsi dan produksi yang berkelanjutan di Indonesia.
Pertanyaan awalnya adalah seberapa sering Anda menyempatkan waktu melongok keranjang sampah di rumah, baik di dalam maupun yang terletak di muka rumah? Apa saja yang terdapat di dalamnya? Apakah Anda memisahkan sampah sesuai jenisnya, atau mencampurnya saja menjadi satu?
   
Cek juga saluran air pembuangan limbah rumah tangga Anda. Mungkin ada beberapa sisa makanan, seperti nasi, potongan lauk, dan sayur-mayur. Pikir Anda, ah, itu kan sampah organik yang akan membusuk secara alami. Jadi, aman saja jika ikut terbuang ke saluran got di depan rumah Anda. Benarkah?

Perhatikan saja saluran air di muka rumah Anda. Seperti apakah penampakannya, apakah bening, hitam, atau terdapat gelembung-gelembung udara di permukaannya? Bagaimanakah baunya, apakah mengeluarkan bau busuk yang menyengat?
Warna hitam dan bau menyengat yang muncul merupakan produk sampingan dari hasil kerja bakteri dalam mengurai sampah organik. Makin banyak sampah organik yang masuk,  makin hitam dan  makin berbau.

“Bahkan, Anda bisa melihat munculnya gelembung-gelembung udara di permukaan, yang sejatinya adalah gas metan, penyebab bau busuk, yang jika terlepas ke udara akan berdampak pada pemanasan global,” jelas Ed. Tidak hanya mengganggu estetika, saluran seperti ini akan menjadi lahan subur bertumbuhnya kuman-kuman dan bakteri pembawa penyakit.

Naomi Jayalaksana


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?