Fiction
Laron Jakarta [2]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Dia menolak rokokku, katanya, dia memang tidak merokok. Kalau tidak merokok, mengapa mengikutiku sampai ke puncak gedung begini? Sebagai gantinya rokok, dia malah sangat cerewet. Berbincang terus tentang idenya untuk iklan tersebut. Aku suntuk. Kenapa di tempat yang menyenangkan seperti ini masih saja membicarakan pekerjaan.

“Kenapa kerja di sini?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Aku suka bidang periklanan, Mbak.”

“Hanya karena suka?”

“Uangnya, tentu, Mbak.”

“Tapi, masih banyak perusahaan lain, kenapa memilih di sini?”

“Mbak bisa pegang rahasia?”

Hmm, membuka rahasia untuk mengambil hati. Paling-paling rahasia tidak berbobot. Ya, pasti dia akan mengatakan kalau dia berasal dari keluarga miskin, mencari uang di Jakarta untuk membiayai keluarganya. Basi. Aku tak akan terpengaruh. Aku tak akan menjadi temannya. Kenapa? Ya, karena setelah iklan ini selesai, dia pasti akan meninggalkanku. Ayolah, ini Jakarta, aku sudah sangat sering mendengar kisah seperti itu. Ayo, katakanlah rahasia basa-basimu itu.

“Sebenarnya aku malu mengakuinya, tapi aku pikir Mbak Nadia bisa dipercaya. Dan, aku suka dengan Mbak Nadia. Ya, setidaknya, aku ingin kita tidak sekadar teman kerja saja. Menyenangkan sekali kalau ada teman berbagi di kota yang keras ini.”

“Sudahlah, Sis, rahasia apa?” tanyaku, tak sabar untuk mendengar basa-basinya itu. Sungguh, aku ingin mendengar sebuah kebohongan hari ini.

“Mas Jay, kalau bukan karena dia, tentunya aku tidak bisa kerja di sini. Ya, ijazahku tidak mendukung, Mbak. “

“Jay, mantan manajer di sini?”

“Ya, dia yang merekomendasikan aku.”

Apa? Jay? Dasar buaya! Tapi, tunggu dulu, “Kamu saudaranya?”

Siska menggeleng dan aku mengerti.

“Kenapa, Mbak, kok, mukanya jadi tegang begitu?”

“Tidak apa-apa, syukurlah kamu memiliki kekasih seperti dia,” balasku, datar.

Kau akan kuhajar, Jay!

“Kok, masih tegang? Sebenarnya ini tidak benar, tapi bukankah hal seperti ini biasa? Yang penting, aku akan berusaha mempertanggungjawabkan kepercayaan yang diberikan Mas Jay.”

“Ya, sudah sepantasnya,” jawabku.

“Mbak Nadia juga direkomendasikan? Kalau boleh tahu, oleh siapa?”

Aku tertawa dalam hati, ”Tidak ada, aku melalui jalur yang tidak biasa. Ya, masuk melalui ujian dan wawancara yang ketat sudah menjadi aneh, ‘kan? Tapi, sudahlah, bukan suatu masalah. Ayo, turun....”

“Ini rahasia, ya, Mbak.”

Ya, ini memang rahasia. Dan, Siska yang sedang jatuh cinta, tahukah kau bahwa aku tidak direkomendasikan Jay, tapi dimasukkan ke kantor ini oleh dia. Puas!
Apa yang harus kulakukan sepulang kerja nanti? Kembali ke rumah, memberi makan ikan hias di kolam, menonton televisi sambil minum kopi instan, atau langsung menghubungi Jay?

Pengakuan Siska telah mengganggu kemapananku. Darah seperti mendidih, aku jadi takut makan sate kambing kalau begini. Jay, lelaki yang kubanggakan, ternyata sama saja. Aku jadi curiga, jangan-jangan Jay seperti pencari bakat di klub sepak bola. Dia mengunjungi sekolah sepak bola atau klub kecil, melihat pemain berbakat yang bisa dipekerjakan atau dijual.

Ya, dia mendatangi universitas-universitas, mencari yang cantik dan bisa diandalkan, terus dipacari, dan berujung pada pekerjaan. Apakah ada orang lain selain aku dan Siska? Apa mungkin istrinya juga korban seperti kami?

Kalau memang begitu, akan kulakukan semuanya. Ya, aku hubungi dia untuk datang ke rumah, terus tidak lupa memberi makan ikan, dan minum kopi sambil nonton televisi. Telah kutetapkan itu. Selihai-lihainya Jay, aku harus lebih lihai. Dan, aku tidak mau ritual senjaku harus berubah hanya karena kekadalannya itu. Aku tidak akan kalah.

