“Berjualan, Mbok?”
“Ke pasar, Kang?”
“Mau belanja, Mbak?”
“Momong, Bi?”
“Ya. Kalian mau sekolah, ya?”
“Iyaaa....”
“Ya, bener, bener, anak-anak. Sekolah yang tekun, ya, supaya pintar dan jadi orang yang sugih (kaya), tidak rekasa (susah) seperti kami, orang tua yang sudah telanjur bodoh ini.”
Jalan menurun. Gedebuk kaki makin gaduh. Lalu, jalan menanjak. Langkah-langkah melambat. Mendatar, turun, naik lagi. Sekali waktu mereka tersandung batu, melompati lubang atau jalan yang rusak, serta menepi karena berpapasan dengan sekawanan kerbau. Lalu, sampailah mereka di jalan beraspal. Meskipun belum separuh perjalanan, itu sudah membuat mereka cukup lega. Mereka tahu tidak akan ada kendaraan umum yang lewat atau beroperasi di sana. Harapan satu-satunya adalah truk, sehingga mereka bisa menumpang sampai depan sekolah. Tetapi, itu hanya harapan kecil.
Kring! Kring!
Anak-anak itu menepi.
“Selamat pagi, Paaaaak....”
Orang berseragam dinas di atas sepeda jengki itu mengangguk dan tersenyum ramah.
“Seandainya kita punya sepeda....”
“Kita pasti bisa nyalip Pak Kastam!”
Tawa ceria itu kembali menghiasi pagi.
Nasiyah tak sadar, bibirnya menyunggingkan senyum ketika mengenang kejadian tadi. Ia pun disadarkan oleh suara burung-burung yang riuh. Burung-burung itu berhamburan ke arahnya. Senyum Nasiyah lenyap. Ia ingin sekali tetap tersenyum, tapi ada sesuatu yang menahannya. Yang keluar justru kemarahan, hingga ia mengusir burung-burung itu agar segera menghilang dari hadapannya. Ia berteriak-teriak, membuat burung-burung itu bingung dan ketakutan.
“Pergi kalian semua! Terbang jauh-jauh dan jangan datang lagi kemari! Aku tidak mau kalian terus-menerus menggangguku! Pergi! Pergi! Jangan usik ketenanganku! Pergi kalian semua!”
Nasiyah meraih daun jendela, lalu menutupnya dengan kasar. Ia mengempaskan diri ke kasur. Ia sembunyikan wajah di balik selimut. Ia tutup telinga rapat-rapat agar suara-suara burung yang menjengkelkan itu tidak terdengar lagi.
“Nas! Nas!”
“Pergi!”
Terdengar suara pintu diketuk. “Nas! Nas!”
“Pergi! Pergi!”
Pintu kembali diketuk. “Nas! Bangun, Nas, sudah siang!”
Nasiyah bangkit, mengumpulkan kesadarannya kembali.
“Bangun, sudah siang! Gelas dan piring masih berantakan.”
“Ya, sebentar!”
Nasiyah segera merapikan tempat tidur dan bergegas keluar kamar. Di dapur ia mendapati Emak duduk di tepi dipan, sedang membungkusi tempe. Di dekat kakinya ada dua tumbu, satu sudah penuh, satunya baru terisi sepertiganya. Nenek duduk di antara daun-daun pisang, yang sebagian sudah tertumpuk rapi, sebagian terserak dalam bentuk lembaran panjang, sebagian lagi masih dalam gulungan. Tangan keriput itu masih menyobeki daun-daun menjadi ukuran tertentu, menimbulkan suara yang khas.
Nasiyah mendekat ke dapur, menambah kayu bakar.
“Masak apa, Mak?”
“Tidak masak. Nasi dan gulai sisa semalam masih cukup banyak. Tinggal dipanaskan saja.”
Nasiyah membuka tutup panci. Uap panas menyeruak ke wajahnya, tapi air belum mendidih, tinggal menunggu beberapa saat lagi. Ia mengaduk gulai yang sedang dipanaskan.
“Kamu bereskan saja gelas dan piringnya.”
Nasiyah memasukkan barang-barang pecah belah tersebut ke dalam dua ember besar untuk diangkut ke kali. Ia merasa sudah bekerja dengan hati-hati, tapi tanpa sengaja gelas yang dipegangnya lepas dari genggaman dan jatuh mengenai piring dalam ember. Untung yang pecah hanya piring bagian atas dan gelas itu saja. Biasanya, Emak sangat marah dengan kesalahan seperti itu. Tapi, pagi ini Nasiyah hanya mendapat omelan yang lumayan pelan.
