Fiction
Lelaki Pilihan [11]

19 May 2012

<< cerita sebelumnya

“Bagaimana dengan kita?

“Apa maksudmu bagaimana dengan kita? Ya, kau kembali ke kehidupanmu dan aku dengan rencana-rencanaku.”

“Jadi, kau tak memercayaiku?”

“Aku percaya.”

“Lalu, kenapa kau tak pulang? Bagaimana dengan pertunangan kita?”

“Sudah kukatakan, kita kembali ke jalan masing-masing.”

“Kenapa?” tanya Ilham, tetap tak mengerti.

“Ya, tidak apa-apa. Aku hanya merasa, perkawinan bukan sesuatu yang tepat buatku. Bukan karena aku tak memercayaimu, ya. Tapi, peristiwa itu telah membukakan mataku, kesadaranku, bahwa perkawinan bukanlah untukku. Mungkin, Tuhan tak menghendaki aku berjodoh dan menikah.”

“Apa lagi yang kini jadi halangan?” kejar Ilham.

“Aku hanya tak tertarik lagi pada pilihan itu,” jawab Nina.

“Kau pasti berbohong. Pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan,” desis Ilham, sambil mengguncang bahu Nina dengan tak sabar.

Nina menepis tangan Ilham dan menjauh dari Ilham.

“Nina, kau sebenarnya takut, bukan?” kejar Ilham lagi. Tak mau membiarkan Nina menghindar kini. Dicekalnya tangan Nina dan didorongnya tubuhnya agar dia duduk di dekatnya.

Nina menatap mata Ilham. “Ya, aku memang takut. Aku memang takut menikah. Lantas, kau mau apa? Mengikatku dan menyeretku ke depan penghulu agar aku bisa menikah denganmu?” tantangnya, tak kalah sengit.

“Nina, kenapa begitu sulit kau memercayaiku? Aku tak bakal menyakitimu, Nin. Tak akan pernah. Aku mencintaimu,” kata Ilham.

“Cinta?!” sembur Nina, kesal. “Kalau saja perjodohan ini tak ada, hidupku akan lebih mudah. Sudahlah, kata-kata klise seperti itu sebaiknya kau berikan pada perempuan lain. Mungkin, mereka lebih membutuhkannya. Kata-kata itu tak ada artinya buatku,” ujar Nina.

“Nina, jangan kau samakan semua lelaki dengan Herman. Hanya karena Herman pernah melukaimu, lantas semua lelaki juga akan berbuat yang sama padamu. Aku tak bakalan seperti itu. Percayalah,” bujuk Ilham.

“Dari mana kau tahu tentang Herman? Ibuku yang menceritakannya padamu?” Nina tersentak.

“Bukan. Sama seperti dirimu, aku pun menyelidiki latar belakang sikapmu yang aneh. Ibumu menyebut-nyebut tentang dirimu tak mau dituduh merebut pacar orang. Dari situ aku menduga, kau pasti pernah terluka dan dikhianati seseorang. Ditambah lagi sikapmu yang selalu membingungkan. Aku bisa merasakan bahwa kau mencintaiku, tapi kau membangun tembok pembatas yang sangat tebal di antara kita. Kau selalu ragu untuk melangkah ke arah pernikahan. Dari penyelidikanku pula, aku jadi tahu tentang hubunganmu dengan Herman.”

Mata Nina menyiratkan kepedihan yang sangat. Ilham tak tega melihatnya. Di balik kekerasan dan ketegaran Nina, terpendam kerapuhan yang menyentuh hatinya. Dia boleh ditentang dengan keras, dengan kata-kata kasar sekalipun, tapi tidak dengan mata yang memancarkan kepedihan begini. Hatinya langsung lumer. Ia pun menyumpah-nyumpah dalam hati pada lelaki yang telah menggoreskan luka di hati gadis ini.

Diraihnya bahu Nina dan didekatkannya ke pelukannya. “Nin, tak semua lelaki seperti itu. Ada juga yang cintanya sangat tulus. Percayalah padaku, aku tak akan menyakitimu. Aku mencintaimu dengan sangat,” ujar Ilham, lembut, sambil menempelkan dagunya di kepala Nina.

“Kau hanya perlu memercayaiku. Dengan berlalunya waktu, semua kepedihan itu bisa berlalu. Dengan membuktikan sendiri bahwa di dunia ini ada cinta yang tulus, kepercayaanmu tentang cinta yang sempat terkoyak, akan sirna,” lanjut Ilham.