Sisa hari kerja tidak ada sesuatu yang berarti. Kesibukanku hanya memindahkan berkas kerja dan ide-ideku pada Beno. Paling-paling yang membuatku sedikit terganggu hanya pada kecerewetan Siska. Bayangkan saja, dia sudah menganggap aku sebagai temannya. Halo! Apakah karena telah berbagi rahasia satu kali sudah bisa dianggap sahabat, teman sejati, atau pasangan jiwa? Enak sekali, ya. Memangnya dia tidak tahu apa yang ada dalam otakku ketika berhadapan dengannya? Kenapa dia tidak bisa menangkap keenggananku? Bukankah dia hidup lama di Yogya, kota yang penuh dengan makna terpendam.

Seperti kata orang-orang, kalau ingin hidup di Yogya, kita harus belajar ilmu semiotika terlebih dulu. Di sana, segalanya memakai perlambang, simbol, dan bahasa tubuh yang penuh makna. Nah, kenapa Siska tidak mengerti apa yang telah kukatakan lewat bahasa tubuhku?

Tapi, sudahlah, masih ada yang lebih berbahaya saat ini. Jay telah setuju untuk datang malam ini. Dia pasti berpikir, aku mengundangnya seperti malam-malam sebelumnya. Ya, makan malam yang indah, menu sederhana, duduk di meja makan dua kursi tepat di samping kolam ikan hias yang memiliki pancuran air berbentuk malaikat cinta bersayap. Ya, sayap, cinta yang bersayap, benar-benar sesuai. Huh, tidak akan ada makan malam seperti itu!

Siska mendatangiku lagi, “Mbak, nanti ada acara tidak? Aku main ke rumah Mbak Nadia boleh tidak?” bisiknya.
Apa lagi ini.

“Ya, sudah, besok-besok sajalah,” katanya, tapi tidak berlalu. Dia tetap saja duduk di dekat mejaku.

Beno mendatangiku, “Nad, kalau kita memakai ide lain bagaimana? Maksudku, aku punya ide untuk menggunakan olahraga untuk menyampaikan pesan,” katanya.

Menggunakan olahraga untuk iklan obat pilek?

“Ben, terserah kamu, ini kan sudah jadi proyekmu. Tapi, kenapa dengan ide awal yang sudah kuberikan?”

“Aku suka idemu, kencan yang gagal gara-gara ingusan, tapi menurutku itu sudah biasa. Coba bayangkan seorang pemain sepak bola, penjaga gawang, yang tidak bisa menghalau tendangan penalti hanya karena ada ingus di hidungnya? Lagi pula, kita kan bisa membantu kemajuan sepak bola nasional secara tidak langsung. Keren, ‘kan.”
Bagus sekali, saking bagusnya, kenapa dia bisa diterima kerja di sini?

“Tapi, Ben, idemu itu membutuhkan orang banyak. Contohnya, berapa jumlah pemain sepak bola itu, wasit, dan para pendukungnya. Belum lagi kamu harus memikirkan lapangannya. Ini kan iklan kecil, Ben, dana operasionalnya bisa membengkak.”

“Iya juga, ya, tapi....”

“Ya, aku tahu, kamu ingin memakai idemu sendiri, ‘kan? Pikirkanlah sesuatu yang minimalis, namun dapat menyuarakan pesan produk. Ideku dibuang juga tidak apa-apa. Oke.”

Beno mengangguk dan pergi. Siska tersenyum, “Ternyata benar seperti kata orang-orang, Mbak Nadia bisa diandalkan.”
“Apa yang kamu dengar?”

“Ya, beberapa iklan kita yang berhasil tidak lepas dari tangan Mbak Nadia.”

Aku tersenyum. Jadi, kau baru tahu kehebatanku, ‘kan?

“Terus bagaimana, Mbak?”

“Apanya?”

“Ya, nanti ada acara tidak?”

Ya, ampun!

“Mungkin lain kali, ya?” tanyanya.

Aku mengangguk cepat.

“Ya, sudah, aku ke mejaku dulu, ya....”

Aman. Terbebas. Dan, aku bisa pulang dengan melenggang.
Seandainya Siska tahu apa yang terjadi antara aku dan Jay, pasti dia tak akan begitu bernafsu untuk berteman denganku. Ya, sesama wanita tak boleh duduk di satu kursi, ‘kan? Kursi cadangan sekalipun.

Baru saja aku mengaduk kopi instan, terdengar bel berbunyi. Tumben, Jay datang lebih awal.

“Masak apa?” katanya, begitu pintu kubuka.


Penulis: Muram Batu




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?