Fiction
Matahari Matahari [4]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Di ruangan itu Bintang menatap kedua orang tuanya secara bergantian sebelum bertanya seperti orang linglung, “Bunda tidak bilang pada Ati tentang Sofie?”

Bayu melongok ke arah gerai es krim yang terletak tepat di seberang pintu masuk kedai kopi itu. Tangannya terangkat tinggi dan ia membuat gerakan melambai. Ati mengikuti arah lambaiannya. Hanya ada seorang wanita berkulit kecokelatan yang menjinjing tas ransel berwarna pink dengan sablon boneka Barbie dan seorang gadis kecil yang berdiri kontras di sampingnya. Kenapa Bayu tidak datang bersama Sofie? Ati mencari-cari.

Gadis itu kecil, manis, dan berkulit putih bersih.

Ati sebenarnya tidak merasa kesulitan memprediksi siapa gadis kecil dalam gandengan wanita yang jelas bukan ibunya itu. Pasti putri Sofie dan Bayu. Gadis itu sangat mirip dengan adik angkatnya, terutama pada bagian bibir. Di situlah benang merah dari segalanya, batin Ati. Senyuman itu tidak dihasilkan dari wanita selain Sofie. Tipis, tulus, dan lembut.

“Ini putriku dan Sofie,” Bayu memeluk tubuh mungil itu dalam lengannya. “Cantik bukan, Ti?”

Wanita yang dipandang itu tersenyum, “Cantik sekali.” Sayang, anak itu tampaknya tidak menyukaiku, pikirnya. Gadis kecil itu terus memandang ke depan.

“Apa dia sedang marah?” Ati berbisik pada Bayu.

Selintas, dilihatnya gadis itu memiringkan kepalanya, seperti sedang menangkap sebuah suara.

“Tidak,” Bayu menggeleng. “Kamu tidak lagi marah kan, Sayang?” tanyanya pada gadis kecilnya.

Gadis itu menggeleng dan tersenyum geli, karena merasakan daun telinganya ditiup. Ketika refleks dirinya mencoba menghindar, Bayu makin mempererat pelukannya. Seketika Ati bernapas lega melihat reaksi alami si gadis kecil, begitu pertanyaan tersebut diajukan. Reaksi itu bukan bohong, Ati yakin. Tapi, keengganan si gadis untuk menatap dan bertanya-tanya seperti anak-anak lain jika bertemu orang asing, masih membuat Ati merasa bahwa ada yang tidak wajar berkenaan dengan sikapnya.

“Aik. Ayo, beri salam pada Tante Ati,” ayahnya memerintah.

Gadis itu tersenyum lebar, ia menjulurkan tangan dan menyebutkan namanya dengan lancar, “Matahari Sekar Ayu Putri.”

Tiba-tiba saja Ati mengerti. Sayang, pengertian itu justru menyekat tenggorokannya. Dia tak bisa mengatakan apa-apa.

Gadis kecil dalam pelukan Bayu itu masih tetap menjulurkan tangannya ke depan dan bukannya ke arah Ati. Setelah beberapa saat tak ada sambutan terhadap uluran tangannya, barulah dia mengerling ke samping.
Sambil setengah tertawa dia berkata, “Oh, Tante di situ, ya?”

Bayu tersenyum hangat. Dalam kehangatan senyumannya, dia mengangguk lembut pada Ati yang masih belum sepenuhnya percaya, seolah membenarkan pengertiannya.
Ati tak ingin membuang waktu lagi untuk menjawab uluran tangan itu. Seperti menebus tuduhannya terhadap sikap gadis cilik itu sebelumnya, digenggamnya jemari kecil itu erat-erat dan dikecupnya dalam-dalam.

“Maaf, ya, Tan...,” bisik gadis kecil itu. “Papa bilang, cuma sampai akhir tahun ini. Jadi, aku mesti sabar. Kalau aku sabar, ntar pasti bakal ada orang yang mau ngasih matanya buat aku.”

Seperti perintah dari otak pada sistem motorik tubuhnya, pernyataan itu membuat Ati tak kuasa menahan pelukan dan ciumannya.

“Namanya Matahari?” Ati kembali mengingat sederet nama yang tak asing bagi telinganya.

“Sofie yang memilihkan namanya,” katanya.

“Kenapa dia menggunakan nama yang sama denganku, Yu?” tanyanya memburu. Jawaban Bayu sama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahunya.

“Bukankah Aik memang seperti bunga matahari? Kupikir nama itu sangat cocok.” Bayu tidak bermaksud bermain teka-teki, Ati tahu maksudnya, tapi kali ini dia benar-benar ingin tahu secepatnya.

“Yu,” potong wanita itu, setengah menghardik.

