Trending Topic
Kungkungan Barier

2 Dec 2014


Dimas Prasetyo Muharam adalah bukti bahwa masa depan seorang tunanetra tidak hanya berakhir di panti pijat. Sebagai profesional IT muda, ia mendesain website, aktif di media sosial Twitter, menulis blog, dan baru saja meluncurkan kumpulan cerpen non-braille pertama berjudul Merpati Berjari Enam bersama kedua rekan tunanetranya.
   
Sri Lestari
juga tidak membiarkan hidupnya dibatasi oleh kursi roda. Dengan mengendarai motor roda tiga yang didesain khusus, ia baru saja merampungkan touring Aceh-Jakarta, yang bermula 5 September 2014 dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober 2014. Di tiap kota yang dikunjunginya, Sri membangkitkan semangat rekan-rekannya sesama penyandang disabilitas untuk berani keluar dari rumah dan berkarya.
   
Sosok Dimas dan Sri adalah segelintir kisah sukses penyandang disabilitas di tanah air yang berhasil menembus beberapa penghalang yang membatasi ruang gerak dan ekspresi mereka. Namun, masih banyak dari 24 juta penyandang disabilitas lain di tanah air (data terkini Organisasi Buruh Dunia ILO) yang tidak seberuntung mereka berdua.
Jangankan bermimpi bisa bepergian sebebas Sri dan berkarya sehebat Dimas, untuk keluar dari rumah saja mereka sudah direpotkan oleh masalah akses. Jalanan berbatu yang sulit dilalui, trotoar rusak dan penuh lubang, transportasi umum yang tidak ramah.

Bahkan, untuk urusan buang air kecil pun bisa menjadi masalah besar.
Seperti yang juga dialami sendiri oleh Sri dalam rangkaian perjalanannya melalui lebih dari 15 kota. Ia mencatat, dari keseluruhan toilet pom bensin yang dipilihnya secara acak, tidak ada satu pun yang bisa dilalui oleh kursi roda.

“‘Beruntung’ saya memakai diaper. Meski demikian, saya harus mengurangi minum agar tidak sering buang air kecil karena tak ada tempat untuk mengganti diaper,” jelas Sri, yang selama melakukan perjalanan didampingi oleh tim Unit Cerebral Palsy Kursi Roda Untuk Kemanusiaan (UCP KRUK) dari Yogyakarta, tempatnya menjadi relawan.

Sri juga kesal karena untuk hal sederhana, seperti masuk ke gedung perkantoran yang dikunjunginya, ia terpaksa harus dibopong. “Kalaupun ada ramp, sudutnya terlalu curam dan tidak ada pegangan atau reel,” lanjut Sri, merasa konyol. Padahal, dengan kursi roda, harusnya hal seperti ini bisa ia lakukan sendiri dengan sangat mudah!

Kekesalan Sri sangat wajar. Adegan drama yang tidak perlu ini hanya akan membuat orang memandangnya dengan sorot mata kasihan. Padahal, bukan rasa kasihan yang diinginkan olehnya. Tetapi, akses yang menjamin bahwa ia dan rekan-rekan sesama penyandang disabilitas lainnya dapat beraktivitas secara mandiri dan berkarya sebagaimana warga negara Indonesia lainnya.
   
Permintaan ini tidak berlebihan atau mengada-ada, sebab semua tertulis dalam perangkat hukum di Indonesia. Ada Undang-Undang No 4/1997 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas & Aksesibilitas pada Bangunan Gedung & Lingkungan, dan Undang-Undang No. 19/2011 Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
   
Kenyataannya, masih banyak bangunan dan fasilitas umum yang belum memperhatikan keberadaan mereka. Angkutan massal Transjakarta, misalnya. Banyak busnya yang belum menyediakan tempat bagi penyandang kursi roda. Ketika femina menanyakan hal ini kepada petugas Transjakarta, penumpang berkursi roda ditempatkan di depan pintu otomatis.

Apabila pintu bus Transjakarta terbuka, maka ia harus berpindah ke sisi pintu yang lain. Ini sulit dilakukan jika bus penuh penumpang. Absennya safety belt dan pengunci roda juga berisiko membuat penggunanya jatuh atau terjengkang dari kursi roda.
Halte Transjakarta yang dibangun di poros tengah jalan raya juga jadi masalah. Pengguna harus melalui jembatan panjang berkelok untuk sampai di sana. Masih banyak yang dibuat dalam bentuk tangga sehingga tidak ada akses bagi pengguna kursi roda. Kalau sudah ada ramp, masih belum mengikuti standar aksesibilitas yang ada.

“Ramp terlalu curam, sehingga sangat menguras tenaga saat naik, dan membahayakan saat turun,” jelas Faisal Rusdi, pengguna kursi roda, sekaligus inisiator Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT), wadah kegiatan dan advokasi penyandang disabilitas, serta mereka yang ingin mempertajam wawasan tentang isu disabilitas.
Kenyataan ini sangat disayangkan oleh Faisal, terlebih karena Transjakarta, dengan keunggulan jalur tersendiri (busway), merupakan moda transportasi massal andalan untuk kawasan kota.

Apa yang dikeluhkan oleh Faisal ini mendapat perhatian dari Jokowi, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tahun lalu, JBFT bersama sekitar 15 penyandang disabilitas lainnya mengajak Jokowi ‘blusukan’ untuk menjajal fasilitas transportasi publik di Jakarta, seperti bus Transjakarta, kereta api, dan KRL.
Meski pada kesempatan itu Jokowi hanya sempat menjajal bus Transjakarta,  ia menyaksikan sendiri banyaknya kekurangan yang ada. Salah satunya saat mereka tiba di halte Transjakarta Universitas Indonesia, Salemba. Ketika itu Faisal beserta kursi rodanya terpaksa harus dijunjung empat orang pria, karena pintu masuk ke halte terlalu sempit untuk dilalui.

Begitu juga ketika hendak naik kereta atau KRL. Pintu penghubung antargerbong masih terlalu sempit dilalui oleh kursi roda. Belum lagi membeludaknya penumpang yang tidak menyisakan ruang. Jangankan melakukan manuver, untuk berdiri bagi penumpang saja sulit! Saking penuhnya, penumpang sampai melekat pada kaca pintu otomatis, seperti seekor cecak. Hal ini terjadi terutama pada saat rush hour, seperti jam masuk kerja dan pulang kerja.

Beberapa rekan tunanetra dan tunarungu juga sering terlewat stasiun atau halte pemberhentian, karena absennya pemberitahuan audio dan text digital di angkutan kereta atau Transjakarta. Kalaupun ada, sering kali tidak menyala. Bahkan, femina sering menemui bahwa pengumuman tujuan halte pemberhentian yang didengungkan lewat pengeras suara bus Transjakarta itu salah. Parahnya lagi, tidak ada koreksi dari kondektur yang bertugas!

Dengan segala barier ini, sulit bagi penyandang disabilitas untuk memberikan kontribusi maksimal mereka sebagai warga negara. Padahal, studi dari ILO mengungkap bahwa kegagalan tiap pengelola pemerintah dalam membuka aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam pembangunan akan mengurangi 3 hingga 7 persen potensi pencapaian produk domestik bruto negara.

Naomi Jayalaksana



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?