Fiction
Kisah Sang Penulis [3]

29 Feb 2012


Dea menghela napas lega. 

“Saya...,” dia terdiam sesaat, lalu dengan mantap melanjutkan, “tidak punya, Bu.”

Sang penulis kembali memandang Dea dengan tatapan aneh. “Kamu lucu, Dea. Wanita muda seusia kamu tidak mungkin tak punya kehidupan,” katanya. Tapi, tak ada tawa dalam suaranya. “Ya, sudah, kasihan kamu sudah jauh-jauh kemari,” sambungnya, sebelum Dea sempat menjawab lagi. “Sana masuk, tuang sendiri teh manismu. Setelah itu kau boleh duduk di sini menemani saya.” 

Kata-katanya adalah perintah dan Dea harus mematuhinya. Sesa­at kemudian, dia sudah duduk di samping sang penulis yang masih asyik membaca koran. Satu menit, dua menit, Dea mengira keadaan ini akan berlangsung selamanya, ketika tiba-tiba wanita itu bersuara. “Jauhkah rumahmu dari sini?”

Dea menatapnya bimbang. Dia tak yakin apakah ini pertanyaan basa-basi yang harus ditanggapi dengan jawaban singkat, atau pertanyaan sungguhan yang membutuhkan jawaban serius. Sang penulis mengangkat wajah dari koran yang sedang dibacanya dan menatap Dea. Salah satu alisnya terangkat.

“Cukup jauh, Bu,” jawabnya, menunggu reaksi sang penulis. Dea lalu melanjutkan, setelah melihat mata lawan bicaranya itu tetap tertuju padanya. “Tapi, untungnya, hanya perlu naik bus satu kali dan angkot satu kali. Jadi tidak melelahkan.” 

Sang penulis mengangguk singkat, lalu kembali ke korannya. 

Dea membulatkan tekad. “Saya kemari karena hari Minggu, lalu saya juga kemari dan Ibu tidak bilang apa-apa,” katanya, seakan menuntut penjelasan.

Sang penulis melipat korannya perlahan kemudian menatapnya. “Ya, itu minggu pertama kamu. Wajar kalau kamu datang terus, karena mungkin masih banyak yang ingin kamu pelajari. Tapi... walaupun saya sangat terbantu oleh kamu, saya juga tidak mau melihat kamu setiap hari di sini,” katanya. 

Dea takjub. Baru kali ini sang penulis bicara lebih dari dua kalimat padanya, dan tanpa nada perintah pula. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan apa yang dikatakan penulis itu. 

“Jadi, saya libur setiap hari Minggu?” tanyanya, memastikan.

Sang penulis mengangguk. “Saya rasa begitu. Kecuali kalau tiba-tiba saya membutuhkanmu.” 

Ganti Dea yang mengangguk. “Baiklah, Bu, kalau begitu saya pulang dulu. Besok pagi saya datang lagi.” 

Dea beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pagar. 

“Dea,” panggil penulis itu lagi. Dea membalikkan badan. “Saya senang Rani memilih kamu,” katanya singkat, sambil membuka kembali korannya. 

Dea tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Saat menutup pin-tu pagar, dipandanginya sosok tua yang tampak tegar sekaligus rapuh itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah penulis terkenal itu pernah merasa kesepian.

Suara SMS masuk memecah keheningan kamar kos Dea. Dengan enggan dia meraih ponselnya, sudah menduga siapa yang mengiriminya SMS malam-malam begini. Benar saja. Dari Heni, adiknya semata wayang.

Bagaimana, Mbak, sudah lebih senang dengan pekerjaanmu?

Dea menjawab: Lumayan. Aku, sih, nggak mengeluh. Kamu masih rajin ke makam Ibu, ‘kan?

Jawab Heni: Masih, Kak, sebisanya tiap minggu.

Dea merebahkan badan di kasur. Dia memikirkan adiknya yang kini hanya berdua dengan ayahnya. 

“Di sini ternyata nggak mudah cari kerja, Hen. Tapi, aku senang sudah ada kesibukan. Memang gajinya tidak seberapa, tapi aku beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Siapa tahu cita-citaku dulu bisa tercapai.” 

Dea bicara seolah-olah adiknya sedang tidur-tiduran juga di sampingnya. Sejujurnya, dia rindu mengobrol panjang lebar dengan adiknya, tanpa perlu takut kehabisan pulsa. Dan, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan di Jakarta, Dea merasa kesepian. 

Aku cepat-cepat berlari ke kamar. Tadi di sekolah Lingga mem-berikan gulungan kertas padaku. Tapi, dia berpesan kalau aku harus membukanya di rumah, jangan di hadapannya. Ah, Lingga, masih saja suka berahasia. Tak sabar kubuka gulungan kertas tadi. Dan apa yang aku lihat membuatku terpana.