“Makanya, kalau kerja jangan sambil melamun. Itu akibatnya kalau suka tidur tanpa mengingat waktu. Orang-orang tua dulu mengatakan, ada dua waktu yang tidak baik untuk tidur, yaitu waktu terbit dan terbenamnya matahari. Sebab, itu akan menyebabkan orang jadi pelupa, grasa-grusu, dan suka melamun. Bahkan, tidur sehabis subuh itu bisa membuat orang mendapat mimpi buruk dan menjauhkan rezeki. Itu betul-betul sangat tidak baik, terutama bagi anak perempuan seperti kamu. Anak perempuan tidak boleh malas. Apalagi, sebentar lagi kamu jadi istri seorang guru. Kamu harus cekatan, gesit, dan terampil, tidak boleh sembrono. Kamu harus perhatian pada suamimu. Kamu harus.... Kamu tidak boleh.... Kamu.... Kamu....”
Nasiyah segera membawa dua ember penuh piring dan gelas itu ke kali.
Sepulang dari kali, Nasiyah membereskan rumah. Kamar-kamar, ruang depan, ruang tengah, serta dapur sudah harus bersih sebelum dia mengerjakan yang lain. Lalu, ia kumpulkan pakaian-pakaian kotor ke dalam keranjang bambu dan ember untuk diangkut lagi ke kali. Keranjang ia ikat di pinggang kiri, sedangkan ember ditenteng dengan tangan kanan.
Ia menyusuri jalan setapak, yang kiri-kanannya ditumbuhi semak-semak rendah. Sisa embun di atas rerumputan tampak seperti kristal-kristal kecil yang menguraikan sinar matahari. Di ujung jalan Nasiyah berhenti sesaat, menatap ke bawah. Kilatan jernih serta gemercik air seolah menantang kesungguhannya.
Jalan menurun dan bersap-sap. Tangannya kadang-kadang berpegangan pada rumput-rumput atau akar-akar pohon waru. Beberapa kali Nasiyah berhenti untuk memperbaiki posisi keranjang. Kadang-kadang ia juga harus merangkak atau setengah jongkok untuk menjaga keseimbangan tubuh. Pada sap kedua puluh dua ia tiba di dataran. Lalu, turun lagi untuk mencapai pancuran.
Nasiyah mengambil kain sarung dari dalam ember, menanggalkan pakaian, lalu mengikatkan sarung itu di atas dadanya. Ia mulai membongkar keranjang dan ember, kemudian menyikat tempat cucian, menyiapkan sabun dan sikat nilon. Tidak lama kemudian ia pun tenggelam dalam kesibukannya.
Angin berembus menerpa punggung Nasiyah yang terbuka. Burung-burung kecil masih berlompatan di dahan. Tapi, mereka tak berani menyapa.
Suara gesekan baju-baju memantul ke dinding batu, berpendar ke sisi yang lain, meleleh pada lumut-lumut setengah basah. Sesekali Nasiyah mengusap keringat di kening dengan punggung tangannya, terkadang menarik napas dalam-dalam, sambil meluruskan lengannya yang mulai terasa pegal. Hanya sebentar. Setelah itu ia pun kembali terbius dalam harum sabun colek dan bulu sikat nilon.
Biasanya, Nasiyah melakukan pekerjaan ini pagi-pagi sekali, sesudah atau bahkan sebelum subuh. Tetapi, setelah tidak sekolah lagi, ia bisa lebih santai. Biasanya, setelah menyediakan sarapan untuk adik-adiknya, ia mendandani Ahmad. Adik bungsunya ini sebenarnya belum sekolah. Tapi, ia sering minta ikut dengan kakak-kakaknya. Karena adik-adik Nasiyah tidak ada yang mau diikuti oleh Ahmad, Nasiyahlah yang harus turun tangan, mengantar, dan menemani Ahmad di sekolah. Saat itulah Nasiyah kemudian mengenal Pak Guru Diman.
“Oh, Mbak Nasiyah? Putranya Pak Karto, ‘kan?”
“Betul.”
“Meneruskan ke mana sekarang?”
“Ndak sekolah, Pak.”
“Kenapa? Kata guru-guru di sini, Mbak Nasiyah pandai, sering jadi bintang kelas. Sayang, lho.”
“Masalahnya, tak ada biaya, Pak. Bapak kan tahu sendiri, bapak saya hanya buruh tani, sedangkan adik saya banyak dan masih kecil-kecil.”
