Trending Topic
Laskar Pejuang Buku

29 Sep 2015

Di balik minimnya minat baca di Indonesia, ada sejumput harapan positif yang ditiupkan oleh sekumpulan individu, komunitas, maupun instansi yang terus berupaya memopulerkan sastra dan menumbuhkan minat baca pada masyarakat Indonesia, terutama anak-anak. Lihat saja, berbagai festival terkait hal ini bermunculan. Ada Festival Pembaca Indonesia, Ubud Writers Festival, Festival Buku Indonesia, Olimpiade Taman Bacaan Anak, Makassar International Writers Festival, dan juga Asean Literary Festival.
   
Mereka bergerak secara independen bermodalkan rasa cinta yang besar terhadap buku dan sastra. Asean Literary Festival, misalnya. Pertama kali diadakan tahun 2014, festival ini lahir dari kegelisahan Okky dan suaminya, Abdul Khalik, atas rasa asing kita terhadap karya-karya sastra dari negara-negara di Asia Tenggara. “Demikian juga dengan mereka, tidak mengenal karya sastra kita. Padahal, masing-masing negara ini punya potensi pembaca dan rasa ingin tahu yang besar untuk saling mengenal,” jelasnya.
   
Asean Literary Festival ini kemudian ditujukan sebagai wadah atau forum yang bisa saling memperkenalkan karya sastra dari masing-masing negara serta ajang temu para sastrawan, kritikus sastra, maupun ilmuwan dari masing-masing negara. “Kami juga ingin agar karya sastra, tidak hanya karya sastra Indonesia, tapi juga karya sastra dari ASEAN pada umumnya, lebih dikenal di publik internasional. Apa yang baik bagi Asia Tenggara, tentu akan berdampak baik pula bagi Indonesia,” tuturnya, bersemangat.
   
Meski begitu, apa yang mereka lakukan bukan tanpa tantangan. Ketika hendak menyelenggarakan ASEAN Literary Festival, Okky Madasari berangkat dari kebutaan tentang karya sastra dari Asia Tenggara. “Jadi, kami kesulitan memetakan dan mencari tahu karya sastra berkualitas mana yang perlu ditampilkan dan siapa sastrawan yang perlu diundang,” ujar Okky, yang kemudian mendapat bantuan dari kedutaan besar negara-negara ASEAN dan juga non-ASEAN, serta lembaga-lembaga sastra independen.
   
Urusan pendanaan juga menjadi tantangan yang tak kalah besarnya. Tidak ada festival yang dapat berlangsung tanpa pendanaan yang cukup. “Di luar negeri, festival-festival sastra maupun buku mendapat bantuan dana dari pemerintahnya. Namun, setahu saya, mayoritas festival di Indonesia masih mencari pendanaan secara independen,” ujar Okky.
   
Demikian juga dengan para pendiri taman bacaan di Indonesia. Damasia Restu Rahmita, pendiri Taman Baca Masyarakat Rumah Mentari di Desa Wates, Semarang, contohnya, membangun taman bacaannya bermodalkan uang Rp4 juta, sekitar 300 buku, dan  dua unit komputer yang ia beli sendiri. “Tiap bulan, saya juga menyisihkan dana Rp500.000 untuk membeli buku,” ungkap guru bahasa Inggris di salah satu SMK di Kabupaten Semarang, yang juga menerima donasi berupa buku, ini. Kini, jumlah buku di taman bacaannya sudah mencapai 4.000 buah.
   
Cerita Ridwan Sururi (42), penggagas Kuda Pustaka, dari Purbalingga, Jawa Tengah, tak kalah menginspirasi. Meski tak punya uang untuk membeli buku, semangatnya untuk membuat taman bacaan tak surut. Bermodalkan 136 buku yang dikirimkan temannya, Nirwan Arsuka, dari Jakarta, Ridwan memulai taman bacaan Kuda Pustaka, pada Januari 2015.
   
Sebagai sarana, ia menggunakan   seekor kuda yang ia rawat, milik seseorang di Kota Purbalingga. Luna, demikian nama kuda itu, rupanya berhasil menarik minat anak-anak untuk mendekati perpustakaan kelilingnya. “Awalnya, saya belum mendapat izin dari pemilik untuk menggunakan kudanya menyebarkan buku. Namun, akhirnya pemilik mengizinkan setelah melihat liputan mengenai Kuda Pustaka dalam siaran berita salah satu stasiun televisi,” ungkap Ridwan. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?