Fiction
Kopi Rena [1]

25 Mar 2016





























1 2 3

Tuhan selalu tepat waktu… untuk segala hal yang tidak ada hubungannya dengan cinta. Rena patah hati karena San, laki-laki yang diam-diam disukainya, menikah dengan perempuan lain.
Rena pertama kali bertemu dengan San di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantor. Masa-masa awal ketika baru diterima bekerja. Sebagai anak baru, mereka sudah harus sering  lembur hingga malam sehingga butuh kopi hitam panas. Mereka berdiri bersebelahan saat memesan kopi. “Americano satu!” seru mereka berbarengan.
“Eh?” Rena dan San mengucap ‘eh’ secara  bersamaan lagi. Mereka menoleh saling memperhatikan. Saat itu tidak ada yang tersenyum. Mereka berdua belum begitu saling kenal. Rena kembali ke tempat duduk  dengan membawa kopi pesanannya.
“Laki-laki yang mengobrol denganmu tadi kiyut juga,” sambut Yana, teman kuliah Rena yang kini menjadi teman sekantor.
“Biasa saja, ah,” tanggap Rena. Sejak pertemuan itulah, Rena dan San menjadi lebih kenal dan akrab. Sehingga tumbuh perasaan suka di hari Rena. Ya, benar kata Yana, San memang kiyut. Terlebih saat mereka terpaksa lembur berdua mengerjakan maket pesanan.
Menjelang tengah malam, San memberi tanda supaya Rena mengikutinya. Mereka naik ke lantai tiga, bagian atap kantor yang menyajikan langit malam yang terbentang luas dengan hiasan  bintang-bintang.
“Keindahan itu ada di sana,” kata San sambil menunjuk langit.
Rena terdiam dan baru benar-benar menyadari bahwa di kota ini, ternyata memiliki bintang saat malam hari, sesuatu yang telah lama sekali tidak ia ingat semenjak ia tumbuh dewasa. Rena lama menyadari, tiba-tiba hatinya berdesir saat mendengar  embusan napas San yang juga berdiri diam di sampingnya.
Sejak malam itu, Rena sudi  repot-repot  membuat dua  cangkir kopi, satu  untuk dirinya dan satu  untuk San  tiap kali mereka  lembur, sudi  mengerjakan bagian San, “Sini, aku saja yang  melanjutkan. Kau beristirahatlah sebentar,” pergi bareng San untuk makan siang, merasa kehilangan ketika San harus bertugas ke luar kota maupun luar negeri, menghabiskan akhir pekan dengan chatting bersama San membicarakan hal remeh-temeh, hingga….

“Kau tahu San sudah memiliki tunangan?” tanya Yana. “Dan mereka sebentar lagi menikah.”
Ulu hati Rena seperti ditonjok dengan begitu keras; kaget dan sakit. “Dari… mana… kau… tahu…, Yana? Kau… pasti… bercanda.”
Yana menyodorkan ponselnya. Di layar tampak akun Instagram milik San, penuh dengan foto laki-laki itu bersama pacarnya yang sedang tinggal di luar negeri untuk urusan akademis. Rena memperhatikan deretan foto sejak awal mereka pacaran, bertunangan, hingga mempersiapkan keperluan acara resepsi pernikahan.
“Tapi, San bilang…,” tangan Rena begitu gemetaran. Ponsel Yana hampir saja tergelincir jatuh. “Ia tak punya akun Instagram. Ia tak punya akun Twitter. Ia juga sudah lama menonaktifkan Facebook-nya.”

“Dan, kau percaya begitu saja, tak berkeinginan sedikit kepo,” komentar Yana.
Ya, Rena percaya begitu saja. Kesibukan San di kantor, tugas ke luar kota dan luar negeri, tentu akan sangat wajar sekali ketika laki-laki itu tak memiliki akun media sosial apa pun, bukan? Oh ya, Tuhan. Tiba-tiba Rena merasa linglung.
Dan… dan… apakah semua perlakuan manis San terhadapnya itu hanya gombal semata? Pujian yang sering dilontarkan laki-laki itu tak sungguh-sungguh? Hati Rena hancur berkeping-keping. Salahnya sendiri, ia salah mengartikan perhatian dan perkataan San. Ia terlalu ge-er, terlalu naif, terlalu mudah percaya.

