Ida Ruwaida Noor, sosiolog dari Universitas Indonesia, melihat hal ini sebagai potret karakteristik masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kolektivitas atau solidaritas. “Keinginan calon mempelai untuk membuat pesta sederhana menjadi tidak terpenuhi karena terkalahkan oleh keinginan untuk berbagi kebersamaan dengan banyak orang,” jelasnya.
Memang, dalam sistem kolektivitas di masyarakat, ada aturan main tidak tertulis, bahwa tidak mengundang anggota keluarga tertentu berarti melecehkan eksistensi atau status sosial anggota keluarga tersebut. Nilai kolektivitas dan tata krama itulah yang mendorong kita untuk mengundang setiap orang yang ‘dianggap’ memiliki hubungan baik.
Makin banyak yang diundang, biasanya makin besar biayanya. Karena, jumlah undangan yang besar membutuhkan tempat yang memadai dan makanan yang melimpah.
Menurut Ida, ada kebanggaan orang tua yang ingin ditunjukkan lewat pernikahan anaknya. Karena, gerbang pernikahan merupakan simbol kesuksesan orang tua dalam membesarkan anak-anaknya.
Acara pernikahan juga berfungsi sebagai ajang berpolitik dan menanamkan kepentingan. “Hal tersebut bisa terlihat pada para tamu pejabat atau tamu dengan status sosial lebih tinggi yang umumnya memberikan angpau yang besar untuk tuan rumah acara,” urai Ida.
Yang disayangkan, saat ini ada pergeseran nilai dan cara pandang terhadap pesta pernikahan. Menurut Ida, pergeseran nilai di antara orang muda ini terjadi akibat meningkatnya pendidikan dan akses informasi. “Konflik karena inter generation gap, orang tua dengan anak-anak, seperti ini memang makin banyak terjadi. Orientasi orang muda sekarang terhadap pernikahan lebih rasional, sementara orang tua mereka masih berorientasi emosional. Jujur saja, tidak mudah untuk mengompromikan dua nilai tersebut,” tutur Ida.
Ida menegaskan, menjunjung nilai kolektivitas bukanlah hal yang buruk. Malah, hal itu merupakan kelebihan bangsa yang senang merawat nilai kekeluargaan. Tapi, Ida mengingatkan pula pentingnya untuk bersikap rasional. “Bersikap rasional bukan berarti tidak menganggap hormat keluarga.” Pekerjaan rumahnya, pasangan muda perlu mengingatkan orang tua mereka agar bisa bersikap rasional.
Ida mengingatkan pula, sebaiknya kita tak hanya sibuk dengan ‘kemasan’, sehingga ‘esensi’ pesta pernikahan itu sendiri luput dari perhatian. Akan sangat berbahaya jika mempelai kehilangan esensi atau makna pernikahan, karena, setelah pesta pernikahan ada perjalanan panjang dan menantang yang harus dilalui pasangan suami-istri.
Jadi, sebelum menikah, ingatlah kembali kewajiban untuk menyambut tugas baru sebagai suami dan istri, ayah dan ibu. Sudahkah pasangan membahas mengenai pembagian tanggung jawab dan peran dalam rumah tangga? Karena, perkawinan bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari sambil menjalaninya (learning by doing).
“Kesiapan diri baik secara mental maupun finansial perlu dibangun secara sadar, jauh sebelum memberanikan diri melangkah ke jenjang pernikahan,” tegas Ida. Jika tidak, pernikahan itu akan ditopang oleh pilar-pilar yang rapuh. (f)