Fiction
Lelaki Pilihan [2]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ruang tamu dan keseluruhan rumah Nina sebetulnya kecil. Namun, Ilham merasa, calon istrinya ternyata pintar memilih perabot-an. Walaupun perabotan yang mendominasi rumahnya dari kayu jati, dengan pemilihan ukuran yang tepat, perabotan tersebut tak terkesan berat. Bahkan, sangat cantik ketika dipadukan dengan hiasan topeng dari Cirebon, lukisan kaca, kain tradisional, gerabah, wayang, dan beberapa benda etnik lainnya. Sebagai pengusaha furniture, dia tahu kualitas suatu barang dengan satu kali lihat. Dari hasil pengamatannya, calon istrinya punya cita rasa seni yang tak bisa diabaikan, juga dalam ketelitian pemilihan bahan.

“Itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Aku, toh, menirunya dari majalah interior, lalu mencari barang-barang sejenis di toko ba­rang antik di Ciputat, dan menatanya persis seperti di majalah itu,” jawab Nina ketus, sambil menata minuman di meja.

Ilham terlihat kaget dengan keketusan Nina. Seingatnya, gadis yang diajaknya mengobrol dulu adalah seorang yang ramah, sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Bukan gadis ketus seperti ini. Apa karena perjodohan ini? Kemudian, dia tersenyum. Ingin diketahuinya langkah Nina selanjutnya.

“Silakan diminum. Kamarmu yang di depan itu. Tapi, kamarmu tak ada kamar mandinya. Kalau mau ke kamar mandi, kau harus ke kamar mandi itu,” tunjuk Nina. Ilham mengangguk.

Nina kemudian kembali ke belakang, sambil membawa nampan. Ibunya mencegat Nina dan mengusirnya agar dia kembali ke ruang tamu. “Ayo, sana, temani masmu. Masa dia ditinggal sendiri.”

“Kan nanti ada Ayah. Aku mau ke kamar mandi dulu.”

“Ayahmu sedang istirahat di kamar. Sudah, jangan banyak alasan,” kata ibunya, yang langsung mendorong Nina ke ruang tamu. Rupanya, ibunya tahu bahwa Nina berbohong.

Nina melihat Ilham sedang mengamati lukisan yang ada di depannya. Namun, ketika diketahuinya Nina datang menghampiri, Ilham menengok sambil menyunggingkan senyuman. Melihat senyuman Ilham, Nina jadi tambah kesal. Dia seolah diejek oleh Ilham. Jangan merasa puas dan lega dulu. Kau kira aku mau saja digiring ke penghulu bersamamu, ujarnya dalam hati.

“Apakah aku nanti bisa bicara empat mata denganmu?” tanyanya sengit, walau masih dengan nada berbisik, takut didengar ibunya.

Melihat nada sengit yang dilontarkan, Ilham kembali tersenyum. “Rupanya, kau tak mau buang-buang waktu, ya? Boleh. Kapan saja aku siap. Kalau ingin bicara berdua tanpa gangguan, lebih baik kita bicara di luar saja.”

“Oke, bagaimana kalau sesudah makan siang?” tanya Nina tak sabar, melihat Ilham terus tersenyum-senyum begitu.

“Baiklah,” jawab Ilham, masih ramah.

“Kenapa kamu mau saja disuruh meminangku?” tanya Nina langsung, ketika kendaraan yang mereka tumpangi sudah berjalan, dan bayangan kedua orang tuanya sudah tak kelihatan.

Sebelum menjawab, Ilham meliriknya. “Tak ada yang memaksaku. Aku bersedia sendiri tanpa ada paksaan dari siapa pun.”

“Tapi, kenapa?” tanya Nina penasaran.

“Kenapa? Apakah kamu merasa dirimu tak layak untuk dipinang orang?” Ilham balik bertanya.

“Bukan itu yang kumaksud. Kita bahkan tidak saling mengenal. Kok, mau-maunya kamu disuruh meminangku?”

“Kita sudah kenal. Kakakku pernah kos di rumahmu ketika dia jadi murid ayahmu. Saat itu aku sering datang berkunjung bersama ibuku. Bahkan, sering bermain bersamamu. Mungkin, kamu lupa. Selain itu, baru-baru ini juga, saat orang tuamu pulang haji, aku datang ke rumahmu. Bahkan, aku sempat mengobrol banyak denganmu.”

“Mana aku ingat, aku bertemu siapa saja di masa kecil. Juga saat ibuku pulang haji. Saat itu tamu yang datang sangat banyak dan silih berganti. Otakku bukan komputer, yang mampu merekam semua orang yang datang,” sembur Nina kesal. “Oke, ketika kamu datang menengok ayah dan ibuku, apakah kamu sudah tahu kalau kamu dijodohkan denganku?” kejarnya lagi.