“Bagaimana jika kau menemukan orang yang lebih cantik dariku? Bagaimana jika kau menemukan bahwa aku ternyata punya banyak kekurangan? Bagaimana jika bayanganmu semula tentang diriku tak lagi sesuai?”

“Itu hanya terjadi pada orang yang lebih mementingkan cinta secara lahiriah, tanpa melihat bahwa kecantikan dalam batin itu lebih penting. Aku mengagumi semua yang ada di dirimu. Semua kepintaranmu, kemandirianmu, ketegasanmu, kemanjaanmu, sampai ke sifat judes dan kegalakanmu pun, aku suka. Dirimu sangat unik dan komplet. Apakah aku akan menyia-nyiakan orang seperti ini? Cintaku tak akan sirna. Bahkan, mungkin akan makin kuat.”

 “Entahlah, aku sendiri bingung. Apakah aku masih bisa memercayai janji laki-laki. Saat aku mendengar tentang dirimu bersama Yanti, aku benar-benar jatuh berkeping-keping. Selama ini aku kira aku cukup tegar. Kupikir luka yang ditimbulkan oleh Herman sudah berhasil kututup dengan rapat. Aku sudah cukup kuat. Tapi, nyatanya itu semua bohong. Aku tetap saja jatuh berkeping-keping. Dua kali aku hampir menikah, dan dua kali pula gagal. Itu membuat aku kapok. Aku sampai berpikir, jangan-jangan karma itu sebenarnya ada pada tubuhku sendiri. Mungkin, sebenarnya  aku memang  tak ditak­dirkan untuk menikah. Itulah mengapa, Tuhan selalu membatalkan pertunanganku tepat di saat aku mau menikah. Kenyataan ini sangat menyakitkan, Mas. Aku tak mau lagi seperti itu. Cukup dua kali saja aku terkena hal ini,” ujar Nina, pelan.

 “Tapi, aku tak menyakitimu, Nina. Dan, pertunangan kita juga tidak batal. Di antara kita hanya terjadi kesalahpahaman. Aku tak bakal bisa menyakitimu, karena menyakitimu sama saja menyakiti diriku. Mengertikah kamu, dukamu adalah dukaku juga. Aku tak bakalan kuat jika kau juga bersedih.”

“Entahlah, aku tak bisa berpikir saat ini. Jangan paksa aku untuk memutuskan apa-apa saat ini,” ujar Nina, dengan mimik ngeri.

Ilham menghela napas. Ia sadar, Nina butuh waktu untuk merenungkan perubahan besar ini. “Baiklah, kau boleh berpikir-pikir dulu. Aku akan menunggumu. Semalam pun boleh. Jika kau butuh waktu yang lebih lama lagi, aku akan tetap menunggumu. Aku akan pulang lebih dahulu dan menunggumu di sana. Pokoknya, berapa pun waktu yang kau perlukan, aku akan menunggu. Tapi, jangan lari lagi, ya,” ujar Ilham.

Nina diam. Semuanya terjadi begitu cepat. Dia perlu waktu untuk mencernanya. Dibiarkannya dirinya berada dalam pelukan Ilham. Rasanya sangat nyaman berada dalam pelukan Ilham, mendengar denyutan jantung Ilham yang kuat dan teratur.

Ilham pun merasakan hal yang sama. Nina begitu lembut dalam dekapannya. Begitu rapuh dan kecil. Ilham merasakan dirinya ingin selalu melindungi Nina.

Mereka duduk berpelukan dalam diam beberapa lama, sampai Ilham mengira Nina ketiduran dalam pelukannya. Tiba-tiba Nina mengangkat kepalanya. “Aku pulang dulu, nanti temanku mencari.”

“Kapan kau akan pulang?”

“Aku belum tahu. Aku akan selesaikan tulisanku dulu.”

“Baiklah, aku akan menunggumu. Sampai kesediaan itu datang di hatimu. Sampai pintu hatimu terbuka untuk menerima cintaku sepenuhnya. Cintaku tak akan berubah, Nina. Kau harus yakin itu,” bisik Ilham.

Nina mengangguk. Ia bisa melihat kesungguhan hati Ilham. Kesabaran dan kebaikan lelaki ini untuk menunggu, menyentuh hatinya. Ia sangat sayang pada lelaki ini. Kalau Ilham begitu yakin, kenapa ia harus bimbang dan lari? Nina kembali memeluk Ilham. Keputusan itu sudah dibuatnya. Tamat


Penulis: Indah Kunarso


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?