“Lho, katanya, dulu mendapatkan beasiswa?”
“Ya, Pak, tapi keluarga saya tidak mengizinkan.”
“Kenapa?”
“Katanya, biaya-biaya lain juga banyak, sedangkan beasiswa biasanya hanya untuk SPP saja. Bapak tidak sanggup membayarnya.”
Perkenalan itu lewat begitu saja, sebab Nasiyah tidak pernah lagi mengantar Ahmad ke sekolah. Ahmad sudah berhasil dibujuk agar tidak lagi ikut kakak-kakaknya. Sebab, itu sangat mengganggu jadwal Nasiyah untuk melakukan pekerjaan rumah. Nasiyah baru bertemu Pak Guru Diman lagi ketika ia mewakili orang tua mengambilkan buku rapor adik-adiknya.
Pertemuan kedua ini cukup singkat dan lebih merupakan basa-basi biasa. Percakapan mereka hanya seputar kegiatan sehari-hari, diselingi sedikit canda, yang membuat Nasiyah tidak canggung lagi. Tetapi, dari pertemuan singkat inilah kemudian muncul kabar yang sangat mengejutkan. Orang-orang mengatakan, Nasiyah berpacaran dengan guru muda itu. Tidak lama, kabar itu merebak ke hampir seluruh kampung. Anak-anak dan orang tua sering meledeknya, bahkan ada yang sudah berani memanggilnya ‘Bu Guru Diman’.
Nasiyah sangat membenci kabar itu. Bahkan, kebencian itu merembet ke orangnya. Ia mulai merasa muak jika bertemu Pak Guru Diman. Jangankan bertemu, mendengar namanya disebut pun ia mual. Tapi, gosip itu tidak juga berhenti, bahkan makin santer. Mau tidak mau, ia jadi mulai memerhatikan guru muda itu.
“Hei, jangan-jangan kau juga menyukainya,” kata seorang temannya.
“Sudah, sudah. Tambah pusing aku.”
Menyukai Pak Guru Diman? Siapa yang tidak tertarik padanya? Wajah dan penampilannya cukup lumayan, otaknya pun jempolan. Ditambah lagi, dia punya masa depan yang pasti. Semua orang tua di desa itu pasti mengharap anak gadisnya dilamar Pak Guru Diman, termasuk orang tua Nasiyah.
Suatu malam Pak Guru Diman datang bersama pamannya. Kedatangan kedua orang itu berhubungan dengan proses penggarapan sawah milik paman Diman oleh bapak Nasiyah. Meski hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan Nasiyah, gadis itu tetap tidak nyaman dengan kehadiran guru itu di rumahnya. Kebiasaannya membuatkan minuman untuk tamu menjadi sebuah tugas sangat berat sehingga ia menolaknya. Nasiyah sengaja mengajak Ahmad menonton televisi di rumah tetangga, pergi lewat pintu belakang.
Suatu hari, kegeraman di hati Nasiyah mencapai puncaknya ketika ia harus berhubungan langsung dengan Pak Guru Diman. Ia menjadi panitia peringatan hari kemerdekaan RI sehingga harus sering mengikuti rapat sampai larut malam. Pada saat itulah Pak Guru Diman sering mengantar Nasiyah pulang. Memang tidak hanya Nasiyah sendiri. Ia selalu bersama teman-teman perempuan lainnya. Tapi, karena rumah Nasiyah paling jauh, dialah yang terakhir sampai, setelah berjalan hanya berdua saja dengan Pak Guru Diman selama kurang lebih lima menit.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dari percakapan-percakapan singkat mereka. Kerap kali malah hanya sekadar basa-basi. Tapi, entah siapa yang menyebarkan cerita bahwa Pak Guru Diman sudah menyatakan cinta. Hal ini membuat darah Nasiyah mendidih. Namun, apa yang bisa ia perbuat? Mengatakan pada setiap orang bahwa semuanya tidak benar? Memasang pengumuman di jalan-jalan? Menyiarkannya melalui pengeras suara di langgar? Memarahi orang-orang? Atau, tetap diam?
“Kamu, kok, sekarang berubah, Nas?” tanya temannya.
Berubah? Benarkah ia berubah? Apa yang sedang terjadi padanya? Tapi, apa pun di dunia ini pasti mengalami perubahan. Batinnya bergolak.
