Fiction
Kemelut Hati [9]

1 Jul 2012

<< cerita sebelumnya

Nasiyah malu kepada burung-burung. Ia selalu memalingkan muka jika mereka memandang ke arahnya. Nyanyian yang biasanya selalu merdu itu kini bagaikan tamparan keras di pipinya. Ia juga salah tingkah saat bertemu orang-orang, seolah-olah mereka mengamati langkahnya yang terasa lain dari biasanya. Bapak dan Emak, tahukah mereka apa yang telah ia alami?

Benar yang dikatakan perempuan-perempuan di kali bahwa seseorang akan merasa canggung kepada pasangannya setelah pengalaman pertama itu. Demikian juga Nasiyah. Dan, ia mulai merasakan kerinduan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Deru napas lelaki itu terus terngiang di telinga, tatapan-tatapan yang tajam dan dalam.

Ah, rasa malu itu tidak bisa ia sembunyikan kepada angin yang selalu menggodanya. Kepada air pancuran yang merabai seluruh tubuhnya sambil tertawa tergelak-gelak. Rasa perih itu membuat Nasiyah terdiam.
Serombongan orang, utusan keluarga Pak Juhari, mengantarkan sejumlah bahan mentah, mulai dari kayu bakar, kelapa kupas, beras, dua ekor kambing, hingga sayuran. Bahan-bahan itu untuk menyelenggarakan pesta perkawinan.

Masa pingitan tiba. Kedua calon pengantin dilarang bertemu hingga sehari menjelang hari pernikahan. Pada saat-saat seperti ini Nasiyah sering teringat kembali peristiwa itu. Semua hadir berulang kali dalam lamunannya. Wajah lelaki yang telah berhasil membuka pintu kegadisannya, tangan-tangannya yang kekar, aroma keringat…. Ah, keinginan untuk bertemu makin mencekam. Ia ingin mencengkeram kembali punggung itu serta merasakan sesuatu yang tak ingin ia gambarkan.

Di sawah orang-orang masih sibuk. Panen sebelumnya ia masih di sana bersama Emak. Masih jelas terasa terik matahari di tengah sawah, daun-daun padi yang tajam menggores kulit remajanya, dan keringat mempertegas nyeri. Tetapi, mereka tidak peduli.

Sekarang, Nasiyah masih ingin turun ke sana. Tetapi, saudara-saudaranya tidak mengizinkan calon pengantin bekerja di sawah.

Ah, anak-anak itu seperti dirinya dulu, senang bergulingan di atas jerami yang sudah dirontokkan padinya. Tanpa merasa gatal mereka menangkapi capung dan belalang. Mereka juga membuat gubuk jerami dan suka minta dibelikan es lilin.

Enak sekali menikmati es lilin di tengah sawah, di bawah terik matahari. Ketika itu ia dan Pomo belum bisa membantu orang tuanya. Mereka hanya bermain-main di sawah. Keduanya membuat sapu kecil dari batang jerami untuk mengorek lubang-lubang yang berisi ceceran gabah. Kemudian, gabah-gabah yang bercampur lumpur itu dicuci dan dijemur. Tetapi, penjual es sudah datang ketika gabah belum kering benar. Pomo nekat menukarkannya dengan es lilin yang mereka tunggu sejak tadi. Penjualnya tidak mau menerima. Pomo merajuk. Karena kasihan, gabah itu diterima dan ditukar dengan satu batang es lilin. Ia pun menikmatinya bersama Nasiyah.

Lamunan itu buyar karena seekor cicak tiba-tiba jatuh menimpanya. Nasiyah lalu bergabung dengan perempuan-perempuan yang sibuk membantu mempersiapkan hari perkawinannya. Dari mereka Nasiyah mendengar kabar bahwa Pomo mengalami kecelakaan. Mobil angkutan barang milik perusahaan yang ia tumpangi bertabrakan dengan sedan. Sopirnya meninggal, sedangkan Pomo dan dua penumpang sedan luka parah.

