Fiction
Kenangan yang tak kekal [1]

22 Feb 2013


“Kehidupan adalah puzzle yang tak pernah disusun dari awal. Kepingan itu bertebaran di mana-mana.”

“Tak ada kenangan yang hilang tanpa bekas,” kata Ebel. Seolah sedang mengucapkannya kepada orang lain. Seharian penuh ia bersembunyi dalam kamar, menyetel lagu Adele yang terus ia ulang. Sometimes it lasts in love, sometimes it hurts instead…

Di luar, teman-teman kosnya sudah keluar masuk kamar masing-masing, berkegiatan. Berjam-jam ia hanya terbaring di kasur, mengetik sesuatu yang ia tahu tidak penting. Laki-laki itu masih dan akan selalu percaya: kehilangan yang paling menyakitkan adalah ketika itu coba dilepas pelan-pelan.

Rena tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa permisi, seperti biasanya. Pertanyaannya hampir tak pernah berubah, “Masih betah di kamar lagi? Kau memang selalu begitu. Terlalu sendu.”

Si pemilik kamar diam saja.
Wanita itu duduk di tempat tidur Ebel. “Minggir sedikit. Hari ini aku nggak kerja. Tadi  malam nggak bisa tidur sampai subuh,” katanya.
Ebel masih diam.

 “Sebenarnya, kamu laki-laki, bukan?” Rena bertanya lagi.
“Hmm. Tak ada yang beda untuk urusan yang satu ini. Semua sama,” jawab Ebel, akhirnya.

“Jadi, sudah berapa kali kamu menangis?” Rena memancing.
“Sesering kamu ingin melupakan kekasihmu yang menikah begitu saja. Ya, seperti itu. Sesering itu,” Ebel membalas ringan.

 “Tapi, kamu beda. Beda kasus!” sanggah Rena.
“Apa karena hubunganku dan dia tidak resmi? Itu terlalu konvensional. Dia menghilang begitu saja dan….”

“Dan tidak membalas SMS tidak penting darimu?” Rena memotong sambil mengibaskan rambutnya.
“Apa yang penting di dunia ini?” Ebel tak mau kalah.
“Sudahlah. Aku mau keluar, cari makan. Mau titip apa? Sayur tanpa santan, kan….” Rena melangkah ke pintu.

“Udang dan kerupuk,” ujar Ebel singkat.
“Nggak bosan?” tanya Rena.

Ebel tertawa. Headseat menyumpal telinganya dengan tidak sempurna. Barang rongsokan. Maklumlah. Ia menarik tombol volume hingga ke ujung kanan. Suara Adele makin terdengar lantang. Sepasang mata kembali terbayang.
***
Mulanya, bagi Rena, Ebel adalah seorang laki-laki asing dalam sebuah pertemuan aneh. Pertemuan picisan yang sering ia lihat dalam adegan sinetron. Laki-laki dan wanita bertabrakan di mal. Lalu tangan si laki-laki terjulur untuk mengambil buku yang terjatuh, atau kelatahan lain, yang baginya sangat menjengkelkan. Terlalu mudah ditebak. Padahal, menurut Rena, kehidupan adalah puzzle yang tak pernah disusun dari awal. Kepingan itu bertebaran di mana-mana.

“Seseorang bebas memasang kepingan pertama di mana pun. Kepingan kedua, ketiga, dan kesepuluh. Itu soal insting,” Ebel menyangkal. 
“Kamu mengira tengah terjebak dalam puzzle yang sangat rumit?” Rena bertanya.
“Tidak juga. Tapi kalau boleh memilih, aku akan mencari puzzle yang lebih sederhana,” jawab Ebel singkat.
“Menyerah?” Rena menantang.

Lelaki itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ia melirik wanita yang setahun lebih ia kenal itu. Wanita yang pertama kali ia temui dalam acara sebuah komunitas sastra. Di sebuah teras yang lebih tinggi dari lantai lain.

Lampu dimatikan. Lilin-lilin dinyalakan. Ia datang agak terlambat. Semua orang sudah berkumpul, melingkar. Oh, tidak melingkar. Hanya menyatukan pandangan ke satu titik pusat. Tempat panggung buatan  berada. Kemudian wanita itu duduk menekuk letut.
Tiba-tiba saja Ebel bertanya, “Apa acara sastra mesti seromantis ini?”

Tak ada tanggapan. Suaranya seperti ditelan malam, kemudian larut. Seperti lilin yang luruh oleh api. Kemudian angin berembus. Kertas penutup lilin bergoyang dalam beberapa detik. Orang-orang khusyuk menajamkan pendengaran masing-masing. Ebel merapatkan fokus penglihatan pada satu titik cahaya. Cahaya yang mengantarkannya pada kenangan yang tak ingin dipadamkan oleh siapa pun, bahkan dirinya sendiri.

Angin berembus lagi. Kali ini lebih keras. Lebih lama. Kertas-kertas pembungkus lilin bergoyang lebih keras. Tiba-tiba api menyambar seperti sebuah takdir yang jatuh. Riuh. Ebel memadamkannya seperti pahlawan.

