Fiction
Larasati [1]

12 Mar 2012

Aku melihat bibir Prawesti tersenyum. Merekah seperti mawar mekar. Raka menyisipkan cincin belah rotan ke jari kanannya dan mengecup keningnya. Sementara Wulan berurai air mata bahagia. Di sisi kiriku Andris sedang menatapku. Matanya membahasakan pertanyaan, “Kapan kita seperti mereka? Dan, kubiarkan Galuh menggelayut manja di lengan kanan pria itu.

Wanita adalah sumber kekuatan bagi pria. Begitu selalu kata Ibu. Setelah menginjak dewasa, aku memaknai kata-kata Ibu dengan penafsiran yang berbeda. Wanita dengan kulit luar yang rapuh, tatkala tersentuh sesungguhnya ia makhluk kuat. Bukan sekadar kanca wingking, swarga nunut neraka katut (teman di belakang, ke surga ikut, ke neraka pun terbawa).

Kenapa orang-orang selalu mengusik bila seorang wanita memutuskan hidup sendiri? Mereka juga bertanya-tanya, kebahagiaan macam apa yang dicari wanita itu tanpa seorang suami? Siapkah membesarkan anak seorang diri dan menanggung hari-hari sepi?

Pertanyaan-pertanyaan itu telah menemukan muara dalam jiwaku. Aku menemukan cahaya di ujung labirin yang pengap. Perlahan membebaskan kungkungan ketakutan dalam otakku. Aku ingin memahami makna hidup.
Pencarian makna hidup itulah yang mengawali kisahku.

Larasati membaca headline koran di tangannya dengan mata membelalak: ”Seorang Wanita Terbunuh Di Hotel Melrose”. Nama pria yang dikaitkan dengan korban, membuat dada Larasati tertikam benda tajam.

”Baskoro, pengusaha kaya yang diduga memiliki hubungan dekat dengan korban, mengaku sedang berada di Singapura saat kejadian.”

Sudah lima kali nama suaminya dikaitkan dengan wanita lain. Larasati menghela napas berat. Berapa banyak wanita dalam kehidupanmu, Baskoro? Apakah cintamu selalu meluap sehingga harus segera dituang kepada wanita-wanita yang kau temui di luar rumah? Siapa wanita berikutnya?

“Selamat pagi, Mama…,” suara serak mengagetkan Larasati.

Buru-buru ia melipat koran. Seorang bocah perempuan enam tahun berlari kecil menghampirinya. Larasati membentangkan tangan dan bocah itu masuk dalam pelukannya. Menguap, lalu memejamkan mata.

“Bagaimana tidurmu, Sayang? Nyenyak?”

Bocah itu mengangguk, menarik tubuhnya dari pelukan Larasati. “Eyang mendongeng tentang permaisuri cantik.”

“Oh, ya?”

Larasati mendengarkan putrinya penuh perhatian, ketika sudut matanya menangkap seseorang berdiri di pintu. Kemarin ibunya datang dari Solo untuk menjenguk cucunya. Wanita paruh baya berparas bangsawan itu berjalan ke arah mereka.

“Kamu mirip mamamu dulu, suka sekali dongeng itu,” kata ibu Larasati, sambil membelai rambut cucunya.

“Dongeng Eyang bagus, sih, tapi Galuh tidak suka.”

Larasati mengerutkan kening. “Kenapa Galuh tidak suka?”

“Permaisuri itu cantik, tapi bodoh. Masa tidak punya cita-cita dan diam saja dibohongi raja?”

“Menurut Galuh, permaisuri itu harus bagaimana?” Larasati memburu. Ia kaget dengan pernyataan anaknya. Terlalu dewasa untuk anak seusianya. Tapi, dia sangat senang mendengarnya.

“Harus sekolah dan punya cita-cita. Raja menikah terus-menerus, tapi permaisuri diam saja. Bagaimana kalau anaknya punya ibu tiri dan jadi Cinderella atau bawang putih?”

“Sudah… sudah… ayo, mandi dulu!” potong ibu Larasati.

Larasati menyentil hidung Galuh. “Mandi dulu, nanti terlambat ke sekolah.”