***

“Kopi?” San mengangkat cangkir kopinya saat tak sengaja tatapan mereka bertemu. Mereka lembur malam itu. Mata San terlihat merah dan letih. Barusan ia menguap dan meregangkan badan sebelum kemudian mengangkat cangkir dan menawari kopi.
Rena balas mengangkat cangkir kopinya. “Kopi,” katanya, mengulangi kata-kata San. Telepon seluler di meja laki-laki itu berdering. San segera berpaling untuk menerima panggilan. Ditilik dari wajahnya yang berseri dan senyumnya yang semringah, Rena mengira yang sedang menelepon adalah tunangannya. Dengar-dengar, setelah lulus menempuh S-2 di Jepang, perempuan itu segera pulang untuk menikah dan tinggal bersama San.

Rena menunduk dan meletakkan kembali cangkir kopinya. Tiba-tiba ia tidak lagi suka minum kopi.  Sangat tidak suka. Minuman hitam pekat ini pahit, sepahit rasa patah hati yang berlarat-larat. Sejak kabar pernikahan San mulai menyebar di antara rekan-rekan sekantor, hari-hari Rena terasa begitu merana.
Rena menyelesaikan pekerjaan dengan kopi tetap utuh. Perempuan itu mematikan komputer dan mengenakan jaket. Saat hendak berpamitan, San masih menerima telepon dengan muka berseri. Laki-laki itu mengantuk dan tampak letih namun ekspresi dan binar matanya tak bisa berkata bohong, ia sedang ditelepon oleh seseorang yang dicintainya.
Rena urung menyapa. Ia pergi tanpa berpamitan. Sebelum menutup pintu, perempuan itu berhenti sebentar. Mengamati punggung San, punggung laki-laki yang dicintainya.

***

“Kau seperti akan datang ke upacara pemakaman,” komentar Yana. Hari Minggu ini teman-teman sekantor datang ke resepsi pernikahan San.
Rena mengenakan pakaian dengan warna seluruhnya hitam. Mulai dari hiasan rambut sampai sepatu. Hanya satu detail yang berwarna putih: kalung yang melingkar di leher. Itupun tipis dan tidak mencolok perhatian.
“Kau benar-benar seperti hendak datang ke upacara pemakaman,” ulang Yana sembari memeriksa dandanan. Ia mengoleskan lipstik di bibirnya sekali lagi.
“Aku memang merasanya seperti itu. Datang ke pemakaman,” ulang Rena lemah.
“Pernikahan ini norak!” jerit Rena dalam hati.
Rena mengikuti Yana yang berjalan di depan. Pernikahan ini berkonsep kampungan. Keluarga besar dari pihak San dan istrinya berwajah kampungan. Kebaya dan segala perhiasan dan dandanan itu tak cocok sama sekali dikenakan oleh mereka. Hiasan ice carving dengan bentuk tulisan LOVE di bagian tengah gedung tak kalah kampungan. Pokoknya semuanya cih-kampungan. Lebih-lebih perempuan yang sedang tertawa gembira dalam gaun pengantin. Dua tangannya memegang hand bouquet flower. Saat berfoto bersama, sebelah tangannya menggamit lengan San.
Rena berpose memasang senyum lebar saat tukang foto menghitung mundur sebelum menjepret. “Senyumku palsu,” maki Rena pada dirinya sendiri.
“Halo. Kalian teman kantor suamiku, ya?” sapa istri San ramah dengan senyum lebarnya.
Rena berusaha keras menarik dua ujung bibirnya untuk balas tersenyum. Sikut Yana barusan menyenggol rusuknya, mengingatkan untuk tak terus cemberut.
Rena memperhatikan istri San. Tidak manis sama sekali. Caranya tersenyum berlebihan. Mulutnya dibuka terlalu lebar. Seumpama perempuan ini menguap, bisa dipastikan seluruh gedung beserta isinya akan tersedot masuk ke dalam mulut.
Saat pulang, seorang panitia pernikahan menyodorkan kantong kertas berwarna cokelat. Di dalam mobil Rena memeriksa isinya: “Aku benci kopi.”
“Seandainya San seorang pecandu jamu, tentu barusan kau akan bilang, ‘Aku tidak suka jamu,’” goda Yana. Rena tak mengatakan apa-apa
Sesampainya di rumah, tanpa berganti pakaian, Rena segera melemparkan diri ke atas kasur. Tengah malam, ketika terbangun dari tidur, bantal putih sebagai alas kepala telah basah kuyup. Mata Rena berat dan sembap.
                    