Di pengujung acara, lelaki itu heran ketika tiba-tiba Rena mendatanginya. “Kau benar. Acara ini tak mesti romantis. Aku juga bertanya-tanya, mengapa acara sastra tidak digelar di tempat-tempat yang bercahaya. Mengapa harus gelap? Bukankah sastra itu hadir untuk memberikan pencerahan....”
***
Kamar yang senyap. Dua orang terdiam, agak lama. Kipas angin di meja berderak-derak.
“Bagaimana dengan Eternal Sunshine of The Spotless Mind?” tanya Rena, sambil membuka-buka folder di komputer Ebel.
“If only I could meet someone new…,” kata Ebel. Kalimatnya seperti menggantung pertanyaan di sebuah lorong gelap dan panjang.
“Itu yang selalu kau kutip,” Rena menyahut.
“Film yang menggagas kehilangan dari hal yang tak pernah dimiliki, senyatanya,” ucap Ebel lagi, tanpa tujuan. 

Kemudian, ia berkata bahwa menemukan adalah jalan yang tak harus direncanakan. Ia bisa datang dengan tiba-tiba. Dalam sebuah perjumpaan yang mendukung. Tiap orang harus menikmati semuanya untuk sampai ke tepi, di ujung yang tak pernah terkatakan sebelumnya.

Seperti musik yang terus diulang-ulang, hingga ia ingat bagaimana cara seorang penyanyi melafalkan kata-kata. Sama halnya ia hafal bagaimana seseorang yang ia cintai melakukan sesuatu. Melentikkan mata. Melangkahkan kaki. Melambaikan tangan. Tertawa. Menangis.

“Termasuk mengenali punggungnya dari jarak yang cukup jauh?” Rena  berkomentar.
“Itu salah satunya,” jawab Ebel, sambil membuka folder di sebuah partisi di komputernya. Ia mengklik sebuah video buatannya sendiri. Berisi slide show perempuan dalam berbagai sudut pandang. Rena tertawa dan memukul muka Ebel dengan bantal.
“Cantik, ‘kan?” Ebel berkata.
“Hmm… kerudungnya membuat sedikit perbedaan,” kata Rena, mengamati.

***
“Lelaki selalu sama. Mereka mempunyai banyak wajah di tiap tempat. Hati-hati, Ren,” ujar seorang teman kepadanya, suatu kali. Rena ingin melupakan kalimat itu. Keputusannya bulat. Ia mulai membangun keyakinan: tak seorang pun berhak menjadi sempurna. Apalagi seorang laki-laki, pikirnya.
Ia berdiri mematung di cermin. Sedikit menjinjit, melongok ke cermin yang terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya. Ia mencoba kerudung ungu yang baru ia beli dan memasangnya pelan-pelan. Merengkuh kenangan yang pernah ia lepas. Ditaruhnya kembali kerudung itu di atas kasur.

Malam ini, sekitar pukul delapan, Ebel akan menjemputnya. Menghampirinya, tepatnya. Ini memang bukan momen istimewa. Selama ini, mereka berdua selalu bersama menghadiri acara-acara sastra yang digelar di pusat-pusat kebudayaan. Namun, Rena ingin malam ini menjadi sesuatu yang istimewa. Bukan untuk dirinya.

“Ayo, Ren…,” sebuah suara mengagetkannya.
Rena terenyak, agak gugup. Ebel sudah berdiri di depan kamarnya.
“Ini baru setengah tujuh,” ujar Rena, sambil menyambar kerudungnya, kemudian bergegas menyilangkan tas ke pundak.
Ebel melongo menatap Rena.
“Jangan melihatku seperti itu. Bukankah acaranya masih satu setengah jam lagi. Kenapa ke sini sekarang?” Rena bertanya.
Ebel tak menjawab. Ia masih heran melihat Rena. “Mau hajatan di mana Ren, bukannya mau ke acara sastra?” ia balik bertanya.
“Mana yang kau pilih, merawat kenangan atau menciptakannya?” tiba-tiba Rena bertanya sambil menatap Ebel.

Ebel tercekat. Ia menelan ludah berkali-kali. Ia tak menyangka Rena akan bertanya demikian. Selama ini, kenangan adalah satu-satunya hal yang ia risaukan. Tenggorokannya seperti hendak menetaskan sesuatu, tapi ia hanya memandang Rena serba salah. Sekali-sekali ia mengerutkan dahi, tersenyum, lalu melempar muka.
“Minggu ini, cerita apa yang kau ingin kubaca dari tulisanmu?” Ebel mengalihkan pembicaraan.

“Aku baru menyelesaikan sebuah cerita yang tak hebat. Tentunya tentang cinta. Dua orang pemalu yang akhirnya mengakui bahwa mereka saling mencintai. Mereka kesulitan menyepuhnya menjadi kata-kata. Padahal, mereka selalu bersama-sama menghadiri acara yang mereka sukai. Tiap hari, si lelaki hampir tak absen memberi kabar kepada si perempuan. Begitu juga sebaliknya. Aneh.”
“Kamu memberi nama apa buat mereka?” Ebel bertanya.
“Rena dan Ebel. Lucu, bukan?”

Kalamende,  April 2012

***
Nirmala Teja



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?