Fiction
Laron Jakarta [3]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Aku tak menjawab, aku juga tidak memberikan ciuman selamat datang seperti biasa. Aku duduk menghadap televisi. Jay sibuk ke dapur, pergi ke kolam, dan akhirnya mendekatiku sambil memasang wajah bingung. “Kok, nggak masak? Apa kamu ingin kita makan di luar?”

Aku tetap tak menjawab. Kusibukkan diri dengan mengganti saluran acara.

“Ada apa?” tanyanya lagi.

Kupandangi dia, apakah sudah saatnya kuhajar? Pasti menyenangkan rasanya kalau rambut tebalnya itu kugunting zig-zag saja pakai pisau cukur.

“Ada apa, kok, aneh?”

“Ada anak baru di kantor, belum sampai sebulan.”

“Ya, kenapa dengan anak itu sampai kita tidak makan malam seperti biasanya?”

“Tidak ada-apa.”

“Dia mengganggumu? Ya, sudah, nanti kuhubungi Don, biar dipecat dia.”

“Kamu masih punya suara di kantor?”

Jay tertawa bangga. “Siapa manajer yang paling berhasil sejak perusahaan itu berdiri? Jelek-jelek begini, aku masih mendapat tempat di sana. Tapi, jangan bilang-bilang istriku kalau aku dijadikan konsultan.”

Siapa yang mau melapor?

“Kok, aku nggak tahu?”

“Kejutan.”

“Sekuat apa posisimu?”

“Yaa, bisa menggagalkan iklan yang jelek dan sebagainya.”

“Oh, berarti, selama ini keberhasilanku tak bisa lepas darimu, ya.”

Jay tertawa.

“Terus, kamu juga punya suara untuk menerima pegawai baru?”

“Jelas. Bukan Jay namanya kalau tidak punya kuasa.”

Pantas.

“Sudahlah, aku rindu sekali padamu. Kita makan di luar saja bagaimana?”

Tidak akan. “Namanya Siska...”

“Siapa?” balas Jay. Kuperhatikan mimiknya, biasa. Aktor hebat.

“Anak baru itu namanya Siska.”

“Oh, begitu. Jadi nggak kita makan?”

“Aku kenyang.”

“Aku lapar.” Rayunya. Hmm, dia mau mengalihkan pembicaraan.

“Masak saja, di dapur banyak bahan yang bisa dimasak.”

“Bagaimana kalau kita masak bersama?”

Aku tahu, terakhir kali masak bersama tidak menghasilkan apa-apa. Dia malah sibuk memakanku tanpa pernah menyentuh bahan masakan. Aku tidak akan tergoda.

“Malas.”

“Kamu kenapa, sih, Nad?”

Aku diam saja. Sengaja mata kuarahkan ke televisi.

“Oke. Kenapa dengan Siska?” tanyanya.

Kupandangi dia, kulihat ada sedikit amarah di sana.

“Sarjana pertanian, kenapa bisa kerja di kantorku?”

“Mungkin dia punya kemampuan lain. Ayolah, Nad, di zaman ini ijazah kan hanya untuk syarat administrasi saja.”

“Kamu kenal?”

“Siska? Mungkin, tapi aku belum bertemu dengannya. Kamu tahulah, walau aku masih punya peran di kantormu, untuk muncul di sana kan tidak mungkin. Paling-paling si Don melaporkan sesu¬atu padaku, begitu.”

“Kok, mungkin?”

“Ya, kukatakan mungkin karena mungkin saja si Don pernah bercerita tentang dia. Ayolah, pekerjaanku kan tidak itu saja.”

“Itu namanya tidak kenal.”

“Makanya kukatakan mungkin.”

Aku tidak membalasnya. Kuperhatikan dia dengan seksama. Kucoba ulang apa yang barusan ia katakan. Aku seperti detektif di komik-komik yang sibuk memecahkan sandi. Dan, di depanku ini adalah tersangka. Sayang motifnya belum terbaca, jadi aku belum bisa menjeratnya dengan segala undang-undang yang kukuasai.

“Sudahlah, aku lapar. Kupikir akan mendapatkan makanan yang menyenangkan seperti biasa. Kalau begini jadinya, bagus aku pulang ke rumah saja.”

Apakah aku harus percaya pada Jay? Tapi, Siska sepertinya jujur. Kenapa aku jadi begini?

“Aku pulang sekarang saja.”

“Tunggu, Jay. Aku masakkan sebentar....”

Jay tertawa sambil memelukku.

Ah, terserahlah, nikmati saja hari ini. Kalau ini berarti kebohongan, bukankah siang tadi aku ingin mendengar suatu kebohongan? Terserah yang bohong Siska atau Jay, setidaknya salah satu dari mereka pasti bohong. Ya, aku telah mendapatkan kebohongan hari ini. Cukup.