****

Hampir seminggu ini Rena menahan sedih. Juga perasaan kehilangan  tiap kali datang ke kantor. Meja San kosong. Pemiliknya sedang cuti bulan madu, yang langsung disambung dengan berangkat bertugas ke Italia. Rena ingin resign, tapi apa yang akan dikerjakannya nanti? Patah hati itu tidak enak. Jangan ditambah lagi dengan menjadi pengangguran tak berpenghasilan. Saat pikirannya buntu, tawaran itu datang. Mbak Shanti, kakak perempuan Rena, menghubungi minta ketemuan.
“Aku ingin mengobrol tentang kelanjutan toko bunga ‘Lavender’. Kau tahu, aku akan ke Paris. Toko bunga itu butuh pengurus.”
Rena diam sebentar. Suami Mbak Shanti dipindah tugas ke Paris selama beberapa tahun, lebih dari sepuluh tahun malah, kalau kerjanya bagus. Mbak Shanti dan dua anaknya akan turut serta. Sementara itu, hampir lima tahun kakak perempuannya telah menjalankan toko bunga di sebuah pusat perbelanjaan. Usahanya berjalan lancar dan bahkan sudah memiliki pelanggan tetap.
“Sebaiknya di mana kita ketemuan?” tanya Mbak Shanti.
“Di mana saja, asalkan bukan kedai kopi.”
Mbak Shanti tergelak. Ia sudah tahu tentang kisah patah hati adik perempuan satu-satunya itu.
“Aku benci kopi.”
“Kau hanya patah hati, Rena. Karena orang yang pernah kamu sukai adalah penyuka kopi, lalu ia menikah dengan perempuan lain, kemudian kau jadi membenci kopi.”
Di suatu sore sepulang bekerja, Rena buru-buru membelokkan kendaraan ke tempat parkir di sebuah mal. Shanti mengajaknya ketemuan di sebuah gerai makan.
“Aku dengar kau berencana resign,” sapa Mbak Shanti, tepat ketika Rena baru saja duduk. Ia belum memesan makanan pun minuman, kakaknya sudah mencerocos begitu saja. “Kutebak kau belum memiliki pekerjaan pengganti. Jadi begini, kau melanjutkan usaha toko bunga ‘Lavender’, ya?”
Rena masih menimbang-nimbang.
“Salah satu cara mengobati patah hati adalah dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan,” kata Mbak Shanti lagi. “Ayolah. Oke?”
“Ya, ok.” Rena menekuk muka. Sebenarnya ia sudah membuat surat pengunduran diri, namun masih ragu apakah akan benar-benar resign atau tidak. Tawaran kakaknya membuatnya berpikir ulang. Toko bunga itu sudah memiliki pelanggan tetap, artinya Rena tak harus memulai segalanya dari nol. Hanya tinggal melanjutkan. Alasan kedua, benar yang dikatakan Mbak Shanti barusan. Kesibukan akan menyembuhkan sekaligus melupakan rasa pahit dari patah hati.
“Ya, ok apa?” Mbak Shanti masih ingin memastikan. Ia khawatir adiknya tidak bersungguh-sungguh dalam ucapannya.
“Aku akan menjaga dan mengurus ‘Lavender’! Dengan sungguh-sungguh seolah aku yang mendirikan toko bunga itu dari nol,” Rena menyahut cepat. Untuk urusan patah hati ia tak perlu berpikir dua kali. Bayangan San yang kembali ke kantor dengan raut muka gembira sepulang dari bulan madu, hati Rena rasanya seperti diremas. Tidak. Ia tidak mau memelihara sakit hati. “Meski pekerjaan ini hanya sebuah pelarian, Mbak tahu maksudku, tapi aku akan menjalankannya dengan tekun.”
Mbak Shanti mengangguk sambil tersenyum puas. Ia bisa meninggalkan usaha yang dirintisnya dari nol dengan perasaan tenang.

***

Satu hal yang kemudian disesali Rena ketika mengunjungi ‘Lavender’ sehari setelah resign; ruko di seberang toko bunga adalah kedai kopi. Mbak Shanti sudah membuka rolling door dan pintu kaca toko ketika Rena tiba-tiba berhenti dan tak membantu.
“Ada apa?” Mbak Shanti kemudian menoleh, mengikuti arah pandang adik perempuannya. “Oh. Ya. Kedai kopi itu baru berdiri beberapa bulan ini. Sebelumnya sebuah gerai es krim, tapi pemiliknya pindah ke luar negeri seperti aku. Tidak ada yang mengurus, seorang anak muda membeli ruko dan membuka kedai kopi.”
“Aku tidak suka kedai kopi.”