“Tapi, Eyang harus janji, nanti malam dongengnya tentang putri yang pandai memanah dan bela diri. Galuh suka dongeng Mama tentang putri-putri hebat.”

Ibu memandang Larasati tajam. Larasati tahu sorot mata ibunya yang menuntut penjelasan. Tetapi, ia mengalihkan pandangan. Diam-diam ada yang mekar dalam dada Larasati. Ia bangga mendengar perkataan putrinya. Galuh berkembang menjadi sosok baru yang berbeda darinya.

Galuh bukan aku.

“Jangan khawatir, nanti Eyang akan kisahkan dongeng lain,” sahut ibu Larasati, sambil melambaikan tangan kepada baby sitter di halaman samping.

Galuh mencium pipi Larasati, lalu mengikuti baby sitter-nya. Ketika langkah-langkah kecil Galuh lenyap di balik pintu tengah, bel ruang tamu berdentang. Larasati dan ibunya berpandangan. Siapa bertamu pagi-pagi begini? Apakah Baskoro pulang, setelah letih menuang cintanya kepada wanita-wanita di luar sana? Larasati berjalan menuju ruang tamu. Seorang pembantunya menghampiri Larasati, setelah menutup pintu depan.

“Ada surat lewat kurir, Bu,” kata pembantunya, sambil menyodorkan surat itu.

Larasati memeriksa amplop sesaat dan mengerutkan kening melihat kop kepolisian. Surat itu ditujukan kepadanya. Minggu depan, kepolisian meminta Larasati datang memberi keterangan atas kasus pembunuhan di Hotel Melrose.

Bagaimana mungkin polisi memanggilku untuk kasus ini? Apa hubungannya denganku? Aku tidak mengenal wanita itu sama sekali. Bahkan aku tahu bahwa wanita itu ada kaitannya dengan suamiku, hanya dari koran. Baskoro sendiri sudah seminggu pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis.

“Siapa tamunya, Laras?” tanya Ibu, menghampiri Larasati.

Larasati diam sejenak, sebelum memutuskan untuk jujur kepada ibunya.

“Kurir, Bu. Ada surat panggilan dari polisi.”

“Panggilan apa?” tanya Ibu, terkejut.

“Terjadi pembunuhan di Hotel Melrose. Wanita yang menjadi korban pembunuhan ini diberitakan teman dekat Mas Baskoro. Dalem (saya) diminta memberi keterangan untuk urusan yang tidak saya ketahui.”

Ibu memandang Larasati lama, seolah memahami yang terjadi. Mengangguk-angguk, lalu menepuk pundak putrinya.

“Kau masih ingat kata-kata Ibu, bukan? Wanita itu sumber kekuatan bagi pria. Tidak heran jika pria hebat selalu dikelilingi wanita.”

Larasati menghela napas dalam.

“Sejauh-jauhnya Baskoro terbang, ia akan pulang ke pelukanmu juga. Karena, kau istrinya yang sah.”

Apa aku masih menunggu kepulangan Baskoro?

“Ingat, ya, Nduk, wanita itu harus mendukung apa pun yang dilakukan suami. Kita ini kanca wingking, swarga nunut neraka katut. Kau harus menjadi garwa (pasangan) yang baik. Sigaraning nyawa (belahan jiwa) untuk Baskoro. Menikah dengan Baskoro adalah menyelamatkan keturunan darah biru kita yang hampir lebur.”

Duh, Gusti! Kenapa ada makhluk yang menggeliat kuat dalam diriku? Meronta-ronta ingin melepaskan diri dari kungkungan?

“Dulu, ayahmu juga begitu. Banyak wanita yang dinikahinya di bawah tangan. Tetapi, Ibu ingin menjadi permaisuri yang bijaksana. Selir-selir itu tak akan mampu menggeser posisi Ibu dari hati ayah­mu. Di akhir usianya, ayahmu tetap pulang ke rumah dan meninggal dalam pelukan Ibu.”