Seorang gadis berbaju putih, dengan rambut tergerai sebahu, sedang duduk di tengah padang rumput berbunga. Wajahnya terlihat begitu lembut dan manis. Matanya berbinar indah. Sekuntum bunga terselip di telinganya. Di kejauhan, tampak istana berbentuk kastil yang megah. 

Aku tak pernah menyangka Lingga bisa menggambar seindah ini. Dan apakah gadis itu aku?

“Cantik sekali,” gumamku memuji diri sendiri. Di bawah gambar itu tertulis ‘Putri Ana’. Rasanya aku ingin menangis karena bahagia.

Aku akan memasang gambar ini di istana kita, Lingga. Ini gambar terindah yang pernah aku lihat. Aku ingin diriku selamanya terlihat seperti gadis kecil di dalam gambar itu. Tak sedetik pun pernah bertambah dewasa. 

Beberapa hari ini Rani sering datang, mendiskusikan bab-bab yang sudah selesai dikerjakan. Sering kali Rani terlibat perdebatan seru dengan sang penulis tentang apa yang sebaiknya ditambahkan atau dikurangi dari ceritanya. Dan Rani lebih sering mengalah, tentu saja. Karena, di tengah perdebatan, sang penulis selalu mengingatkan bahwa dia sudah jauh lebih lama berkutat di dunia penulisan dibandingkan Rani. Dia menghargai pendapat Rani, tapi jauh lebih menghargai intuisinya sendiri.

Dea mengikuti perdebatan mereka dengan antusias. Dia merasa sangat terlibat dalam penulisan buku ini. Dia terkekeh melihat Rani terdiam kesal setiap kali sang penulis mengeluarkan jurus ‘aku lebih senior’-nya. Dan dia menahan senyum, jika Rani berhasil menangkis jurus maut sang penulis dengan menunjukkan bahwa buku-buku yang mendapat sentuhan tangan Rani terbukti menjadi lebih enak dibaca. Dan sang penulis sudah mengakuinya sendiri lewat ucapan terima kasih di bagian awal bukunya. Dea mengagumi semangat mereka. Dan ingin belajar banyak dari mereka.

Hari ini tidak banyak yang harus diketiknya. Sang penulis tidak bercerita sepanjang biasanya. Mungkin sedang lelah. Atau jenuh. Atau ingin santai sejenak, pikir Dea mencoba memahami proses kreatif seorang penulis profesional.

Dea melongok ke luar ruang kerja. Sang penulis, tidak seperti biasanya, sedang sibuk di dapur. Dan yang lebih tidak biasa lagi, dia bersenandung! Dea tersenyum geli. Wah, sedang senang, nih, pikirnya. Tumben. Ya, sudah, biar sajalah dia menikmati hari ini. Sebaiknya aku tak usah menanyakan apa lagi yang harus dikerjakan. Nanti dia malah ngambek. 

Dea kembali ke balik komputer. Dia mengeluarkan USB yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Ditancapkannya benda mungil itu ke CPU komputer, lalu dibukanya file-file tulisannya. Ada beberapa cerpen. Dan sebuah novel yang sedang berusaha diselesaikannya. Setiap kali melihat novel belum jadi itu, gairah Dea langsung tersulut. Tak lama kemudian, Dea pun sudah tenggelam dalam kisah karangannya sendiri. 

Entah sudah berapa lama berlalu, ketika tepukan pelan di bahunya membuat Dea terlonjak kaget. Sang penulis sudah berdiri di belakangnya. Dea berusaha setengah mati menutupi tulisan yang terpampang di layar komputer. Tapi, sepertinya penulis itu tidak menaruh perhatian, karena matanya hanya terarah pada Dea. 

“Ayo, istirahat dulu. Aku baru selesai bikin kue. Kamu harus coba,” katanya, sambil berjalan kembali ke dapur.
Dea baru menyadari aroma wangi yang menguar di seantero rumah. 

“Hmm, kok, bisa-bisanya aku tidak sadar ada aroma sesedap ini, ya?” tanyanya, pelan. 

Dia langsung menutup pekerjaannya dan beringsut ke dapur.

Di meja makan terpajang tart bundar berwarna cokelat gelap, berhias krim kocok putih yang dibentuk menjadi bunga-bunga kecil. 

“Wow!” seru Dea, takjub. “Cantik sekali. Kue apa ini, Bu?”

“Kue Puspa Hati,” sahutnya, gembira melihat ekspresi di wajah Dea.

Dea tertawa. “Bagus sekali namanya. Memang mirip seperti bu­nga-bunga yang Ibu pakai di rambut Ibu setiap hari,” balas Dea.

“Wah, betul juga kamu.”

“Ibu pakai bahan apa saja? Wanginya sedap sekali?” tanya Dea.

“Buah blueberry dari kebun Peri Berry, susu segar dari sapi yang berkeliaran di padang rumputku, dan cokelat lezat dari pabrik Willy Wonka.”


Penulis: Barokah Ruziati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?