Fiction
Kirana [2]

4 Jul 2011

<< cerita selanjutnya

Esoknya, di pagi yang dingin dan basah, Inang Dayu, pengasuh Kirana, memberikan kabar yang mengejutkan. Kirana mengalami kecelakaan parah di Ngantang, daerah dataran tinggi di luar Kota Malang. Mobilnya selip dan terjun ke dalam jurang. Herlambang tidak ikut di dalam mobil, karena setelah kejadian pagi itu ia pergi meninggalkan Kirana.

“Beberapa bulan lalu Pak Herlambang membawa pulang istrinya. Namun, Kirana yang sekarang berbeda dengan Kirana yang dulu. Akibat kecelakaan itu, ia jadi kehilangan ingatan akan masa lalunya, dan sering dilanda halusinasi. Cerita tentang Kirana ternyata tidak selesai dengan tragedi itu. Kami sekarang harus mendengarkan raungan kesakitannya tiap hari. Kami menerka-nerka, sakit apa yang dideritanya sehingga ia demikian menderita,“ Suster Meida menutup jendela, mengakhiri cerita panjang, yang selalu menarik untuk didengar itu.

Ia menoleh, lalu tertawa melihatku. “Kau harus membayar makan siangku sebagai upah atas dongeng yang indah ini, Dok.“

Aku tertawa, ternyata aku juga tersirap oleh cerita itu. Maka, setelah membereskan semua administrasi dan merapikan puskesmas, aku membawa jipku ke sebuah warung makan bersama Suster Meida. Kami ingin menikmati makanan favorit Bu Malikah, yang sering membuat darah tingginya kumat. Brongkosan kambing.

Sinar matahari yang sudah condong ke barat, membuat pemandangan menjadi sedikit menyilaukan dan udara menjadi panas. Segelas es jeruk nipis amat menyegarkan tenggorokan. Aroma brongkosan kambing tercium dari dapur warung.

Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi ledakan keras yang membuat kami semua melonjak kaget. Orang segera berlarian keluar untuk mengetahui asal bunyi ledakan tadi. Aku melongok ke luar dan kulihat asap mengepul dari lereng bukit, dari arah loji.

“Kebakaran! Kebakaran! Lojinya kebakaran!“ teriakan itu terdengar begitu ribut.

Suster Meida ikut berlari keluar, aku pun menyusulnya. Kami melihat orang-orang bergerak menuju ke arah loji. Ada yang berlari, mengendarai sepeda atau sepeda motor. Aku berlari menuju jip dan kubuka pintunya, lalu menawarkan siapa yang mau ikut. Empat orang pria yang tadi baru datang untuk makan, segera saja masuk dan duduk berimpitan di jok belakang.

Jadi, kupacu saja jipku agar bisa sampai ke sana lebih cepat. Saat kami mencapai loji, sudah ada beberapa orang yang datang membantu memadamkan api yang membakar ujung bangunan di sisi kiri.

“Dapurnya terbakar!“ seru mereka, sambil menyiramkan air ke tengah kobaran api dengan alat seadanya. Ember, panci, dan selang air yang dihubungkan ke keran taman. Dengan datangnya bantuan, makin banyak orang yang ikut memadamkan kebakaran. Aku dan Suster Meida hanya berdiri menonton, sambil berharap semoga tidak ada korban jiwa di dalam sana.

Menurut orang-orang yang ikut menyaksikan proses pemadaman api, sepertinya api berasal dari tabung elpiji yang meledak.

“Itu Inang Dayu,“ Suster Meida menyentuh pundakku, sambil menunjuk ke arah kerumunan orang yang datang memapah seorang wanita separuh baya bertubuh besar.

Naluri medisku membawaku segera menyongsong wanita yang disandarkan pada tembok pagar. Ia tampak lelah dan shocked. Kuperiksa kondisi primernya dengan cepat. “Apa yang Ibu rasakan sekarang? Sesak napas? Pusing? Mual?“

Ia menggelengkan kepalanya lemah. Kulonggarkan pakaiannya dengan melepas dua kancing kebayanya. Napasnya menjadi lebih baik. Suster Meida mengipasinya dengan kipas bergambar Doraemon-nya. Kami melihat ada dua orang pemuda berlari ke arah kami.

“Pak Herlambang meminta kami memindahkan Inang Dayu ke dalam rumah,“ kata salah satu dari mereka.

“Apakah sudah cukup aman?“ tanyaku.

