Fiction
Mad Man Show [5]

16 May 2012


Usai siaran langsung Mad Man Show

“Aku tidak akan marah. Cuma bertanya, apa alasan kamu membuat ramalan segila itu. Kamu sudah memperkirakan apa yang dikatakan tabloid dan infotainment besok pagi?”

Atlantis menghentikan langkahnya. Dia membalikkan tubuh, menghadapi Troy dengan gaya anggun dan elegan. “Bukan aku yang ngotot datang ke acaramu, Troy.”

“Tapi, itu tidak berarti kamu boleh berlaku apa saja di acaraku.”

Atlantis mengangguk-angguk, sambil terse–nyum penuh kemenangan. Keduanya sudah berada di areal parkir mobil. Atlantis baru saja memencet tombol non-aktif alarm mobilnya, ketika Troy tergopoh-gopoh menyusulnya. “Kamu melarang narasumbermu berimprovisasi, sedangkan kamu membebaskan dirimu sendiri untuk mempermalukan mereka. Silakan nilai sendiri siapa yang punya masalah besar dengan etika.”

Atlantis kembali membalikkan badannya. Troy kembali menderap. Dia mencegah Atlantis menyentuh pegangan pintu mobilnya.

“Kamu sama sekali tidak berpikir akibat dari ramalan asalmu, ya?”

“Sama seperti kamu yang tidak pernah berpikir akibat dari aksimu mengadili setiap narasumbermu.”

“Aku serius, Atla.”

“Lagi pula, siapa yang sedang bermain-main? Aku serius dengan setiap ramalanku.”

Troy tersenyum sinis, lalu terkekeh mengejek. “Kamu mau bilang bahwa ramalanmu tentang kematianku sebulan lagi adalah sungguh-sungguh?”

“Riwayatmu akan berakhir bulan depan. Itu persisnya yang aku katakan.”

“Kamu sudah keterlaluan.”

Atlantis mengangkat dagunya. “Kalau kamu tidak percaya, buat apa kamu mengundangku?”

“Tentu saja untuk bersenang-senang. Orang-orang di negeri ini masih sangat menyukai ramalan-ramalan konyol, seperti yang kamu katakan.”

“Termasuk kamu?”

“Aku pedagang. Apa pun barang yang diinginkan pembeli, asalkan itu menguntungkan, aku akan menjualnya.”

Atlantis tersenyum sinis. “Sekarang aku boleh pergi?”

Tanpa menunggu jawaban Troy, Atlantis melambaikan tangannya, memberi tanda supaya Troy menyingkir dari hadapannya. Dia lantas membuka pintu mobilnya, untuk kemudian menempatkan diri di belakang kemudi dengan sikap seorang lady. Dia memutar kunci kontak dengan santai. “Troy!”

Troy awalnya sudah tak peduli dan hendak segera pergi. Namun, ketika mendengar suara Atlantis memanggil, dia sedikit memalingkan kepalanya.

Atlantis mengembangkan senyum, menawarkan persahabatan. “Tidak perlu bersikap ngotot kepada polisi. Hadapi dengan tenang, mereka pasti mengerti.”

Troy mengerutkan dahi, tak mengerti.

Atlantis memasang gigi satu, mobilnya perlahan bergerak. “Tidak usah terlalu emosional juga, kalau nanti kamu kesulitan masuk ke rumahmu sendiri.”

Troy mengangkat wajah, membalikkan badan penuh menghadap mobil Atlantis. Dua tangannya masuk ke kantong celana. 

“Satu lagi, Troy. Minggu-minggu ini aku sangat sibuk. Kamu tidak akan bisa menemui atau menghubungiku. Sorry, ya.”

Troy berdiri kaku di tempatnya berdiri. Alisnya nyaris bertemu satu sama lain. Perasaan kesal, penasaran, merasa direndahkan, berbaur di kepala. Toh, tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Dia membalikkan badan, lalu melangkah gontai menuju mobilnya.

Hujan mengguyur sekujur kota Bandung dengan keras. Tumpah dengan empasan angin yang menampar-nampar. Di daerah pinggiran bahkan sudah mulai banjir. Pada saat yang sama bagian pinggir lainnya justru kekurangan air bersih. Penghujung Desember yang basah kuyup. Kemarau sepanjang tahun membuat hujan begitu dirindukan. Namun, kota ini tidak pernah siap menerima limpahan air dari langit.

Selalu saja, jalan-jalan utama kota segera ditumpahi air kecokelat­an yang meluap dari got-got kotor. Macet menyesakkan hampir di setiap sudut jalan. Setiap ini terjadi, siapa pun pasti memilih untuk tinggal di rumah. Merapatkan selimut atau menyimak acara televisi sambil lalu, serta ditemani secangkir kopi dan camilan padat nutrisi.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki pilihan di waktu dan tempat yang dia inginkan. Seperti juga Troy petang itu. Seusai siar­an langsung Mad Man Show, meeting ini dan meeting itu, dan nongkrong di kafe langganan sesaat, dia meluncur pulang.

Inginnya buru-buru bertemu Jalan Wastu Kancana, agar dia segera menembus Bandung Selatan. Akan tetapi, sesuatu yang tidak pernah ia kehendaki, bahkan jika itu terjadi di alam mimpi, tiba-tiba muncul di kaca spion. Polisi! Mobil yang dikendarai Troy dibuntuti pria berseragam polisi lalu lintas lengkap. Helm bulat, kacamata hitam, dan jas hujan.