Sorenya, Nasiyah menengok Nini Jikun. Perempuan tua itu sudah tersadar dari pingsannya. Ia terus meratapi anaknya yang malang.

“Oalah, Pomo, jelek sekali nasibmu. Sudah miskin ditabrak orang pula. Kapan kamu bisa hidup bahagia, Pomo….”

Nasiyah ikut menghibur perempuan, yang sudah sangat dekat dengan keluarganya itu. Tapi, ia diam-diam menyeka air mata dengan ujung bajunya. Setelah itu, ia menemui Trimo di kamarnya dan menyatakan ingin ikut menengok Pomo.

“Gila kamu, Nas!”

“Tapi, aku ingin tahu keadaannya.”

“Kemarin dia sadar. Perusahaan sudah mengurus perawatannya.”

Nasiyah tidak bisa lagi menyembunyikan tangisnya.

“Apa kata orang nanti. Kamu sedang dipingit.”

Air mata Nasiyah makin deras.

“Sudahlah, doakan saja dari sini agar keadaan Pomo cepat pulih sehingga bisa bekerja kembali.”

Trimo memberikan sapu tangan untuk menyeka air mata itu. Kesedihan terus menyelimuti hari-hari Nasiyah. Ia sudah berusaha melupakannya dengan menyibukkan diri di dapur.

Kesibukan di rumah Nasiyah memuncak. Sejak sore berpuluh-puluh kg beras direndam. Kelapa dipecahkan dan dagingnya dikeluarkan. Di halaman belakang orang sibuk menyembelih kambing, menguliti, memanggang, serta memotong-motong dagingnya.

Keesokan harinya, tamu-tamu makin banyak, dari tetangga satu kampung, desa sebelah, hingga kenalan-kenalan Emak dan Bapak di pasar. Tamu perempuan biasanya membawa tas berisi beras dan sayuran, sedangkan tamu laki-laki menyodorkan kertas atau amplop kecil. Teman-teman Nasiyah datang malam hari, membawa kado-kado yang dibungkus sederhana.

Saat jemput manten tiba. Lima orang utusan Kang Karto menjemput Diman di rumahnya. Pak Juhari mengutus beberapa orang tua untuk mengantarkan dan menyerahkan Diman kepada keluarga Kang Karto. Maka, sejak malam itu Diman telah resmi menjadi bagian dari keluarga Sukarto.

Esok harinya, akad nikah dilaksanakan pukul sebelas siang. Keluarga Pak Juhari datang semua, kecuali keluarga Pak Muroji. Dua kalimat syahadat menandai bahwa sejak saat itu Diman sudah sah menjadi suami Nasiyah. Semua yang hadir tampak lega. Sebagian menitikkan air mata haru.

Malamnya, Nasiyah berbaring menghadap ke dinding. Ada guling dalam dekapannya. Hati-hati sekali Diman naik ke ranjang. Ia panggil nama istrinya beberapa kali, tapi tidak ada sahutan. Samar-samar terdengar isak tangis. Diman tertegun memandangi punggung Nasiyah. Perlahan ia menyentuhnya dari belakang.

“Kamu terlalu lelah. Tidurlah.”

Rambut Nasiyah dibelainya. Nasiyah membalikkan tubuhnya. Diman tersenyum sembari mengusap air mata yang terus mengalir lewat anak rambut di pelipis. Kening basah itu pun diciumnya, lalu dibenamkan ke dada.

Nasiyah tenggelam dalam irama degup jantung suaminya. Sesaat ia melepaskan diri dari pelukan, lalu mengusap dan mencium wajah itu lagi. Ia berusaha tersenyum. Tatapan keduanya bertemu. Sinarnya menyatukan dua jiwa yang berbeda. Lembut suara Nasiyah memanggil suaminya dan sekali lagi lelaki itu diciumnya. Tidak lama kemudian Nasiyah pun menenggelamkan kembali wajahnya ke dalam ketegaran hidup.