Larasati menatap ibunya. Berusaha mencari sesuatu di bola mata yang menyorot lembut itu. Tetapi, ia tidak menemukan sesuatu yang dicarinya, selain pengabdian yang tulus. Larasati memalingkan muka, tak sanggup melihat kemilau cinta di mata ibunya terhadap almarhum ayahnya.

“Dalem mau siap-siap mengantar Galuh ke sekolah, Bu.”

Ibunya mengangguk, tersenyum.

Hampir delapan tahun Larasati memasuki gerbang pernikah­an bersama Raden Mas Baskoro Aji, pria yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. Putra pejabat tinggi dan seorang pengusaha sukses. Mereka bertemu di sebuah acara ruwatan salah seorang anggota keluarga. Kala itu Larasati baru saja menyelesaikan studinya di New York.

Lalu, tumbuh cinta di hati Baskoro. Tidak sulit meraih Larasati, yang belum memiliki kekasih, ke dalam genggamannya. Gadis cantik berkulit langsat itu sangat bakti kepada orang tuanya. Baskoro memiliki darah biru sejati yang tak mungkin ditolak kedua orang tua Larasati. Berbekal kepatuhan dan kepasrahan, Larasati menikah dengan Baskoro.

Pulang dari bulan madu di Italia, Larasati bertanya-tanya tentang perasaannya. Namun, kakak perempuannya berkata, “Witing tresna jalaran saka kulina, Laras. Kau akan mencintai suamimu seperti Ibu mencintai Ayah,” goda Prawesti, ketika Larasati termenung menjelang kepindahannya ke Jakarta.

“Cinta?” Larasati menggumam lirih. Ia takut orang lain menangkap ketakutan dalam getar suaranya. Bertahun-tahun Larasati berkutat dengan buku-buku pelajaran. Memeluk piala-piala kejuaraan dan menghabiskan hari-harinya di New York untuk belajar. Hanya itulah yang membuat Larasati bersemangat. Ia tak memahami cinta yang dimiliki ibunya hingga bertemu Baskoro.

“Kau cantik, Laras. Baskoro akan menjadikanmu permaisuri di hatinya. Keturunan kalian akan menjadi darah biru sejati.”

“Sudahlah, Mbak….” Larasati tidak ingin Prawesti melanjutkan kata-katanya dan melihat sorot kesedihan di mata kakaknya.

Masa kecil membayang di pelupuk mata Larasati. Mereka hanya dua bersaudara dengan beda usia tiga tahun. Ayahnya, Raden Mas Soebandono, sangat memanjakan mereka berdua, meskipun jarang berada di rumah, karena sibuk menginap di rumah istri mudanya. Sementara ibunya, Raden Ayu Wardani, mencekoki mereka dengan ajaran sopan santun yang terkadang sangat membosankan.

Wanita harus menahan tawa lepasnya. Wanita harus mempertahankan rambut panjangnya. Wanita tidak boleh mendahului pria. Wanita harus menundukkan kepala di hadapan pria. Wanita harus menyetujui keputusan pria. Serta keharusan-keharusan lain bagi seorang wanita. Kedua gadis cantik itu tidak kuasa menolak.

“Aku jatuh cinta, Laras,” kata Prawesti, ketika usianya memasuki gerbang wanita dewasa.

Pria itu bernama Raka. Ia teman seangkatan Prawesti di kampusnya. Lalu, getaran itu tumbuh. Raka adalah sosok pangeran dari negeri dongeng yang didengar Prawesti semasa kecil. Seorang aktivis kampus dan pencinta alam. Prawesti tak dapat mengelak. Diam-diam mereka telah tiga tahun menjalin cinta. Tapi, cinta mereka bukan cinta yang mudah.

“Cinta akan menemukan jalannya,” tambah Prawesti.

Larasati diam, memandang wajah Prawesti yang bersinar bahagia. Memang tak ada undang-undang yang akan menjatuhkan hukuman kepada kedua gadis itu, jika memilih pria di luar tembok keningratan. Tetapi, bagaimana pendapat Ayah dan Ibu jika melihat apa yang telah dilakukan Prawesti? Benarkah cinta akan menemukan jalannya? Apakah Prawesti akan menemukan sebuah akhir seperti harapannya?



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?