Besok aku harus mendapatkan satu kejujuran. Terserah dari Jay atau Siska, aku tidak peduli!

Aku tidak ingin menunggu, kudatangi langsung Siska di mejanya. Hari ini dia memakai rok pendek berwarna hijau, atasannya baju kuning terang. Bibirnya tersaput lipstik warna cokelat gelap. Hmm... tampaknya dia harus lebih banyak membaca majalah mode.

Tapi, baru setengah perjalananku ke mejanya, aku berpikir, mengapa aku mendatanginya? Apa yang harus kukatakan? Halo! Nadia, apakah kau akan menanyakan langsung tentang hubungannya dengan Jay?

Aku berbalik ke mejaku dengan pertanyaan yang masih menggantung. Sebaiknya kutunggu saja ia bicara sendiri. Ya, itu akan terlihat lebih dewasa. Tapi, kalau dia tidak membicarakannya, bagaimana, ya?

Akibatnya, hingga waktu istirahat tidak ada perbincangan tentang Jay. Kami sibuk membahas iklan itu saja. Menyedihkan sekali. Makin sering berbincang tentang pekerjaan, aku makin sadar bahwa dia pintar juga. Uff, aku tidak boleh mengakui itu. Jika aku mengakui kemampuannya, maka aku bisa kalah. Bukankah dia meminta bantuanku. Atau, apakah mungkin ia meminta bantuanku agar aku tahu kehebatannya? Dengan kata lain, dia meminta bantuanku untuk mengalahkan aku. Ya, melecehkan aku.

Aku memilih tidak makan siang. Sendirian aku berdiri di atas gedung memandang bawah dengan pandangan yang tak tentu arah. Biasanya aku selalu menyukai hal ini. Ayolah, siapa yang tidak menyukai menonton adegan tabrakan, amarah, tangis, dan luka? Dan, adegan itu bukan rekayasa, bukan adegan seperti di televisi. Bayangkan saja, kau melihat perkelahian secara langsung tanpa harus terlibat secara langsung.

Sayang, hari ini aku tidak menikmati pemandangan seperti itu. Pikiranku masih terganggu, aku masih penasaran. Aku butuh suatu kejujuran hari ini. Aku harus mendapatkan hal itu.

Sesungguhnya aku berharap Siska menyusul ke atas. Tapi, hingga aku suntuk, ia tidak muncul juga. Apakah seperti ini definisi teman baginya? Bah! Kenapa aku malah seperti ini.

Aku turun saja. Kutemui saja dia, terserah kalau tindakanku kali ini bisa dikatakan tidak dewasa.

Tapi, aku harus menemukan cara mencari informasi yang pintar. Tidak mungkin kan kalau aku langsung menyerangnya. Apa jadinya kantor ini kalau hubunganku dengan Jay diketahui umum. Selama ini kami selalu berhasil menutupi hal tersebut. Istrinya saja tidak tahu bahwa aku yang ada main dengan Jay. Ya, sepengetahuan istrinya, Jay selingkuh dengan anak buahnya di kantor tanpa tahu siapa dia.Ayolah, berapa banyak wanita muda di kantor ini? Dan, hebatnya, hubunganku dengan istri Jay adalah sangat dekat. Dia menganggapku adiknya. Dia tidak pernah curiga denganku. Hebat kan. Lalu, hanya gara-gara Siska, semuanya jadi terbuka?

Dan, sekarang wanita berbusana gado-gado itu ada tepat di depanku. “Ada apa, Mbak?” tanyanya.

Aku tergagap, aku belum siap, tapi mengapa aku sudah ada di depannya? Ayolah, segala kekuatan yang ada di alam ini, berikanlah kekuatanmu. Berikan aku kalimat yang bisa menjebaknya. “Nggak penting, tapi mungkin penting juga, sih.”

Wanita itu tersenyum melihat sikapku barusan.

“Katakan saja, Mbak, mungkin aku ada pemecahannya.”

Wah... wah, dia merasa lebih hebat dariku. Memangnya siapa dia? Aku tak butuh konsultasi tentang pekerjaan. Aku jauh lebih hebat. Aku sudah sangat lama bekerja di sini, eh, anak baru sudah sok gaya.

“Nggak ada hubungan dengan pekerjaan.”

Dia tersenyum lagi, “Aku tahu, Mbak. Tidak mungkin Mbak Nadia menanyakan tentang pekerjaan.“ Dia tersenyum terus. “Mbak Nadia kan jauh lebih pengalaman....”

Tahu juga dia.

“Ada apa, Mbak?”

Apa yang harus kukatakan?

“Hubungan dengan Jay...” Ya, ampun. Apa yang kukatakan?

“Ya, kenapa dengan Mas Jay?”


Penulis: Muram Batu




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?