Hujan-hujan begini? Troy merutuk dalam hati. Dalam suasana apa pun, berurusan dengan polisi sama sekali bukan hal menyenangkan. Namun, ketika itu terjadi, saat hujan deras semacam ini, rasa tidak nyaman itu rasanya kian berlipat-lipat.

Troy menangkap tanda dari sang polisi. Dia harus segera meminggirkan mobilnya untuk pemeriksaan kecil. Pemeriksaan apa? Dengan bersungut-sungut dalam hati, Troy mengikuti keinginan polisi tadi. Terbayang di kepalanya segala kerepotan yang mungkin terjadi. Toh, dia tak memilih untuk melarikan diri. Saat dia mematikan mesin mobil dan bersiap menemui polisi tersebut, Troy serta-merta merasakan keributan kecil di hatinya.

Dua tangannya segera sibuk membuka-buka tumpukan barang di sekitarnya. Majalah, file, dan apa saja dia acak-acak. Dia mencari sesuatu. Mati aku! Troy menolehkan kepalanya ke jok belakang. Kembali mencari-cari. Tangannya menggapai-gapai. Wajahnya tidak kunjung memperlihatkan rasa puas. 

Saat itulah, kaca mobil bagian depan diketuk dari luar. Polisi itu. Troy buru-buru memencet tombol 

”Selamat sore, Pak. Bisa lihat SIM? STNK?”

Pertanyaan polisi paling klasik sedunia. Kenyataannya, Troy panik, karena tak memiliki jawaban yang bagus untuk dua pertanyaan itu. 

“Eh… ada, Pak. Ada.”

Troy kembali sibuk mengacak-acak kanan-kirinya. Dia tetap tidak menemukan apa yang dia cari. Dia lantas menoleh ke polisi itu. “Eh… Bapak kenal saya, ’kan?” 

Polisi berhelm yang berdiri di bawah hujan itu mengerutkan dahi. Ada curiga di matanya.

Troy berusaha tetap tenang. “Saya tidak punya masalah, kenapa Bapak menyetop saya?”

“Anda mengebut di jalan. Membahayakan diri Anda sendiri dan orang lain. Bagaimana Anda mengatakan tidak punya masalah?”

“Ngebut?” Troy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kecepatan saya bahkan di bawah 70 kilometer per jam, Pak.”

“Mau mengakali petugas? Saya butuh STNK dan SIM Anda.”

“Permasalahannya, STNK dan SIM biasa saya simpan dalam dompet khusus. Sekarang dompet itu tidak ada.”

Polisi berhelm mengangkat dagunya. Seolah-olah dia baru saja menangkap basah seorang maling ayam.

Troy kembali berusaha. “Bapak kenal saya, ‘kan? Kalau Bapak menonton televisi, pasti kenal saya.”

Polisi berhelm menggeleng-gelengkan kepala. 

“Mad Man Show. Troya Pronocitro.” 

“Saya jarang menonton TV. Lagi pula, saat ini saya tidak peduli dengan TV. Saya minta SIM dan STNK Anda.”

Troy mulai emosi. Emosi orang kalah. Entah bagaimana dia tiba-tiba mengingat Atlantis. Mengingat kata-katanya. Dia… dia sempat bicara tentang polisi.

“Tidak perlu bersikap ngotot kepada polisi. Hadapi dengan tenang, mereka pasti mengerti.” Ada yang berdesir di darah Troy. Dia langsung sibuk mengusir pikiran yang dia anggap bodoh itu. Dia meyakinkan dirinya bahwa Atlantis hanya membual. Dia tidak tahu apa-apa tentang apa yang akan terjadi. Semua peramal itu pembual. Ini kebetulan saja.

“Pak, begini saja. Biar saya telepon teman saya di kantor. Nanti dia akan ke sini untuk mengantar SIM dan STNK saya. Bapak tidak perlu khawatir. Saya bukan pencuri. Ini benar-benar mobil saya.”

Polisi berhelm di luar mobil tetap memasang ekspresi mengancam. Kumis tebalnya melintang seram. Dia lantas mengangguk-angguk mantap. “Telepon teman Anda. Katakan padanya, Anda menunggu di Mapolresta Bandung Selatan.”

“Aduh, Pak. Kenapa harus repot-repot ke kantor polisi? Sudahlah, di sini saja. Saya harus buru-buru pulang.”

“Siapa yang tidak terburu-buru di dunia ini. Semua orang terburu-buru. Tapi, ini peraturan. Anda tak bisa melawan peraturan.”

Troy terdiam. Sekonyong-konyong ekspresi wajahnya berubah menjadi aneh. Dia meraih dompet dari saku belakang celananya. Membukanya dan menemukan berlembar-lembar pecahan ratusan ribu rupiah. Dia ambil seluruhnya, lantas disodorkannya ke pintu mobil. “Ambil saja, Pak. Lebih baik kita saling memudahkan.”

“Anda tahu, berapa lama Anda akan mendekam di penjara untuk usaha penyuapan petugas?”

Troy terkesiap. Wajahnya mendadak pias. Lembaran uang berwarna merah itu sempat menggantung beberapa detik di udara. Namun, Troy segera menariknya lagi. Jantungnya berdegup luar biasa kencang. Di otaknya segera berkecamuk berbagai kemung­kinan tidak menyenangkan.

Kalau ada yang dia gelisahkan sama sekali bukan soal sidang di pengadilan, kantor polisi, atau apa saja yang berhubungan dengan hukum. Menurutnya, serumit apa pun persoalan hukum yang meringkusnya, selama uang masih mampu menjangkau, masalahnya tidak akan serumit itu.


                                                 cerita selanjutnya >>


Penulis: Taufiq Saptoto Rohadi 
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?