“Satu, kau sudah berjanji akan mengurus toko bunga ini dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dua, anak muda pemilik sekaligus pendiri kedai kopi itu tak ada urusannya dengan patah hati yang kau derita plus ia tak punya salah apa-apa padamu. Kau tak bisa membencinya begitu saja. Lagi pula, kedai kopi itu ramai. Kapan-kapan kau mampir mencoba, kopinya enak. Sungguh.”
Rena tak mengatakan apa-apa.

Mbak Shanti masuk dan menjelaskan macam-macam mengenai bagaimana ia menjalankan usahanya. Folder data pelanggan di komputer. Nomor-nomor telepon rekan kerja pemasok bunga. Data para pegawai dan masih banyak yang lain. Masih ada sisa waktu sekitar dua minggu sebelum Mbak Shanti benar-benar pindah. Lima hari dari dua minggu itu, Mbak Shanti akan datang menemani dan membimbing adiknya menjalankan toko bunga.

Saat itu hari Selasa. Kedai kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’ sedang tutup. “Mereka biasa tutup di hari Selasa di minggu kedua pertengahan bulan. Barangkali untuk memberi kesempatan para pegawainya pun pemiliknya untuk beristirahat,” terang Mbak Shanti.
Toko bunga ‘Lavender’ memiliki waktu libur sesuka hati. Sejauh ini Shanti jarang menutup tokonya, kecuali saat tanggal merah—libur nasional (dan karena urusan kepindahan ini, ‘Lavender’ telah tutup selama hampir sebulan). Keperluan bunga selalu ada  tiap hari.
Selesai menjelaskan ini-itu, Mbak Shanti kembali menutup pintu dan menyerahkan kunci ke tangan Rena. Kakak perempuannya itu masih mengoceh panjang lebar. Rena tak mendengarkan. Perhatiannya tertuju penuh pada ‘Bitter-Sweet Coffee’. Sekarang memang masih tutup dan tak ada pengunjung. Tapi, bagaimana nanti saat buka? Apakah ada kemungkinan San dan istrinya mampir ngopi? Lalu, apa yang harus ia lakukan? Bersembunyi di balik ember-ember penyimpanan bunga? Bagaimana bila ia terlalu gugup lalu menendang salah satu ember? Jatuh bergelondang seperti mencari perhatian orang-orang di luar sana. Lalu, San menoleh dan… matilah Rena.
Shanti menjentikkan jari tepat di depan muka adiknya. “Anak muda. Jangan terlalu terlarut dalam patah hati. Bersikaplah biasa saja.”
“Aku biasa saja, kok,” gerundel Rena. Ia mengikuti kakaknya ke arah parkiran mobil. Mereka hendak pulang.
“Kau ini berusia 24, tapi cara bersedihnya masih seperti remaja 17 tahun.”
“Enak saja,” Rena masih menggerundel di belakang.

***

Mbak Shanti sekeluarga sudah pindah ke Paris. Sudah seminggu ini Rena bekerja mengurus toko bunga. Ternyata susah-susah gampang. Tak mudah namun juga tak begitu sulit. Kuncinya harus telaten dan teliti. Dua pegawai yang cekatan dan telah lama ikut Mbak Shanti lumayan membantu. Para pelanggan pun satu per satu mulai mengenal dan akrab dengan pengurus baru ‘Lavender’. Tiga hal yang selalu mereka tanyakan saat pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Rena:

1.    Shanti ke mana? Oh. Sekeluarga tidak lagi di sini karena mengikuti Alan pindah bekerja.
2.    Rena ini adik Shanti, ya? Sebelum mengurus ‘Lavender’ bekerja di mana?
3.    Mengapa resign? Ah, masa? Hanya untuk melanjutkan usaha Shanti? Tidak ada alasan lain? Patah hati, misalnya. Kok, ekspresi raut muka Rena berubah? Ahh, ha…ha…ha, benar yaaaa… kamu  patah hati.

