Fiction
Kepak Sayap Merpati [1]

1 Jul 2011

Pemilik sebuah galeri lukisan bernama Ralf meraba botol-botol sampanye dalam wadah perak, untuk memastikan apakah cairan berbusa tersebut cukup dingin untuk dihidangkan. Pria itu memandang sajian buffet di atas meja dengan puas. Ia dan asisten nya sudah menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mempersiapkan perayaan satu dasawarsa galeri malam ini.

Ia tidak akan heran, jika malam ini hasil jerih payahnya akan memanen decak kagum pengunjung. Asistennya terlihat sedang berbincang-bincang dengan dua orang pengunjung pertama. Mereka mengamati lukisan gajah berwarna merah di tengah ruangan. Bila orang benar-benar memperhatikan, warna gajah itu dilukis dengan 24 warna merah yang berbeda.

Ralf berusaha mengingat daftar nama warna merah yang telah diberikan oleh pelukisnya. Merah magenta, merah fuchsia, merah maroon. Namun, selain ke-3 warna tersebut, tidak terlintas satu warna lain pun di pikirannya. Kehadiran seorang pengunjung yang baru memasuki ruangan telah mengganggu konsentrasinya.

Ralf meneliti gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia yakin namanya tidak tercantum dalam daftar tamu undangan. Selain itu, penampilannya terlalu kasual untuk mengunjungi salah satu galeri lukisan bergengsi di pusat kota. Gadis itu mengenakan baju rajutan ketat selutut berwarna hijau tua. Kakinya dibungkus legging hitam dan sepatu boot seperti yang biasa dikenakan penunggang kuda. Rambutnya yang diikat ke belakang menonjolkan dahi dan tulang pipinya. Penampakannya mengingatkan Ralf pada boneka lilin di Museum Madam Tussaud.

Gadis itu mengitari ruangan seperti komidi putar. Langkahnya baru berhenti, ketika melihat jendela berbingkai kayu berwarna putih di salah satu sisi galeri. Ia mengamati pemandangan di luar, seperti layaknya seorang pengamat seni yang sedang menafsirkan makna sebuah objek lukisan. Bangunan dengan berbagai bentuk dan warna berdiri dilatarbelakangi langit senja. Sinar matahari yang meredup meninggalkan garis-garis cahaya berwarna merah dan oranye. Pemandangan itu mengingatkannya pada dekorasi perayaan ulang tahun anak-anak. Bulan yang mulai muncul tampak bersanding dengan matahari yang masih enggan terbenam.

Ralf membatalkan niatnya untuk mengikuti gadis itu, ketika mendengar pesawat telepon berdering. Belum sempat mengangkat gagang telepon, ia merasakan hawa dingin menyeruak di segala penjuru ruangan. Angin menerbangkan kertas-kertas di atas meja. Ralf bergegas menuju jendela yang sudah terbuka. Dari ambang jendela ia melihat gadis itu sudah berada di sisi luar tembok gedung, berdiri di atas balkon tanpa pagar selebar 30 sentimeter. Ia merapatkan tubuhnya di dinding.

Pemilik galeri itu tidak pernah menganggap balkon itu sebagai balkon. Ia lebih suka menyebutnya sebagai ornamen gedung bergaya baroque yang tidak ada gunanya selain menjadi toilet umum burung merpati. Sekarang Ralf tahu bahwa pendapatnya salah. “Nona apa yang kau lakukan di sana? Demi Tuhan, Dieter cepat hubungi polisi!” teriak Ralf kepada asistennya, sambil mengusap titik-titik keringat di dahinya.

Dengan perspektif seekor burung, gadis itu menatap pejalan kaki dan lalu lintas di bawah gedung. Ia mendengar suara sirene mobil polisi dan ambulans melengking silih berganti. Dari tempatnya berdiri, lampu sirene terlihat berkelap-kelip seperti bintang jatuh yang meluncur di jalan raya. Lalu lintas di depan gedung mulai merayap seperti aliran sungai yang tersumbat limbah. Orang-orang bergerombol di bawah gedung.

“Apa gadis itu tidak bisa memilih waktu lain untuk bunuh diri? Saat ini jamnya orang pulang kerja. Sedang ramai-ramainya. Mungkin sengaja untuk mencari perhatian,” kata seorang penumpang di dalam sebuah taksi. Ia mendengus tidak sabar.