“Yang terbakar hanya dapur saja, Dok, yang lainnya tidak.“

Kemudian keduanya berusaha mengangkat Inang Dayu. Namun, tenaga kedua pria itu tidak sanggup untuk menjunjung wanita bertubuh besar itu. Akhirnya, aku dan Suster Meida ikut membantu mengangkat Inang Dayu masuk ke dalam.

Kami terseok-seok memasuki loji megah ini. Aku belum pernah masuk ke tempat ini. Memikirkannya juga tidak. Sebuah kebetulan, jika saat ini aku bisa memasuki bagian dari kemegahan hidup mereka, seperti yang diceritakan selama ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki lorong yang panjang. Seperti kebanyakan arsitektur khas Belanda lainnya, pintu dan jendelanya berukuran besar serta banyak jumlahnya.

Kami melewati ruangan besar yang mungkin ruang utama rumah ini. Aku tertegun memperhatikan sebuah lukisan potret se¬orang wanita berukuran besar yang terpampang di sana dengan tajuk: Sang Dewi. Wajahnya cantik. Mengenakan kebaya beludru berwarna ungu yang membuatnya kelihatan anggun. Yang mencolok dari penampilannya adalah seuntai kalung yang melingkari leher jenjangnya. Kalung emas bermatakan batu emerald yang cemerlang menunjukkan kemewahan serta kelas tersendiri. Ia sedang tersenyum, tetapi bagiku lebih mirip sedang mengejek. Apakah dia Kirana?

“Sebelah sini, Dok,“ suara pria pertama mengingatkanku agar segera bergerak.

Kami berjalan kurang lebih sepuluh meter lagi, kemudian berhenti pada sebuah kamar yang sudah dibuka pintunya. Kami membawa Inang Dayu masuk, lalu merebahkannya di atas ranjang besi bercat hijau yang berukuran besar. Kelambunya diikatkan pada tiang-tiang ranjang kuno ini.

Aku memeriksa denyut nadi serta napas wanita ini. Setelah kuyakin bahwa ia akan baik-baik saja, maka aku keluar dari kamar itu. Pertama, karena memang sudah tidak diperlukan lagi. Kedua, karena kedua pria itu kelihatan keberatan, yang ditunjukkan dengan sikap sedikit gelisah.

Ketika sampai di luar, orang-orang yang ingin menyaksikan pemadaman api makin banyak, sekalipun kebakaran sudah berhasil diatasi. Mungkin bukan kebakarannya yang ingin mereka ketahui. Tetapi, rasa penasaran akan kemegahan loji milik Herlambang dan kisah mereka yang menarik perhatian orang. Tetapi, aku tidak peduli. Kami segera kembali ke dalam mobil.

Sudah pukul setengah empat sekarang, makan siang sudah lewat. Mau balik makan, sudah tanggung. Jadi, kami memutuskan untuk pulang saja. Lalu, kami membicarakan kemegahan loji yang konon memiliki 20 kamar. Herlambang kabarnya akan mengubah loji itu menjadi tempat penginapan dengan konsep berbau feodal. Bahkan, koki yang direkrutnya juga harus mampu mengolah masakan khas Belanda dengan resep dan cara kuno. Teknik pemasaran yang menampilkan keunikan masa lampau memang sedang tren.

Tanpa sengaja aku melirik lewat spion tengah. Jantungku terasa copot, saat kulihat sepasang tangan merambat pelan pada sandaranku. Secara otomatis kuinjak rem mendadak. Suster Meida sampai terjerembab nyaris membentur dashboard. Aku menoleh ke belakang dengan perasaan tegang. Belum lagi mulutku mengeluarkan suara, Suster Meida sudah menjerit.

“Kirana...?!” Suster Meida tergagap dengan wajah tegang.

Kirana? Aku menoleh kembali ke belakang. Ke tempat seorang wanita berpenampilan kusut masai yang menggantungkan tangannya di jok yang kududuki. Suster Meida segera pulih dari kagetnya. Ia melepas seat belt, kemudian membuka pintu dan berlari keluar. Aku mengikuti jejaknya.
Wanita itu, Kirana, mengerutkan tubuhnya ke sudut mobil, sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang kurus. Ia makin beringsut ke sudut, ketika aku mendekatinya.

“Jangan... jangan... tutup... tutup...,“ suaranya demikian lirih.

Kami berpandangan.


Penulis: Shanty D. Rilmira
Pemenang Penghargaan Sayembara Mengarang Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?