Yah, setelah menjadi istri Diman, perubahan itu pasti terjadi juga. Ia tidak bisa bebas lagi bermain bersama burung-burung, bercanda dengan angin, atau bergembira dengan kecipak air pancuran itu. Ia akan diboyong ke rumah suaminya, hidup bersama mertua. Diman adalah anak bungsu, lelaki satu-satunya. Ketiga kakak perempuannya sudah menikah dan dibawa oleh suami masing-masing. Secara otomatis, Dimanlah yang mewarisi rumah pusaka itu.
Rumah yang sudah berdinding tembok, lantainya keramik. Ada sumur pompa di dekat dapur sehingga nanti ia tidak perlu repot lagi saat mencuci perabot rumah tangga dan pakaian. Memasak pun pakai kompor minyak. Sawah orang tua Diman juga luas, hasil panennya lebih untuk makan hingga panen berikutnya. Bahkan, beras jatah dari kantor Diman dan bapaknya sering dijual. Nasiyah tidak perlu menumbuk jagung lagi. Singkatnya, keadaan di rumah Diman jauh lebih enak dibanding di rumahnya sendiri, seperti yang dikatakan para tetangga: “Kamu sangat beruntung, Nas.”
Tapi, bagaimana jika nanti ia kangen pada teman-temannya, yaitu harmoni alam yang selama ini mengajarinya gerak tarian sukacita, meracik musik kegembiraan, serta menyusun lirik tembang ceria? Matahari pagi, embun, dedaunan, rumputan, burung-burung, angin, air pancuran, dan juga keringat! Keringat sendiri, keringat Bapak, keringat Emak, serta keringat adik-adiknya yang diembuskan udara dingin dini hari, yang menyatu dengan harum rendaman kedelai dan jagung, gaplek, juga semerbak tubuh walang sangit (sejenis belalang) di musim panen. Keringat kehidupan yang membahagiakan. Lalu, keringatnya bersama teman-teman yang tercecer di sepanjang jalan antara rumah dan sekolah. Bisakah Nasiyah menemukan semua itu setelah ia menjadi istri Diman?”
“Itukah yang membuatmu murung akhir-akhir ini?” tanya temannya.
“Mungkin.”
“Kau bersedih?”
“Entahlah.”
Rasanya, belum lama Nasiyah mengenal Diman. Dan, perkenalan itu pun biasa-biasa saja. Nasiyah menganggap itu sangat wajar sebagai orang yang tinggal dalam satu desa, apalagi sama-sama anak muda. Nasiyah pun mengenal pemuda lain, selain Diman. Guru muda itu pun demikian. Banyak gadis yang mengenalnya, bahkan lebih akrab. Tapi, ia tidak habis pikir, kenapa perkenalannya dengan Diman dianggap istimewa, lalu mereka dijodoh-jodohkan dan kemudian timbul kabar, yang entah siapa telah membumbuinya menjadi gosip yang sangat sedap.
“Siapakah yang menyebarkan gosip itu?” tanya Nasiyah pada Diman.
“Tidak ada,” jawab Diman, enteng.
“Lalu?”
“Kenyataan yang bicara sendiri.”
“Apa maksud Pak Diman?”
Sinar matahari mempertegas rona di kedua pipi Nasiyah.
Musim tanam telah berlalu. Biji-biji mulai tunas. Tapi, kemarau menapakkan kaki-kakinya di atas tanah berbongkah. Air menjadi sesuatu yang sangat penting bagi para petani. Mereka harus berebutan mengaliri sawah dari wangan ataupun parit-parit kecil.
Nasiyah menyeka keringat di dahi dengan ujung kain gendongannya. Caping di kepala ia lepaskan, lalu dikipas-kipaskan ke tangan, wajah, dan leher. Angin berembus lembut ke arah jalan setapak itu. Nasiyah membetulkan posisi keranjang berisi rantang kosong. Diman masih tegak berdiri di bawah pohon randu yang mulai bersemi. Salah satu kakinya dinaikkan ke atas karung pupuk. Kemudian, keduanya sama-sama memandang ke arah sawah. Tampak seorang laki-laki menyusuri pematang, di punggungnya melekat tank penyemprot tanaman. Lelaki itu berjalan ke arah mereka. Nasiyah mohon diri.
“Nas.”
Gadis itu berhenti dan menoleh sebentar.
“Kapan-kapan aku ke rumahmu.”
Nasiyah berlalu.
Sebulan kemudian Nasiyah dipanggil bibinya. Adik bapak Nasiyah itu menanyakan kesediaan Nasiyah untuk menjadi istri Diman. Nasiyah terkejut, tetapi ia bisa menyembunyikan perasaan itu.
“Itu hanya gosip. Bibi tidak usah memercayainya.”
