Fiction
Matahari Matahari [2]

1 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Ati tertawa kecil. Tawa yang lebih terdengar seperti sebuah pembenaran dibandingkan dengan kemenangan. “Bukannya tricky. Aku hanya bersikap defensive. Itu yang diajarkan orang tuaku padaku. Jangan dengan mudah memberikan apa pun.”

Bayu mendesah canggung mendengarnya. Tiba-tiba seperti ada perasaan segan menelusuri hati pria itu. Senyumnya yang tampak bahagia berganti dengan air muka yang menyiratkan kegalauan. “Kamu tidak pernah menghubungiku, Ti. Kamu bilang dulu akan sering-sering menelepon.”

Ati mengangkat bahu sambil melemparkan pandangan ke permukaan kopinya yang kecokelatan. “Kadang-kadang kita berubah pikiran, Yu,” katanya.

“Ah... kamu mengolok-olok,” Bayu membalas getir. “Tapi aku mengerti sepenuhnya, kok, Ti. Aku juga tidak berniat mengganggu kehidupanmu. Karena itu pula aku tidak berusaha menghubungi. Aku cuma bisa menunggu. Memangnya siapa aku. Ya, ‘kan?”

Ati diam. Enggan mengiyakan, tapi juga tidak berkata bukan.

Sudah hampir tujuh tahun mereka berhenti bertemu. Perasaan cinta atau benci yang menggunung sudah hangus tak bersisa di hati Ati. Wanita itu memang menempa dirinya dengan sungguh-sungguh. Dari awal dia menyadari bahwa apa pun tak akan pernah menjadi milik seseorang, apalagi itu adalah orang lain, bukan benda. Jiwa yang bukan jiwa kita. Bahkan, jiwa kita pun bukan kita pemiliknya. Dia memasrahkan semuanya pada Tuhan dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa sesakit apa pun segala sesuatu, asalkan tidak membunuh, justru membuatnya makin kuat.

Bayu mengkhianati cintanya tujuh tahun yang lalu.

Rasa sakit itu kini terlupakan sudah. Ati bukanlah seorang pendendam. Memaafkan Bayu adalah perkara gampang. Karena itu, sebenarnya dia akan lebih bersenang hati, kalau saja tangan Bayu tidak menggenggam jari-jarinya seperti kali ini.

“Maafkan aku, ya?” Bayu berkata lirih. Tatapan matanya mengisyaratkan kesungguhan. Ati tersenyum kecil melihat binar sungguh-sungguh pada bola mata berwarna cokelat terang itu. Bukan senyuman meremehkan untuk sebuah permintaan maaf yang terasa begitu terlambat itu, bukan juga senyuman sengit yang bertujuan menyakiti siapa pun, melainkan perasaan tulus yang terukir dalam senyuman simetris. Seperti ketika kita merelakan orang yang kita cintai untuk bersama orang lain yang bisa membahagiakan mereka. Kurang lebih.

“Aku sudah memaafkanmu, Yu. Kamu berlebihan,” ujar Ati mantap. Disingkirkannya tangan Bayu dari tangannya.

Bayu mengambil tangannya tanpa rasa berat, dia mengerti benar kedudukannya. “Makasih, ya, Ti...,” bisiknya, dalam suara rendah.

Ati mengangguk penuh pengertian.

Meskipun begitu, ingatannya seperti dikembalikan pada awal Mei tujuh tahun silam. Senyuman yang begitu lekat, bahkan hingga kini, itu menariknya pada dimensi magis bernama nostalgia. Dalam dimensi ini, kesakithatian semacam apa pun berubah menjadi sesuatu yang menenteramkan hati untuk diingat.

Dia sangat mengenali wanita yang tangannya ada dalam genggaman kekasihnya dan dia bukan wanita tanpa hati yang merasa harus menanyakan apa maksud dari genggaman itu.

“Aku harus menikahi Sofie, Ti....”

Ati memejamkan mata ketika mendengar penuturan singkat tersebut kala itu. Selama ini dia merasa dirinya setegar batu karang, hingga membutuhkan sebuah dentuman keras untuk tak menggemingkannya. Ternyata malam ketika seharusnya Bayu datang untuknya dan sebuah penjelasan singkat dari suara yang begitu lemah itu saja, bisa meruntuhkan apa yang diyakininya.

“Tapi, kenapa? Setahuku sampai siang hari ini pun kau masih kekasihku. Aku tidak mendengarmu memutuskan hubungan. Jadi, kalau aku menuntut sebuah penjelasan menurutku bukan hal yang berlebihan, bukan?”