Meski disampaikan dengan cara berbeda-beda, inti dari tiga pertanyaan yang selalu diterima Rena kurang lebih seperti itu. Ia sampai heran, mengapa  tiap ujung dari keingintahuan orang-orang selalu berakhir pada kesimpulan patah hati.
“Orang yang datang membeli dan atau memesan bunga adalah orang yang berhati ceria dan riang, Mbak. Ya, kecuali bagi pemesan karangan bunga untuk melayat,”  seorang pegawai Rena, Cita, mencoba menjelaskan. Rena bertanya apakah ada yang salah dengan dirinya sehingga selalu ‘dituduh’ seperti itu: resign dari pekerjaan karena patah hati, lalu mengurus ‘Lavender’ sebagai pelarian.
“Aku kan selalu tersenyum?” Rena masih belum mengerti.
“Senyum tulus dari hati berbeda dengan senyum yang dibuat-buat.”
“Aku selalu tulus tersenyum kepada pelanggan. Mbak Shanti selalu mengajariku begitu: tersenyumlah tulus dari hati, terutama saat menemui dan melayani pelanggan.”
“Aduh.” Cita menghela napas sambil cengar-cengir. “Aku harus menjelaskan bagaimana, ya?”
“Susah memang kalau menghadapi orang yang patah hati,” Yanto, salah satu pegawai lain, turut menimpali dengan ekspresi bergurau.
Rena tidak marah. Ia tahu dua pegawainya ini hanya sedang berusaha menghibur.
“Begini, Mbak,” Cita memiringkan kepala sebagai sikap refleks dalam berpikir dan usaha menjelaskan yang sebaik-baiknya kepada bos barunya itu. “Mbak Rena memang tersenyum tulus, tidak lagi ada yang meragukan tentang hal itu. Tapi, hati yang sedih tetap kelihatan.”
“Bagaimana cara melihatnya?” tanya Rena.
“Dari mencong bibir, Mbak,” sahut Yanto. “Orang bahagia senyumnya lepas. Dua ujung bibirnya ditarik maksimal dan dicantolkan ke langit yang di atas. Kalau dua ujung Mbak Rena baru ditarik sebatas langit-langit ruko.”
Rena mencoba mencerna penjelasan barusan. Dan, ia tertawa. Ya, ya. Baiklah.
Sepanjang hari Rena bekerja, ia selalu memperhatikan kedai kopi yang berada di seberang toko bunganya. ‘Bitter-Sweet Coffee’ selalu tampak ramai. Waktu buka kedai itu mulai pukul sepuluh pagi dan tutup saat tengah malam. Sesaat baru dibuka, pelanggan sudah ramai berdatangan. Berduyun-duyun mereka duduk memenuhi bangku, persis koloni semut yang datang untuk menikmati gula.
Sesekali Rena mencari tahu sosok pemilik kedai dari balik jajaran ember bunga. Tapi, yang ia lihat hanya para pegawai. Mereka masih muda, bergerak tangkas dan tersenyum ramah, baik saat mencatat ataupun ketika mengantarkan pesanan.
Rena terus mencari. Sampai di satu titik ia mengingatkan diri sendiri untuk tak terlalu sering mengamati. Bagaimana bila tiba-tiba San dan istrinya mampir ke ‘Bitter-Sweet Coffee’ saat jam istirahat makan siang pun makan malam? Malapetaka.
Sejak kesadaran pikiran itu muncul, Rena mulai belajar menahan diri. Bila harus keluar menyambut pengunjung, ia akan sedikit menunduk dan memalingkan muka.