Pagi turun bersama harum bunga kopi yang bermekaran di kebun belakang. Wanginya menyeruak lewat celah-celah kamar. Nasiyah membuka mata. Tubuhnya masih rapat dalam dekapan suaminya. Tidak lama kemudian lelaki itu pun terbangun. Diman menarik selimut dan mempererat pelukannya.

“Masih dingin, Nas.”

Tetapi, Nasiyah tidak bisa memejamkan mata lagi. Beberapa saat ia membiarkan saja lelaki itu menikmati kehangatan tubuhnya. Dan, dengan sayang ia pun mengusap punggung suaminya. Hanya sebentar. Ia kemudian berbisik lembut, mengatakan bahwa ia harus membantu Emak. Lelaki itu pun melonggarkan pelukannya. Nasiyah mencium kening suaminya lalu beranjak ke luar kamar.

Tidak ada yang menyuruh Nasiyah untuk melakukan tugas rutinnya itu lagi. Bersih-bersih rumah dan mencuci pakaian. Tapi, baginya tugas itu seolah sudah menjadi hobi. Setelah menyediakan kopi untuk suaminya, Nasiyah membawa ember-ember ke kali. Diman tidak mau menikmati hidangan itu. Ia membantu istrinya, membawakan ember-ember itu. Keduanya sama-sama turun ke kali.

Di kali orang-orang sudah banyak yang selesai mandi. Melihat kedatangan sepasang pengantin baru itu mereka pun menggoda.

“Udara masih dingin, lho. Lebih enak tidur lagi.”

“Nanti kan bisa dilanjutkan lagi,” celetuk yang lain.

Nasiyah hanya senyum-senyum. Satu per satu mereka pergi hingga tinggal Nasiyah dan Diman. Sepi. Desah napas bersatu dengan gesekan baju-baju yang diturunkan dari ember.

“Mas, ke sini!”

Diman mendekat.

“Perkenalkan, ini sahabatku, air pancuran.”

Diman mengguyurkan kepalanya di bawah air itu.

“Dialah yang tiap hari menemaniku mencuci di tempat ini.”

Angin berembus. Embun berjatuhan. Burung-burung kecil berkicauan.

“Ya, ya. Juga angin, embun, dan burung-burung itu. Merekalah yang senantiasa menghiburku di kala aku sedih.”
Dari arah timur, langit menyemburatkan warna merahnya.

“Dan, matahari itulah yang mengajariku tersenyum di saat-saat pahit sekalipun. Lihatlah, mereka cemburu padamu. Entah siapa yang mengabari mereka bahwa kau akan segera membawaku pergi dari sini.”

Nasiyah melepas pakaiannya. Dengan terbalut kain ia merendam tubuhnya di bawah air pancuran. Ia biarkan air, angin, serta embun pagi memeluk dirinya. Burung-burung yang berlompatan menghambur ke arahnya.

Musim telah berganti. Hawa mulai hangat. Angin berembus dari timur laut. Di sawah orang-orang bergembira dengan panennya. Burung-burung manyar, pipit, dan punai beterbangan untuk mencari makan bagi anak-anaknya yang selalu lapar.

Paruh-paruh mungil itu menganga setiap mereka kembali. Lalu, secara naluri mematuk-matuk paruh induknya. Patukan-patukan itu merangsang sang induk untuk mengeluarkan makanan yang sudah setengah dicerna. Anak-anak burung makan dari mulut induknya.

Tubuh anak-anak burung, yang kemerahan itu, ditutupi bulu cokelat kelabu, membangkitkan naluri perlindungan pada induknya. Warna bulunya yang semarak dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian musuh.

Dua minggu kemudian burung-burung kecil itu sudah bisa meninggalkan sarang untuk kemudian terbang, mencari makan sendiri, kawin, atau menemukan kehidupannya yang baru.
(Tamat)

Penulis: Nawa N.S.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?