“Tidak. Aku tahu bahwa kita dijodohkan baru-baru ini.”

“Lantas, kamu begitu saja setuju?” tanya Nina tak mengerti.

“Kenapa tidak? Apakah kamu memandang rendah dirimu? Apakah kamu merasa tidak layak dinilai tinggi oleh seorang lelaki?”

“Jangan kau kira aku akan tersanjung dengan jawaban yang kau berikan! Itu omong kosong! Aku tak percaya, di masa sekarang ini ada yang mau begitu saja menerima perjodohan yang diatur orang tua. Pasti ada alasan lain. Coba katakan alasanmu!” serunya, tak sabar.

“Lho, apa salahnya? Ingatlah, jodoh dan kematian tetap merupakan misteri Allah. Apakah tak pernah tebersit di pikiranmu kalau bisa saja lewat jalan ini kita berjodoh? Mungkin memang Tuhan menggariskan kita berjodoh lewat campur tangan orang tua.”

“Kamu, toh, belum mengenalku dalam arti sebenarnya. Siapa diriku, bagaimana kebiasaanku, bagaimana karakterku, apakah aku ini cocok denganmu atau tidak. Sebaliknya, aku juga sama sekali tak tahu apa-apa tentang dirimu,” ujar Nina, mencoba bersabar.

“Kita kan tidak akan menikah hari ini juga. Orang tua kita memberi waktu untuk saling mengenal. Aku siap membuka diri. Kuharap, dirimu juga demikian. Kita bisa saling mengenal lebih dalam lagi tentang diri kita masing-masing.”

“Tak ada gunanya pengenalan lebih jauh. Kita akhiri omong kosong ini sekian saja. Aku tak ingin menikah!” seru Nina, kesal.

“Karena aku tak memenuhi kriteriamu?”

“Baik denganmu atau orang lain!”

“Jangan sedramatis begitu. Bila memang Tuhan menghendaki kamu menikah, kamu tak bakalan bisa menolaknya. Sekuat apa pun kamu mencegahnya.”

“Kalau memang Tuhan menghendaki aku menikah, kenapa bukan sejak dulu aku menikah? Mungkin, memang Tuhan menghendaki aku tak mempunyai jodoh. Siapa yang menjamin bahwa jalan inilah yang dikehendaki Tuhan bagiku untuk mendapatkan jodoh?”

“Siapa juga yang bisa menjamin bahwa takdirmu memang tak berjodoh? Bisa saja takdirmu memang baru berjodoh kali ini,” balik Ilham, tak mau kalah.

Nina melirik Ilham dengan sengit. Dilihatnya sinar keras kepala terpancar dengan kuat di wajah Ilham. Berdebat begini terus, tak akan ada habisnya, pikir Nina. Aku harus mengubah strategi. “Kita masuk ke restoran itu saja. Makanannya enak dan suasananya sangat nyaman. Kita bisa mengobrol di sana dengan tenang,” ujarnya, kala melewati sebuah restoran yang biasa dikunjunginya.

“Oke,” sahut Ilham, sambil membelokkan mobilnya.

“Kamu ingin tahu siapa aku sebenarnya?” ujar Nina, tanpa membuang waktu, setelah mereka berdua memilih tempat duduk yang jauh dari pengunjung lainnya. “Aku anak keempat dari ayah-ibuku, kukira itu kau sudah tahu. Aku dulu bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah wanita. Kini, aku tak lagi terikat dalam suatu majalah, tapi bekerja sebagai freelancer di berbagai majalah.” Selanjutnya, Nina pun menceritakan tentang kejelekannya. Semua yang negatif perihal dirinya dia kemukakan. Bahkan, yang sebetulnya tak terlalu jelek, dia buat seperti terdengar jelek. Dia harap, Ilham mundur mendengar sifat buruknya.

Ilham mendengarkan dalam diam. Tak ada satu pun komentar yang dilontarkannya, selama Nina menceritakan sisi negatif dirinya. Dia malah asyik memerhatikan wajah Nina. Wajah Nina tak terlalu cantik sebenarnya. Tapi, ada sesuatu yang lain di wajah ini. Ada kesan puas diri. Seolah, apa yang dicarinya di dunia ini telah diperolehnya dan dinikmatinya dengan puas. Tak ada kesan gelisah dan mencari-cari, seperti yang dijumpainya pada wanita-wanita yang lebih muda.