              ****

Rena buru-buru mengunci rolling door toko dan berlari keluar. Sekarang hampir pukul sembilan malam. Ia harus mengejar bus umum terakhir. Pagi tadi mobilnya ngadat. Papa yang sudah pensiun menawarkan diri untuk membantu mengurus mobil. “Harus dibawa ke bengkel.”
Rena tiba di halte. Sudah tak begitu ramai. Hanya beberapa pegawai yang pulang bekerja, juga mahasiswa dengan ransel tebal dan setumpuk buku atau kertas tugas di tangan. Tak perlu menunggu lama, kendaraan berwujud kotak besar itu datang. Setelah para penumpang turun, Rena segera masuk tepat beberapa detik sebelum pintunya menutup kembali secara otomatis.
Rena melempar pandang ke arah depan. Hemm, penuh. Ia berjalan perlahan dan segera duduk setelah menemukan bangku kosong di bagian belakang. Ada seseorang yang kemudian turut mengempaskan tubuhnya duduk di bangku sebelah.
Tenggorokan Rena tercekat. Aroma kopi. Bau harum kopi.
San… dan istrinya!
Rena sedikit memundurkan badan. Lalu, dengan hati-hati ia menoleh perlahan. Bukan. Orang ini bukan San. Laki-laki ini berwajah tegas, cukuran berewok yang mulai sedikit memanjang tampak ‘mengotori’ dagu. Ia berjaket kulit cokelat, sama seperti warna kedua bola matanya. Barangkali ini definisi tampan: wajah seorang laki-laki yang bisa membuatnya tidak berkedip selama beberapa detik.
Laki-laki itu sepertinya merasa kalau diperhatikan. Ia menoleh dan tersenyum. Senyuman ramah. “Apakah ada yang lucu di wajahku?”
Rena menggeleng. “Kau bau kopi.”
“Kopi luwak yang barusan dipanen? Duh, gawat,” katanya dengan raut muka serius. “Bau eek.” Suaranya direndahkan saat mengatakan kata ‘eek’. Lalu, tawanya berderai. “Maaf. Guyonan ini sering kami lontarkan kalau sedang letih bekerja; bercanda mengenai macam-macam kopi.”
“Ok.” Rena tak tahu harus menanggapi apa. Jadi ia hanya ber-ok saja.
“Kau bau bunga. Kau harum aroma bunga.” Laki-laki itu balas berkomentar.
Tentu saja. “Itu bukan parfum, lho.”
“Aku mengiranya juga begitu. Harumnya seperti dari bunga asli.”
“Yah,” Rena menggedikkan bahu. “Itu pekerjaanku; aku mengurusi bunga. Kalau kau?”
“Aku?” Laki-laki itu malah balas bertanya. “Aku kenapa? Kenapa denganku?”
Orang ini sepertinya suka bercanda dan melucu. “Kau bau kopi. Apakah itu juga karena pekerjaanmu? Mengurusi kopi eek?”
Laki-laki itu terbahak. Setelah ia selesai dengan tawanya baru kemudian melanjutkan. “Aku kopi. Ya. Aku pelayan di sebuah kedai kopi, kok.”
Rena jadi menebak-nebak apakah kedai kopi yang dimaksud adalah ‘Bitter-Sweet Coffee’. Secara samar-samar ia seperti pernah melihat dan sedikit mengenali wajah laki-laki ini. Karena tidak begitu yakin, Rena diam saja.
“Kau suka minum kopi? Kapan-kapan kalau kita ketemu lagi aku traktir ka—“
“Aku tidak suk….“ Rena segera mengganti kalimatnya. “Aku tidak bisa minum kopi.”
Tubuh Rena dan penumpang lain, termasuk laki-laki di sebelah, mendadak maju beberapa senti ke depan. Lalu, terempas pelan kembali pada sandaran kursi. Bus baru saja berhenti di sebuah halte. Beberapa penumpang turun, dan hanya sedikit yang naik.
“Mengapa?” tanya laki-laki itu.
Bus mulai bergerak maju lagi.
“Kepalaku pusing. Jantungku berdebar-debar?” kata Rena.
“Kau bisa….“
“Tidak, ah.” Rena tidak mau obrolan mengenai kopi ini berlanjut.
“Ya. Baiklah.” Laki-laki di sebelah tertawa kembali. “Aku juga tidak bisa.”
“Kau tidak bisa apa?” tanya Rena.
“Aku sebenarnya ingin membeli bunga. Di seberang depan kedai kopi tempatku bekerja ada toko bunga.”
Ah, berarti benar dugaan Rena sebelumnya. Laki-laki ini bekerja di kedai kopi di seberang tokonya.
“Tapi aku malu bila harus ke sana. Bukan karena pemiliknya galak atau bagaimana, hanya saja….”
“Bila itu untuk orang yang kau sayangi, mengapa harus malu?”
Laki-laki itu melongokkan pandangan ke arah luar. “Aku ingin membelikan bunga untuk ibuku. Ia dirawat di rumah sakit di depan sana.” Ia menunjuk sebuah rumah sakit yang berada tak jauh dari halte tempatnya akan turun. “Senang mengobrol denganmu.”
Rena balas mengucapkan kalimat yang sama. Laki-laki itu sempat mengucapkan namanya, “David, panggil saja Dave,” sebelum kemudian bangkit maju. Berdiri di dekat pintu untuk bersiap-siap turun.  Cerita selanjutnya>>>>>>>

 
***
Desi Puspitasari


 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?