“Menurut Anda begitu? Saya sudah hampir 25 tahun jadi sopir taksi di Dortmund. Kejadian seperti ini sudah biasa. Krisis bisa terjadi kapan saja, di mana saja. Tidak kenal tempat dan waktu,” jawab sopir taksi. Mulutnya terasa asam minta rokok. Ia mengambil kotak permen karet di dalam laci mobil dan menawarkannya ke penumpang yang duduk di belakangnya.

Suasana di jalan berubah menjadi gedung pertunjukan. Orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain berkumpul dengan keinginan yang sama: mengetahui akhir sebuah cerita. Sekelompok anak muda ikut bergabung dengan orang yang berkumpul di badan trotoar. Suara mereka terdengar dominan.

“Aku bertaruh 50 euro, gadis itu bakal terjun bebas,” kata seseorang yang hidungnya bengkok pernah patah.

“Kamu tidak pernah punya uang sampai 50 euro, bagaimana mau bertaruh?” sahut yang lain. “Kalau taruhannya 1 malam dengan pacarmu, aku mau ikut.” Derai tawa mereka diikuti oleh tatapan tajam beberapa penonton setengah baya. Tatapan yang menyiratkan ketidakmengertian mengapa kemalangan orang lain bisa dijadikan bahan olokan.

“Hei, diam! Lihat, gadis itu kedatangan tamu. Pasti polisi preman,” kata seorang penonton.

“Mana ada polisi preman? Maksudmu polisi sipil?” komentar yang lain.
Malam sudah sepenuhnya menghampiri hari. Angin dingin akhir bulan Oktober masih membawa tetesan gerimis. Lampu-lampu neon penerang jalan mulai menyala. Terangnya tidak sampai ke atas gedung.

Gadis itu menggigil kedinginan. Tubuhnya gemetar dari kepala sampai ujung kaki. Ia lupa di mana terakhir kali meletakkan mantelnya. Ia sebenarnya merasa sayang, kalau mantel itu hilang. Ia membelinya dengan gaji pertamanya. Pasti tertinggal di kereta api bawah tanah, pikirnya. Ia berniat untuk mengecek di tempat penitipan barang yang hilang. Ia menertawakan kebodohannya. Mengapa harus merasa sayang dengan mantel itu dan bersusah payah mencarinya kembali? Bukankah mulai malam ini ia tidak lagi membutuhkan mantel atau pakaian?

Ia membayangkan bagaimana rasanya terjun dari gedung, ketika tubuhnya melayang di udara dan menghantam trotoar. Kehadiran seorang pria di ambang jendela galeri membuyarkan imajinasinya. Gadis itu merasa terganggu dengan kehadirannya. Ia sedang tidak ingin ditemani.

“Nona, tempat ini basah dan dingin. Apakah Anda menginginkan sesuatu yang hangat?” pria itu memegang sebuah jaket berwarna hitam. “Kalau Anda mau, saya bisa menyediakan secangkir susu cokelat hangat,“ katanya lagi, sambil menjulurkan tubuh.

”Jangan mendekat!“ desis gadis itu.

”Nama saya Ben. Saya akan tinggal di sini sampai Anda berubah pendapat. Saya tidak tahu persis apa yang sedang Anda hadapi. Yang pasti, Anda bisa bicara.”

Gadis itu makin merapatkan tubuhnya ke tembok. Pria itu berbicara dengan nada yang tenang, tapi membujuk. Ayahnya dulu sering berbicara dengan nada seperti itu.

“Nona, Anda kelihatan sangat kedinginan. Dengarkan baik-baik. Saya akan keluar dan menyerahkan jaket ini.” Tanpa memedulikan tatapan protes gadis itu, pria itu keluar dari jendela. Gadis itu ingin mengusirnya, tapi bibirnya sudah mati rasa karena kedinginan. Pria itu meletakkan jaket di sebelah kakinya. Ia melihat kerumunan orang-orang di bawah gedung.

“Lihat orang-orang di bawah situ. Mereka pasti penasaran mengapa Anda bisa sampai ke tempat ini. Masalahnya, tidak semua orang peduli apakah Anda memutuskan untuk melompat atau tidak. Kejadian malam ini, bagaimanapun akhirnya hanya akan dimuat satu hari di satu sudut koran kota, untuk dilupakan,” kata pria itu. Ia berusaha membuat kontak mata dengan gadis itu. Gadis itu menatap jaket yang tergeletak lemas di lantai balkon. Pria itu terus berbicara, seperti bisa membaca pikirannya.


Penulis: Budi Pratiwi Sossdorf


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?