“Kalau kau seperti matahari, Aik memang seperti Bunga Matahari. Dia yang tak bisa melihat hanya bisa mengikuti ke mana sensor terbesar baginya ada dan tidak ada. Sofie sudah memikirkannya dengan baik,” Bayu menjelaskan.

“Apa dia begitu sejak lahir?” Ati merasa perlu berhati-hati, ketika menanyakan hal ini. Mengingat latar belakang hubungannya dan pasangan itu yang tak begitu menyenangkan, menanyakan perihal genetis sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman yang krusial.

Ternyata, di luar dugaan, Bayu mengiyakan tanpa pikir panjang. “Mungkin bukan sejak lahir,” ralatnya. “Aik panas tinggi dua hari setelah lahir. Dokter terpaksa memberinya penurun panas. Setelah itu retinanya tak bereaksi terhadap sensor cahaya. Dia buta.”

Ati tidak menimpali. Dia tidak menemukan kalimat tepat untuk situasi yang relevan.

“Apa kau tidak mendengar nama Aik disebut di rumahmu? Bahkan, hanya sekali?” Bayu bertanya.

Sesungguhnya tak sekali pun pernah. Membicarakan hal itu di rumah saja, Bunda bisa mengutuk habis-habisan. Ati pernah menyesal dengan keputusannya meninggalkan Semarang tujuh tahun yang lalu. Kalau saja dia tahu kepergiannya itu menimbulkan luka dan kebencian mendalam yang tak pernah terkikis dari benak Bunda terhadap Sofie dan Bayu, bahkan bayi perempuan mereka yang kelahirannya didengar Ati lewat salah seorang tetangga yang kebetulan bekerja di Jakarta, dia akan mengurungkan niatnya.

Dia sudah meyakinkan Bunda bahwa kepergiannya bukan karena luka yang terlalu sakit untuk tetap tinggal. Tapi, anggapan seorang Bunda yang tak bisa merelakan pengkhianatan terhadap putrinya, seperti tak mungkin diubah bagaimanapun meyakinkan penjelasan itu.

Sofie adalah anak haram seorang pelayan yang dipungutnya dari hutan jati. Bundanya menyiarkan kebenaran yang bertahun-tahun disimpannya rapat-rapat. Anak haram tetap saja anak haram. Meski dia telah membesarkannya secara terhormat, anak haram tetap saja anak haram.

“Sofie begitu tersiksa. Dia sangat ingin dimaafkan,” ujar Bayu.

Ati seperti terantuk pada kenyataan. Lamunannya buyar.

“Bunda menyiksanya terlampau berat,” Bayu memandangnya, kemudian dengan suara yang melirih dan kepala tertunduk, dia menambahkan, “Padahal, semua ini salahku. Bukan dia.”

“Terlepas dari kesalahan siapakah ini dan itu...,” Ati terdiam, seperti memilih-milih kata. “Bundaku hanya mengikuti insting keibuannya. Perawan Maria saja menitikkan air mata ketika Yesus disalib, meski itu kehendak Allah. Bunda mencoba melindungi. Sesuatu yang begitu mudah dipahami.”

Bayu tahu itu benar sekali.

“Tapi, Ti, apakah kau pernah sekali saja memaafkan Sofie?”

Ati tersenyum. “Aku memaafkan kalian tentu saja. Justru sebaliknya, apakah kalian pernah memaafkan aku karena telah membuat kehidupan kalian tidak nyaman?”

Seperti dipermalukan, ekspresi Bayu sangat rumit untuk disusun menjadi kata-kata. Merasa secara telak tertohok, pria itu dengan jujur mengakuinya. “Kau menyindirku, Ti. Bertemu denganmu di stasiun kereta kemarin saja aku seperti menyadari bahwa Tuhan belum melupakan aku. Aku tidak pantas memaafkan kamu. Aku memang memalukan.”

“Kalau begitu, selama ini kita sudah salah paham, Yu,” Ati tersenyum tulus. “Ternyata kita telah sama-sama memaafkan. Sudah tak ada masalah lagi di antara kita, bukan?”

Senyum Bayu mengembang kini. Ati memang bukan wanita biasa, batinnya. “Sofie bilang, kau seperti penghibur. Mengalah. Memberikan semua padanya, meskipun kau juga menginginkan hal yang sama. Boneka, kue, jatah tidur di ketiak Bunda, bahkan... cintanya,” kalimat Bayu terpotong.

Ketika tak ada ekspresi lain yang tersirat di wajah Ati selain keantusiasan wanita itu untuk mendengar lebih banyak, Bayu melanjutkan, “Kata-kata selanjutnya ketika ia mencoba menggambarkanmu adalah game centre. Bedanya, dia tak perlu memasukkan koin ke salah satu bagian tubuhmu.”

Ati menertawakan bagian akhir cerita Bayu.


Penulis: Ratih Tri Widowati



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?