“Tidak, Nas. Ini sungguh-sungguh. Pak Guru sendiri yang mengatakannya pada Bibi.”
Nasiyah tertegun. Bibi Darto berusaha meyakinkan kemenakannya itu dengan menyanjung-nyanjung, menceritakan semua kehebatannya, memuji keluarga serta hartanya. Itu membuat Nasiyah bertambah muak. Nasiyah juga menolak ketika akan dipertemukan dengan Diman di rumah Bibi Darto.
“Kamu akan hidup enak, Nas.”
“Sudahlah, Bi. Nanti malah jadi fitnah.”
“Fitnah apa?”
“Nanti dikira kita yang mengejar-ngejar dia untuk mendapatkan harta keluarganya.”
“Tidak mungkin, Nas. Lha, wong, Pak Guru sendiri, kok, yang meminta aku untuk ngomong sama kamu. Pokoknya, begini saja, malam Minggu besok kamu ke rumahku.”
“Ndak mau, Bi.”
“Anak ini diomongi baik-baik, kok, malah tidak mau.”
Bibi lalu meminta bapak Nasiyah untuk membujuk anaknya supaya mau bertemu dengan Diman. Sebenarnya, orang tua Nasiyah menyerahkan semuanya pada Nasiyah. Tapi, karena Bibi Darto terus mendesaknya, ia terpaksa melakukan hal itu. Nasiyah pun tidak bisa mengelak.
Pertemuan itu sangat kaku, canggung, dan penuh basa-basi. Diman yang biasanya pandai bicara jadi lebih banyak diam. Sampai hampir satu jam, percakapan tidak lebih dari tanya jawab pendek. Diman bertanya, Nasiyah menjawab. Setelah diam cukup lama, Diman baru bisa mengungkapkan keinginannya, meminta Nasiyah jadi istrinya. Nasiyah hanya diam, tidak mengangguk tidak menggeleng. Ketika Diman berpamitan, Nasiyah hanya bisa berdiri lurus seperti tiang,
Setelah Diman pergi, Bibi Darto, yang sejak tadi berdiri di balik pintu, menghujani Nasiyah dengan berbagai pertanyaan. Nasiyah tetap diam. Air matanya perlahan menetes di kedua pipinya. Bibi Darto pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Ia bersikap seolah-olah pertemuan itu berjalan lancar. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa yang tadi dilakukan Nasiyah sangat cerdas.
“Memang, berumah tangga itu bukan untuk waktu yang sebentar sehingga semuanya harus dipikirkan serta dipertimbangkan masak-masak. Tindakanmu sungguh tepat, Nas. Meskipun anak orang miskin, kamu tidak perlu merendahkan diri, menghormat-hormat, hanya untuk menyenangkan anak orang kaya itu. Dengan begitu, dia pun akan menghargaimu. Kamu betul-betul pintar. Aku bangga punya keponakan seperti kamu ini.”
Nasiyah menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan sekali. Udara hangat keluar dari hidungnya, mengalir, berputar-putar di sekitarnya. Lalu, ia menariknya sekali lagi. Dalam, dalam, dan dalam untuk kemudian disimpannya dalam dada sampai penuh dan menjadi sesak. Nasiyah hanya diam ketika beberapa hari kemudian Bibi Darto mengabarkan, dua minggu lagi keluarga Diman akan melamarnya.
Semua seperti berjalan di luar kesadaran Nasiyah. Mimpi. Gadis itu tidak mengerti kenapa ia begitu saja menganggukkan kepala saat ditanya tentang kesediaannya menjadi istri Suhardiman. Ia tidak menolak ketika Diman memasukkan cincin ke jari manisnya. Ia pasrah ketika para orang tua menentukan hari pernikahan.
Udara dalam dada Nasiyah meliuk-liuk kencang, menabrak dinding-dindingnya hingga bergetar hebat akan retak. Sementara mulutnya seperti terkunci oleh tulang-tulang iga orang tuanya yang kian mengeras di balik kulit liat pekat dan berlapis keringat. Tonjolan tulang-tulang yang perlahan keropos itu jelas berkata, “Tak ada keinginan lain dalam hidup ini kecuali melihat semua anakku bisa hidup bahagia, berkecukupan, serta dihormati orang lain. Biar hanya kami saja yang remuk redam menghadapi hidup ini, karena kami sudah telanjur bodoh dan miskin. ”
Kebahagiaan. Semua itu demi kebahagiaan. Entah kebahagiaan siapa.
Penulis: Nawa N.S