Ati tetap bersikukuh untuk meredam. Dia tak pernah mau seorang pun tahu apa yang dipikirkannya. Matanya tetap redup menatap kedua orang itu secara bergantian.

“Kami sudah berbuat kesalahan,” Bayu menjawab. Matanya menatap lekat pada bola mata Ati, seperti biasa jika ia berbicara satu lawan satu dengan siapa pun. Tatapan mata itu menyiratkan keberanian yang besar. Yang disukai Ati dari pria itu.

Ati terdiam. Kemudian matanya bergerak ke arah Sofie, wanita yang tangannya ada dalam genggaman Bayu. Seorang gadis yang dua tahun lebih muda usianya dari Ati dan telah diasuh ibundanya sejak berusia tujuh bulan. Dipanggilnya ‘adik’ dan dipeluknya di dalam kamar beraroma apel yang sama.

“Aku mengerti. Aku manusia biasa juga seperti kalian. Aku tahu orang berbuat kesalahan dan berubah setiap saat. Aku tahu seseorang yang lain kadang dilibatkan, tapi juga ada yang ditinggalkan,” kata Ati. Dadanya sesak saat melafalkannya, sambil mengemasi sebagian isi tas tangan yang dikeluarkannya ke meja, Ia masih berusaha tersenyum. “Yang kadang-kadang tak bisa dimengerti manusia adalah mengapa pada saat yang dia tahu pasti bahwa dia tak seharusnya berada di suatu tempat, dia justru berada di sana. Kenapa harus aku?”
Sofie menangis.

Ati mengalihkan pandangan ke arah lain. Ketika jendela kaca yang terbuka seperti membingkai lukisan gelap dengan serabut ranting pohon yang meranggas, wanita itu tahu bahwa dia harus meninggalkan kehidupannya dan mencari yang lain di tempat yang berbeda. Di bawah langit yang berbeda, ketika jendela kaca membingkai lukisan yang tak sama.

Wanita itu menjinjing tasnya dan berjalan dengan tegar sampai ke dalam mobilnya. Di sana, ketika tak seorang pun melihat, ia menangis juga akhirnya. Luka itu ternyata dalam dan obatnya sangatlah mahal.

“Ti! Ati!”

Ati terjaga dari lamunannya dan kembali menyadari bahwa orang yang sama tengah menatap lurus pada matanya sekarang. Tujuh tahun lebih tua dengan kerutan di sekitar mata yang memperlihatkan guratan kedewasaan.

“Kamu melamun, Ti,” Bayu tersenyum. “Langsung dari Jakarta?”

“Ya.”

“Tumben kamu pulang bukan pas hari raya. Ada apa? Jangan-jangan Bunda sudah merancang pernikahanmu di rumah?” olok-olok Bayu.

Tersenyum, Ati mengangkat bahu.

Ibundanya sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang maksudnya memerintahkan Ati pulang. Setiap kali ditanya, yang keluar dari mulutnya hanya bahwa ada sesuatu yang penting yang tak lagi bisa ditunda.

Olok-olok Bayu sama sekali bukan sesuatu yang lucu. Hal terpenting bagi ibundanya saat ini, menurut Mas Bintang, adalah melihatnya bersanding dengan seorang pria.

Hijau.
Mata Ati mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan dinding berdominasi warna hijau lembut dan beraroma apel. Tak ada yang dilakukannya selama beberapa saat, tepat setelah bangun tidur kecuali memutar mata ke setiap sudut ruangan. Mempelajari, sekaligus meyakinkan diri bahwa dia benar-benar kembali berada dalam ruangan hijau yang akan membawanya menjadi seseorang yang tak memiliki otoritas penuh terhadap dirinya sendiri, bersama orang tuanya.

Tiba-tiba, di tengah usahanya mengumpulkan kesadaran, pintu kamarnya dibuka tanpa ketukan. Sesuatu yang ia jaga sangat ketat dalam disiplin hidupnya. Tak ada ketukan, tak ada pintu yang terbuka dengan ramah tamah.

“Selamat pagi. Sudah bangun?” seseorang yang tanpa mengetuk pintu itu sudah mendekat ke ranjangnya ketika menyapa.

Ati hanya menoleh dan tersenyum. Tak mungkin ia memarahi bundanya, apalagi meminta beliau mengubah pilihannya sebagai penguasa tunggal di bagian mana pun di dalam rumah dengan memaksa mengetuk pintu dulu. “Pagi, Bunda.”


Penulis: Ratih Tri Widowati



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?