Mata Nina juga menunjukkan dirinya. Matanya sebenarnya sangat lembut. Tapi, kali ini mata itu sedang tak ingin berlembut-lembut padanya. Justru, sinar yang terpancar di sana sangat tegas. Namun, sinar kelembutan tersebut tak berhasil disembunyikan pemiliknya, terutama kalau bukan Ilham yang sedang jadi objek pandangnya. Ketika pelayan datang menyuguhkan minuman, misalnya, sambil mengucapkan terima kasih, sinar mata Nina melembut dengan otomatis. Namun, saat pandangannya beralih ke dirinya, sinar mata itu berubah tegas kembali. Sangat menarik, batin Ilham.

“Terima kasih telah memercayakan semua rahasiamu padaku,” sindir Ilham, setelah Nina menyudahi penjelasannya.

“Tak sesuai dengan bayanganmu semula, ‘kan?” ejek Nina.

Ilham hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia pun lantas menceritakan siapa dirinya. Tak seperti Nina yang sengaja hanya menampilkan sisi buruknya, Ilham menceritakan semua perihal dirinya. “Nah, karena kita telah saling membuka diri, kurasa tak ada lagi kata tak saling mengenal, bukan? Yang kita perlukan selanjutnya adalah berusaha lebih akrab, sebelum kita melangkah ke pernikahan,” tandas Ilham, akhirnya.

“Aduh, perkawinan lagi…. Jadi, kamu tetap ingin meneruskan perjodohan ini, setelah kamu mengetahui tentang diriku?” seru Nina, tak percaya.

“Jangan dikira aku tak menangkap maksud yang tersirat di balik semua penjelasanmu itu. Kamu sengaja tak menampilkan sisi positif dirimu, bukan?” ujarnya, sambil tersenyum. Walau dia mencoba menyembunyikannya, Nina menangkap nada geli di suaranya. Lemaslah kakinya. Ternyata, Ilham tak bisa dibodohi.

“Meski begitu, sudah terlihat dengan jelas bahwa kita sangat berbeda. Kita tak bakal cocok. Buat apa diteruskan ke tahap pendekatan segala. Kita sudahi sampai di sini saja. Kita tak perlu buang-buang waktu dan energi lagi. Aku yakin, kehidupanmu pun sudah cukup sibuk, tanpa perlu memikirkan diriku.”

Ilham mengerutkan kening, mendengar penolakan Nina yang terus-menerus. Tak urung hatinya agak panas juga mendapat penolakan begitu. “Jangan khawatir, akan kuluangkan waktu yang banyak untuk mengenal dirimu,” jawabnya, tak mau kalah.

“Sebenarnya, ada apa, sih, denganmu? Kenapa kamu ngotot mau menikahi wanita yang jelas-jelas tak mencintaimu, yang aku yakin, tak kau cintai pula. Wanita yang masih asing bagimu. Kalau begitu, kenapa tidak kau kawini saja semua perempuan yang lewat di depan rumahmu?”

“Perumpamaan itu sangat kasar diucapkan oleh seorang berpendidikan sepertimu. Tentang cinta, cinta, toh, bisa tumbuh setelah kita menikah nanti. Lihatlah orang tua kita dulu, tanpa didahului saling mencintai, buktinya mereka bisa langgeng dalam perjodohan. Semuanya bisa terjadi, asalkan masing-masing mau menerima dan belajar mencintai pasangannya.”

“Kau kira hal itu masih mungkin terjadi di zaman sekarang ini?”

“Apanya yang tidak mungkin? Tuhan bisa membuat segalanya bisa terjadi, jika memang dia menghendakinya. Kamu harus ingat itu. Kita tak pernah tahu apa yang dikehendaki Tuhan terhadap diri kita di masa datang. Jadi, kenapa kita harus bersikap antipati dengan usulan perjodohan orang tua kita. Siapa tahu ada hikmahnya. Toh, mereka tak menyuruh kita langsung menikah. Mereka memberi kesempatan kita untuk saling mengenal lebih jauh. Kukira, mereka juga tak bakalan menutup mata, kalau hasilnya nanti tak seperti yang diinginkan. Setidaknya, kita telah berusaha sebaik mungkin.”

“Kamu tak mengerti juga, ya? Aku tidak mau menikah denganmu! Kau dengar? Carilah wanita lain yang mau. Kurasa, dengan penampilanmu, juga kekayaanmu, akan banyak wanita yang bersedia menikah denganmu dengan mudah,” sembur Nina, tak sabar.

Ilham tampak mengeraskan rahangnya. Melihat Nina yang tetap ngotot, Ilham jadi kehilangan kesabarannya. “Oke. Pernikahan memang tak bisa dipaksakan, jika salah satu pihak tak mau. Tapi, tolong, karena prakarsa pernikahan ini datang dari orang tua masing-masing, kau kemukakan saja keberatanmu itu pada ibumu. Nanti, bagian ibuku adalah tugasku. Bagaimana?”


                                                                                cerita selanjutnya >>


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?